Ramadan di Desa Kediri, Lombok Barat, selalu menghadirkan suasana khas. Meski tak seintens di kota, semangat “war takjil” tetap terasa. Warga berburu takjil gratis atau murah dengan cara yang lebih santai, namun penuh kebersamaan. Ini adalah potret Ramadan yang hangat dan penuh makna.
Di kota, war takjil sering diwarnai kompetisi ketat. Di Desa Kediri, semangat berburu takjil hadir dalam nuansa yang lebih tenang. Warga tak perlu berdesak-desakan. Mereka datang dengan senyum, saling menyapa, dan menikmati momen berbuka bersama. Ini adalah Ramadan ala desa, penuh keakraban.
Salah satu bentuk war takjil di Kediri adalah bagi-bagi takjil gratis. Polsek setempat, jamaah yasinan, dan kelompok pengajian rutin membagikan takjil di depan masjid atau perempatan jalan. Mereka tak sekadar memberi makanan, tapi juga menyebarkan kebahagiaan. Setiap bungkusan takjil adalah simbol berbagi.
Suatu hari, ada kejadian lucu saat polres membagikan takjil. Beberapa pengendara yang tidak memakai helm berputar arah, dikira ada razia kendaraan bermotor. Hal ini sempat membuat sedikit kemacetan di perempatan jalan. Warga yang melihatnya pun tertawa geli. “Mereka kira mau ditilang, padahal cuma bagi-bagi takjil,” kata seorang warga sambil tersenyum.
Pasar Ramadan tradisional juga menjadi pusat war takjil. Di perempatan desa, pedagang menjual aneka takjil dengan harga terjangkau. Warga datang lebih awal untuk mendapatkan makanan favorit. Semakin dekat Lebaran, pasar semakin ramai. Tak hanya takjil, pakaian lebaran pun mulai laris.
Masjid dan mushola di Kediri juga punya peran penting. Mereka menyediakan takjil gratis bagi jamaah yang berbuka puasa. Beberapa orang datang lebih awal untuk mendapatkan tempat dan takjil. Mereka tak hanya menunggu berbuka, tapi juga mengisi waktu dengan sholawatan. Suasana religius begitu terasa.
Budaya gotong royong juga mewarnai war takjil di Kediri. Saat pesantren atau masjid mengadakan acara, warga bergiliran memasak dan menyajikan takjil. Ada sedikit “persaingan” untuk mendapatkan takjil favorit seperti serimuke atau kelepon. Tapi, semuanya berlangsung dalam suasana kekeluargaan.
Meski ada semangat berburu, war takjil di Kediri tak pernah kehilangan nuansa kebersamaan. Warga saling membantu, saling berbagi. Ini adalah nilai-nilai lokal yang tetap terjaga. Di tengah arus modernisasi, Kediri mempertahankan identitasnya sebagai desa yang ramah dan penuh kehangatan.
War takjil di Kediri juga mencerminkan adaptasi masyarakat desa terhadap tren urban. Mereka menyerap konsep war takjil dari kota, tapi mengolahnya dengan cara mereka sendiri. Hasilnya adalah Ramadan yang kaya makna, penuh kebersamaan, dan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi.
Pemerintah setempat dan lembaga terkait turut mendukung war takjil. Mereka secara rutin memastikan takjil yang beredar aman dikonsumsi. Pengawasan ketat dilakukan untuk menghindari bahan berbahaya seperti boraks atau formalin. Ini adalah upaya menjaga kesehatan masyarakat sekaligus memastikan Ramadan berjalan lancar.