Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saat Media Sosial Tutup dan Lebaran Membuka Ruang Interaksi Nyata

4 April 2025   18:48 Diperbarui: 4 April 2025   21:17 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (kompas.com)

Tantangan lain adalah kecepatan informasi. Media sosial memungkinkan kabar menyebar dalam hitungan detik---mulai dari bencana hingga undangan darurat. Tanpanya, masyarakat harus kembali mengandalkan jaringan lokal atau media konvensional untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

Di desa, kentongan atau pengumuman dari masjid mungkin kembali berperan sebagai alat komunikasi utama. Di kota, tantangan lebih kompleks, tetapi bukan mustahil. Seperti diungkapkan Anisa Sabrina dalam Kompasiana pada artikel “Dari Tatap Muka ke Teks Singkat” (2023), komunikasi tatap muka justru memperkuat kohesi sosial yang kerap tergerus oleh algoritma digital.

Lantas, bagaimana mengelola energi sosial agar tetap seimbang? Kuncinya mungkin terletak pada kesadaran diri. Sebagian orang menikmati percakapan panjang, sementara sebagian lain butuh menyendiri. Dalam budaya Lebaran, tenggang rasa menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan dalam interaksi sosial yang intens.

Menghormati keinginan seseorang untuk diam bukanlah dosa, melainkan bentuk empati. Sebaliknya, memberi ruang bagi yang ingin bercerita juga penting. Seperti orkestra, harmoni tercipta ketika setiap instrumen memainkan perannya tanpa saling mendominasi atau merasa harus selalu menjadi pusat perhatian.

Pelajaran dari Lebaran dan “liburnya” media sosial sebenarnya sederhana, teknologi hanyalah alat, bukan pengganti manusia. Di Lombok, ada konsep saling ajinin---saling menghormati, reme, rapah, regen, yang berarti suka memberi, memilih situasi aman damai dan mendukung toleransi yang intinya menempatkan diri pada posisi orang lain dalam berinteraksi sosial.

Nilai-nilai ini mungkin terasa klise, tapi justru relevan di era yang kian individualistik. Seperti ditulis sastrawan Pramoedya Ananta Toer, “Kebudayaan hanya bisa tumbuh dalam kebersamaan.” Tanpa kebersamaan, nilai-nilai sosial akan terkikis oleh isolasi digital yang semakin dominan.

Apa yang terjadi jika percobaan ini dijalankan? Mungkin awalnya chaos. Generasi muda gelisah, pedagang protes, dan informasi terhambat. Tapi perlahan, kita akan belajar membaca ekspresi tanpa filter, mendengar nada bicara yang jujur, dan merasakan kehangatan yang tak bisa direduksi menjadi notifikasi.

Seperti Lebaran, yang tiap tahun mengingatkan bahwa kebahagiaan sesungguhnya terletak pada kehadiran, bukan likes atau shares. Kehadiran fisik dan perhatian penuh adalah hal yang tak tergantikan oleh interaksi virtual yang serba cepat dan dangkal dalam ekosistem media sosial saat ini.

Pada akhirnya, manusia adalah makhluk paradoks. Kita rindu kebersamaan, tapi juga takut kehilangan privasi. Media sosial memenuhi keduanya secara artifisial, namun kerap meninggalkan rasa hampa. Kesadaran akan hal ini bisa membantu kita menyeimbangkan interaksi digital dan nyata.

Dengan atau tanpa platform digital, yang terpenting adalah bagaimana kita merawat ruang untuk bercakap, berdebat, atau sekadar berbagi senyum. Sebab, seperti kata pepatah Minang, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Interaksi nyata tetap menjadi fondasi peradaban manusia.

Mengurangi ketergantungan pada media sosial bukan berarti menolak teknologi. Sebaliknya, ini adalah upaya untuk menggunakannya secara lebih sadar dan bijaksana. Dengan begitu, kita bisa tetap terkoneksi secara digital tanpa kehilangan esensi interaksi sosial yang lebih bermakna dan autentik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun