Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menanti Janji Satu Miliar: Jalan Menuju Sejahtera dari Desa

7 April 2025   19:31 Diperbarui: 8 April 2025   10:02 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerbang Tembolak (Sumber: kompas.com/properti/read/2024/07/09/141536821/)

Di tengah riuh suasana Lebaran Topat di Lombok Barat, ketupat, opor ayam, dan urap-urap bukan sekadar sajian kuliner. Ia menjadi simbol kebersamaan dan harapan. Warga berkumpul, berbagi cerita, dan menatap masa depan desa dengan optimisme.

Di bawah langit cerah bulan Syawal, tradisi dan dialog warga berpadu menjadi satu. Di sela-sela makanan yang tersaji, percakapan hangat menggema, membicarakan mimpi-mimpi besar desa. Salah satunya adalah janji politik yang belum lama ini digaungkan.

Janji itu datang dari pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih, H. Lalu Ahmad Zaini dan Hj. Nurul Adha. Komitmen mereka sederhana namun monumental: alokasi Rp 1 miliar per desa, setiap tahun. Jumlah ini memicu harapan dan pertanyaan sekaligus.

Bagi sebagian warga, janji tersebut adalah cahaya di ujung lorong. Ia hadir seperti oase dalam pembangunan yang selama ini terasa timpang. Sebuah penegasan bahwa pembangunan harus dimulai dari desa, bukan semata dari pusat kekuasaan.

Visi "Sejahtera dari Desa" pun mulai digaungkan. Di warung kopi, acara keluarga, hingga diskusi komunitas, warga tak berhenti membicarakannya. Ada harapan besar, namun juga skeptisisme yang tak bisa diabaikan begitu saja. Dan itu sangat manusiawi.

Dari ruang-ruang santai hingga forum resmi, diskusi bergulir: mampukah Lombok Barat menanggung beban fiskal sebesar itu? Pertanyaan ini muncul sebagai bentuk kewaspadaan, bukan penolakan. Sebuah refleksi akan batas dan potensi yang dimiliki.

Wajar jika publik mempertanyakan. Bahkan, pertanyaan ini menjadi bagian penting dari proses demokrasi. Seperti kata Habermas (1996), diskursus publik adalah jantung dari demokrasi deliberatif yang sejati---di mana warga turut serta merumuskan arah kebijakan.

Saat ini, bupati dan wakil bupati sudah terpilih. Maka bukan saatnya lagi menambah kebisingan wacana. Justru kini saat yang tepat untuk bekerja: menyiapkan segala instrumen agar janji besar ini bisa dijalankan dengan baik mulai tahun 2026.

1. Menyusun Regulasi

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyusun regulasi yang kuat. Sebuah program besar butuh dasar hukum yang jelas dan tidak multitafsir. Tanpa itu, birokrasi bisa menjadi penghambat utama, bukan justru pendorong perubahan positif.

Peraturan Bupati (Perbup) menjadi kunci. Ia harus menjelaskan dari hulu ke hilir: bagaimana mekanisme usulan dari desa, seperti apa alur penganggaran, hingga sistem monitoring dan evaluasi yang transparan dan akuntabel di tingkat kabupaten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun