Disclaimer: Tulisan ini merupakan refleksi pribadi mengenai ketakutan dalam dunia kerja dan organisasi, tidak dimaksudkan menyinggung pihak manapun. Semua pendapat berdasarkan pengalaman pribadi dan pengamatan lapangan penulis.
Ketakutan seringkali lahir dari sistem yang menuntut loyalitas tanpa ruang untuk kritik. Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1977, h. 27) menjelaskan bahwa kontrol sosial dibangun melalui ketakutan yang dilembagakan dan disebarluaskan dalam berbagai bentuk organisasi formal.
Atasan yang takut pada tulisan bawahannya menunjukkan ketidakmampuan menerima evaluasi. Padahal, kritik yang sehat memperkuat organisasi, bukan melemahkannya (Foucault, 1977, h. 28), sebab dinamika sehat membutuhkan keterbukaan, bukan sekadar kepatuhan.
Banyak atasan melihat kritik sebagai ancaman terhadap kewibawaan. Menurut Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970, h. 69), rasa takut ini muncul dari budaya otoritarianisme yang melahirkan subordinasi buta di dalam organisasi kerja.
Diamnya rekan-rekan kerja dalam menghadapi ketidakadilan adalah manifestasi ketakutan kolektif. Freire (1970, h. 70) menyebutkan ketidakberdayaan ditanamkan melalui sistem yang terus-menerus menebar rasa takut dan ketidakpastian.
Lingkungan kerja yang kering data dan penuh tekanan memperkuat budaya membungkam. Richard Sennett dalam The Corrosion of Character (1998, h. 88) menggambarkan organisasi seperti ini sebagai ruang yang mematikan kreativitas dan merusak kepribadian personal.
Orang-orang memilih bungkam demi mempertahankan kenyamanan semu. Sennett (1998, h. 89) menulis bahwa ketakutan membuat individu mengorbankan prinsip demi ilusi stabilitas yang rapuh dalam ketegangan birokrasi modern.
Dalam budaya ketakutan, data yang seharusnya menjadi alat evaluasi diabaikan. Kebenaran dibungkam demi mempertahankan kekuasaan yang rapuh (Freire, 1970, h. 72), menjadikan birokrasi sarang kekeliruan yang terus berulang.
Tidak semua ketakutan lahir dari ancaman nyata. Foucault (1977, h. 29) menjelaskan bahwa ancaman simbolis, bahkan bisik-bisik tentang hukuman, cukup untuk membangun kepatuhan dalam sistem yang represif.
Ketika berbicara dianggap sebagai pembangkangan, organisasi kehilangan dinamikanya. Tanpa kritik dan dialog, organisasi akan membusuk dari dalam (Sennett, 1998, h. 91), sebab inovasi tumbuh dari ruang ketidakpuasan kreatif.