Membayangkan masa depan desa tak cukup dengan menengok masa lalu atau membuat prediksi tanpa dasar. Perjalanan menuju kesejahteraan desa harus berpijak pada satu fondasi kuat yang tak tergantikan: data sebagai landasan utama pembangunan.
Data dalam SDGs Desa bukanlah sekadar deretan angka yang kering. Ia memuat jejak-jejak perubahan, narasi sosial, dan arah pembangunan yang sedang dan akan ditempuh oleh masyarakat desa dalam lintasan sejarah dan transformasi.
Data adalah petunjuk jalan. Ia membawa desa menuju cita-cita besar: keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Cita-cita yang tidak dibangun dari atas, tapi tumbuh dari akar rumput sebagai subjek utama pembangunan.
SDGs Desa dengan 18 tujuannya—yang kini telah diselaraskan menjadi 17—menjadi peta besar tentang kondisi desa saat ini. Ia membantu kita mengenali di mana posisi desa dalam gerak pembangunan nasional.
Dari data tersebut, kita dapat menilai secara objektif sejauh mana pembangunan telah menjangkau desa. Apakah desa benar-benar menjadi pusat kemajuan Indonesia, atau masih menjadi titik paling belakang dalam rantai pembangunan?
Jawaban atas pertanyaan besar ini tersaji melalui angka-angka lugas yang berbicara tanpa retorika. Angka yang membawa kebenaran tentang capaian dan tantangan pembangunan desa di seluruh pelosok negeri.
Misalnya, indeks “Desa Tanpa Kemiskinan” berada pada angka 53,56. Ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh desa masih bergulat dengan persoalan mendasar: kemiskinan struktural yang berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Kondisi ini selaras dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 yang mencatat 12,22% penduduk miskin Indonesia masih tinggal di wilayah perdesaan. Ini menandakan bahwa kemiskinan memang berakar kuat di desa.
Artinya, pembangunan yang benar-benar menyasar akar kemiskinan harus dimulai dari desa. Pemberdayaan ekonomi lokal dan perlindungan sosial mesti diarahkan langsung ke masyarakat desa yang menjadi kantong-kantong kemiskinan.
Lebih memprihatinkan lagi adalah indeks “Desa Tanpa Kelaparan” yang hanya mencetak angka 45,76. Padahal desa adalah pusat produksi pangan nasional. Ironi ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam distribusi dan akses pangan.