Di meja kayu tua yang menghadap langsung ke halaman berdebu, Pak Gunar duduk sambil menyeduh kopi. Tangannya gemetar sedikit saat menuang air panas dari ketel, tapi matanya masih awas, menatap gerbang kecil rumahnya yang setengah roboh. Ia sedang menunggu koran datang. Seperti biasa.
Setiap pagi, sejak pensiun dari kantor kecamatan sepuluh tahun lalu, kebiasaan itu tak pernah absen: duduk, kopi hitam, dan menanti koran seperti menanti kabar dari dunia yang makin jauh darinya.
Pagi itu berbeda. Ada rasa gelisah dalam dadanya. Semalam ia mendengar dari menantunya bahwa media lokal akan mengangkat kasus ijazah palsu di kalangan aparat desa dan pegawai kecamatan zaman dulu. Ada "daftar nama", katanya. Orang-orang sedang menebak-nebak.
Dan Pak Gunar tahu... nama itu bisa jadi miliknya.
Ia masih ingat, lebih dari tiga puluh tahun lalu, ia masuk sebagai staf administrasi dengan ijazah yang ia pesan dari kios kecil di belakang pasar Mataram. Katanya, "buat syarat saja, tidak akan diperiksa." Dan memang, selama bertahun-tahun, tidak ada yang pernah bertanya.
Ia bekerja rajin. Semua orang bilang ia teliti dan jujur. Tapi ijazah itu tetap ada, diam-diam membayanginya dalam setiap promosi jabatan, setiap kenaikan pangkat, bahkan saat ia menerima piagam pengabdian menjelang pensiun. Ia menerimanya dengan senyum yang dibuat-buat, sementara dalam hatinya selalu berdesir: "Bagaimana kalau suatu hari ketahuan?"
Ketika koran akhirnya dilempar ke halaman, suara lemparan itu terdengar lebih keras dari biasanya. Ia berjalan pelan mengambilnya, lalu membuka halaman depan.
Bukan namanya. Bukan juga tentang dirinya.
"Kepala Desa Sukamulya Diduga Gunakan Ijazah Palsu"
Pak Gunar duduk kembali. Koran itu ia baca perlahan, berulang-ulang. Ia mengenal nama kepala desa itu. Masih muda, cerdas, sering datang padanya dulu untuk belajar mengetik. Ada foto kecil di bawah judul berita, dan komentar singkat dari camat yang baru.