Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mudik Pendamping Desa: Oleh-Oleh dari Desa Dampingan

27 Maret 2025   03:30 Diperbarui: 27 Maret 2025   03:30 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mudik dulu (Sumber: Dokpri)

Mudik bagi pendamping desa selalu punya cerita berbeda. Mereka yang sehari-hari berada di desa dampingannya membawa lebih dari sekadar rindu. Dalam perjalanan pulang, ada sesuatu yang lebih berharga dari sekadar koper berisi pakaian. Ada oleh-oleh khas desa yang mereka dampingi.

Bukan barang dari pusat perbelanjaan kota yang mereka bawa, melainkan hasil bumi, produk UMKM, dan kisah-kisah dari desa. Beras, daging sapi, kain tenun, bahkan kerajinan tangan menjadi buah tangan bagi keluarga di kampung halaman.

Para pendamping desa yang bertugas jauh dari tempat asal menjadikan mudik sebagai ajang berbagi. Mereka memperkenalkan produk-produk lokal yang selama ini mereka bantu kembangkan. Bagi mereka, membawa oleh-oleh dari desa dampingannya adalah cara sederhana membangun ekonomi desa.

Di Pulau Sumbawa, harga beras dan daging sapi lebih murah dibandingkan di Pulau Lombok. Ini bukan sekadar selisih angka di pasar, melainkan cerminan potensi ekonomi lokal. Pendamping desa yang bertugas di Sumbawa kerap membawa pulang hasil panen untuk sanak saudara di Lombok.

Fenomena ini mencerminkan realitas distribusi ekonomi yang belum merata. Harga bahan pokok yang lebih murah di daerah tertentu tidak selalu dapat dinikmati oleh warga di daerah lain. Sistem logistik dan pasar menjadi tantangan bagi pemerataan ekonomi di tingkat desa (Saragih, 2021).

Lebaran adalah puncak dari fenomena ini. Permintaan barang melonjak, dan pendamping desa menjadi semacam kurir informal. Mereka membawa oleh-oleh bukan sekadar untuk konsumsi keluarga, tapi juga memperkenalkan produk lokal kepada lebih banyak orang.

Produk UMKM desa juga ikut terbawa dalam perjalanan mudik. Kain tenun, batik lokal, dan kerajinan tangan sering menjadi oleh-oleh yang unik. Ini membuka peluang baru bagi pemasaran produk desa ke daerah lain, sesuatu yang sulit dilakukan tanpa jaringan luas (Suyanto, 2022).

Namun, membawa hasil panen dan produk desa bukan tanpa tantangan. Tidak semua barang mudah dibawa dalam perjalanan jauh. Ada keterbatasan transportasi, daya tahan produk, hingga peraturan yang membatasi distribusi antarwilayah (Rahman & Aulia, 2020).

Beberapa pendamping desa berinisiatif menjalin kerja sama dengan koperasi atau kelompok tani. Mereka membangun jalur distribusi kecil-kecilan yang dititip lewat bus antar kota, agar hasil panen desa dapat terus mengalir ke tempat asal mereka. Sebuah bentuk ekonomi berbasis komunitas yang tumbuh secara alami.

Mudik pun menjadi lebih bermakna. Tidak sekadar pulang kampung, tetapi juga membawa dampak ekonomi. Para pendamping desa tidak hanya menghabiskan uang di kampung halaman, tetapi juga membawa nilai ekonomi dari desa dampingannya.

Bagi pendamping desa, mudik tidak hanya tentang kembali ke rumah, tapi juga membawa cerita tentang desa-desa yang telah menjadi bagian dari hidup mereka. Di setiap oleh-oleh yang mereka bawa, ada kisah tentang petani, pengrajin, dan pelaku UMKM yang mereka dampingi.

Lebaran pun menjadi ajang berbagi kisah. Bukan hanya soal kebersamaan dengan keluarga, tetapi juga berbagi pengalaman tentang kehidupan di desa lain. Dalam obrolan di rumah, ada cerita tentang bagaimana sebuah desa berjuang untuk mandiri secara ekonomi, atau membangun pendidikan berbasis pesantren.

Pendamping desa tidak sekadar pekerja sosial yang bertugas membangun kapasitas desa. Mereka adalah jembatan yang menghubungkan desa dengan dunia luar. Oleh-oleh yang mereka bawa adalah wujud nyata dari peran itu.

Jika fenomena ini dikelola dengan lebih baik, potensi ekonomi desa bisa berkembang lebih luas. Misalnya, melalui kolaborasi dengan pasar daring atau platform distribusi berbasis komunitas. Ini bisa menjadi langkah awal bagi desa-desa untuk masuk ke pasar yang lebih besar.

Mudik bagi pendamping desa bukan hanya perjalanan pulang. Ini adalah bagian dari upaya mereka membangun desa dari akar rumput. Dengan setiap kantong beras dan potongan daging sapi yang mereka bawa, ada secuil harapan bahwa desa dampingannya bisa lebih maju.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun