Lombok Barat genap berusia 67 tahun pada tanggal 17 April ini. Di usia yang tak lagi muda, perayaan ulang tahun bukan sekadar pesta. Ia semestinya menjadi ruang refleksi: sudah sejauh mana kita berjalan? Seberapa banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan?
Data SDGs Desa yang dirilis melalui laman sid.kemendesa.go.id menjadi potret paling jujur tentang kondisi masyarakat Lombok Barat. Data ini bukan sekadar angka. Ia adalah wajah warga yang berbicara melalui kuesioner. Dari 718.563 penduduk, baru 291.930 jiwa atau 40,63 persen yang terdata hingga 27 November 2024. Dari 225.036 keluarga, hanya 85.026 atau 37,78 persen yang telah terpetakan. Angka ini penting, karena ia menentukan ketepatan arah pembangunan ke depan.
Capaian beberapa indikator SDGs Desa Lombok Barat cukup menjanjikan. Desa Berenergi Bersih dan Terbarukan mencapai angka 99,30 persen. Ini menunjukkan keberhasilan dalam pemerataan akses listrik dan pemanfaatan energi ramah lingkungan. Desa Damai dan Sejahtera juga mencapai 75,95 persen, yang berarti masyarakat relatif hidup dalam suasana rukun, aman, dan minim konflik sosial.
Namun, capaian tinggi itu tak serta-merta menutupi luka yang masih menganga. Desa Tanggap Perubahan Iklim hanya menyentuh angka 15,84 persen. Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan bahkan lebih rendah lagi: 7,25 persen. Padahal, isu perubahan iklim tak bisa dianggap angin lalu, terutama di wilayah rentan bencana seperti Lombok.
Dua indikator lingkungan lainnya, Lingkungan Darat dan Lingkungan Laut, masing-masing hanya 7,99 persen dan 20 persen. Ini sinyal bahaya. Perusakan hutan, pencemaran air, abrasi pesisir, dan eksploitasi sumber daya alam perlu segera ditangani. Jika tidak, pembangunan akan bertumpu di atas kerentanan yang terus menganga.
Kemiskinan dan kelaparan juga masih menjadi pekerjaan besar. Desa Tanpa Kemiskinan baru di angka 53,56 persen. Desa Tanpa Kelaparan lebih rendah lagi, 45,76 persen. Hal ini menggambarkan bahwa setengah lebih penduduk Lombok Barat belum merasakan kesejahteraan yang layak.
Angka tersebut sejalan dengan temuan BPS NTB yang mencatat tingkat kemiskinan di Lombok Barat pada Maret 2024 berada di kisaran 14,12 persen. Sebuah capaian yang belum mampu mengubah status kemiskinan struktural (BPS NTB, 2024). Pemerintah daerah perlu melakukan inovasi kebijakan yang lebih progresif dan menyasar akar persoalan.
Pendidikan juga menjadi sorotan. Desa dengan Pendidikan Berkualitas hanya berada di angka 42,70 persen. Ini perlu perhatian serius, mengingat pendidikan adalah fondasi dari segala dimensi pembangunan lainnya. Di desa, akses pendidikan masih timpang. Sekolah-sekolah belum merata, kualitas guru belum seimbang, dan masih banyak anak putus sekolah karena alasan ekonomi.
Kesenjangan pun masih terasa. Desa Tanpa Kesenjangan baru 34,10 persen. Ketimpangan akses terhadap layanan dasar, peluang ekonomi, hingga partisipasi sosial masih menjadi tantangan. Dalam kajian Todaro dan Smith (2015) disebutkan bahwa pertumbuhan tanpa pemerataan hanya akan memperparah ketimpangan dan memicu gejolak sosial di kemudian hari.