Azan magrib berkumandang, tanda waktu berbuka puasa. Di desa, makanan tersaji di meja sederhana. Kurma, air kelapa, ubi rebus, dan sepiring nasi dengan lauk ikan asin. Tanpa makanan instan, tanpa kemasan plastik. Semua berasal dari kebun, sawah, dan sungai setempat, mencerminkan kesederhanaan dan keberlanjutan.
Masyarakat desa telah lama menerapkan mindful eating secara alami. Mereka makan dengan kesadaran penuh, menikmati setiap suapan, dan mensyukuri asal-usul makanan yang mereka konsumsi. Pola ini bukan sekadar kebiasaan, tetapi warisan dari generasi ke generasi yang menjaga hubungan erat dengan alam dan sumber pangan lokal.
Namun, perubahan zaman mulai mengikis tradisi ini. Makanan cepat saji dan produk olahan merangsek masuk ke desa. Warung-warung kecil kini menjual mi instan, sosis beku, dan makanan ringan dengan pewarna buatan. Perlahan, pola makan alami bergeser ke arah yang lebih praktis dan instan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya.
Fenomena ini mengkhawatirkan. Pola makan instan cenderung rendah gizi dan tinggi kalori. Menurut Pollan (2008) dalam In Defense of Food, makanan olahan sering kehilangan kandungan nutrisi alami dan mengandung zat tambahan yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan dalam jangka panjang, terutama jika dikonsumsi secara berlebihan.
Dulu, sahur di desa selalu berisi makanan bergizi tinggi. Nasi jagung, sayur bening, ikan bakar, dan tempe goreng menjadi sumber energi sepanjang hari. Sekarang, sebagian masyarakat mulai memilih makanan cepat saji yang lebih mudah diolah. Sayangnya, pilihan ini sering kali miskin nutrisi dan tinggi zat aditif.
Perubahan ini bukan hanya tentang kebiasaan makan, tetapi juga soal kesehatan. Penelitian dalam Journal of Nutrition Education and Behavior (Bahl et al., 2013) menunjukkan bahwa konsumsi makanan alami lebih efektif dalam menjaga energi dan konsentrasi dibandingkan makanan olahan dengan kadar gula dan garam tinggi yang berisiko bagi metabolisme tubuh.
Selain itu, pola berbuka yang dulunya sederhana kini berubah. Jika dulu berbuka dimulai dengan air kelapa atau teh hangat, kini banyak yang langsung mengonsumsi makanan manis dan berlemak dalam jumlah besar. Gaya hidup ini meningkatkan risiko obesitas dan diabetes yang semakin umum terjadi di masyarakat pedesaan.
Menurut Jon Kabat-Zinn (1990) dalam Full Catastrophe Living, mindful eating membantu tubuh beradaptasi setelah berpuasa. Namun, kebiasaan makan berlebihan saat berbuka justru menghilangkan manfaat tersebut. Alih-alih menyegarkan tubuh, makan dalam jumlah besar malah membuat tubuh terasa lemas dan tidak nyaman.
Di desa, tradisi berbagi makanan masih terjaga. Tetangga saling mengirim makanan, masjid menerima sumbangan hidangan berbuka, dan anak-anak tetap menikmati takjil sederhana dari hasil kebun. Tetapi, makanan olahan kini mulai mendominasi, menggeser keberagaman pangan lokal yang dahulu kaya akan unsur tradisional dan budaya.
Dalam Food and Society, Carole Counihan (2013) menegaskan bahwa makanan bukan hanya soal gizi, tetapi juga alat sosial yang menghubungkan manusia. Jika makanan instan terus menguasai pasar desa, ikatan sosial dalam tradisi berbagi makanan pun bisa terancam, tergantikan oleh individualisme dalam pola konsumsi.
Keintiman dalam menikmati makanan pun berubah. Dulu, berbuka dilakukan bersama keluarga di meja makan, dengan obrolan hangat dan doa bersama. Kini, televisi dan ponsel sering kali menjadi teman makan. Perhatian pun teralihkan, membuat pengalaman makan tidak lagi seutuhnya disadari dan dihargai.
Menurut Thich Nhat Hanh (2010) dalam Peace is Every Bite, makan dengan kesadaran penuh meningkatkan kepuasan dan rasa syukur. Ketika perhatian teralihkan ke layar ponsel atau televisi, kita cenderung makan lebih banyak tanpa menyadari rasa dan tekstur makanan yang dikonsumsi. Ini berdampak pada pola makan yang kurang sehat.
Mindful eating bukan hanya soal memilih makanan sehat, tetapi juga tentang menikmati dan menghargai makanan. Di desa, pola ini seharusnya tetap dijaga. Namun, tanpa kesadaran kolektif, tradisi ini bisa tergerus oleh gaya hidup instan yang semakin meluas, menurunkan kualitas konsumsi dan kesehatan.
Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga momen refleksi. Pola makan yang bijak harus kembali dihidupkan. Jika masyarakat desa tetap bertahan dengan pola makan alami dan sadar, mereka bukan hanya menjaga kesehatan, tetapi juga merawat tradisi dan kebersamaan yang menjadi ciri khas kehidupan pedesaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI