Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Membaca Ulang Ali Syariati: Desa, Mahasiswa, dan Negara dalam Pertarungan Kesadaran

26 Februari 2025   08:59 Diperbarui: 26 Februari 2025   08:59 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ali Syariati (Sumber: lsfdiscourse.org)

Di sebuah desa yang sunyi, jauh dari pusat kekuasaan, masyarakat hidup dalam keseharian yang seakan tak banyak berubah. Mereka terikat pada rutinitas yang diwariskan turun-temurun, memegang erat nilai-nilai lama yang menjadi fondasi kehidupan mereka. Tetapi dalam keheningan itu, ada sebuah ironi besar.

Ali Syariati, pemikir revolusioner dari Iran, melihat desa sebagai dua hal yang bertentangan: tempat di mana nilai-nilai asli bertahan, tetapi juga ruang di mana ketimpangan terus direproduksi. Ia menyebut kondisi ini sebagai akibat dari struktur sosial yang menindas, di mana kaum marginal terus berada dalam ketidakberdayaan (Syariati, Religion vs. Religion, 1989).

Di tengah ketertinggalan itu, pemerintah hadir dengan program pembangunan. Namun, sering kali, pembangunan berjalan satu arah. Desa menjadi objek yang dibangun, bukan subjek yang membangun dirinya sendiri. Dalam pandangan Syariati, ini adalah bentuk istihmar, proses membodohi masyarakat agar tetap dalam ketergantungan kepada kekuasaan (Syariati, Man and Islam, 1981).

Mahasiswa, dalam tafsir Syariati, adalah kelompok yang seharusnya memecah kebuntuan ini. Mereka, katanya, adalah enlightened souls, jiwa-jiwa yang tercerahkan. Di tangan mereka, ilmu bukan sekadar alat untuk mengejar status sosial, tetapi senjata untuk melawan ketidakadilan (Syariati, What is to be Done?, 1979).

Tetapi realitas hari ini menunjukkan paradoks. Di banyak universitas, mahasiswa lebih sibuk mengejar indeks prestasi daripada membangun kesadaran sosial. Pendidikan modern, kata Syariati, telah berubah menjadi pabrik pencetak pekerja yang patuh, bukan individu yang kritis.

Dalam sistem ini, negara memainkan peran yang lebih rumit. Di satu sisi, ia membawa janji kesejahteraan; di sisi lain, ia juga mempertahankan struktur yang membuat rakyat tetap berada dalam posisi lemah. Negara, menurut Syariati, kerap menjadi instrumen bagi kepentingan elite, bukan alat perjuangan rakyat (Syariati, On the Sociology of Islam, 1975).

Ali Syariati membangun gagasannya dari pengalaman Revolusi Iran, tetapi apa yang ia tulis tetap relevan hingga kini. Ketimpangan antara desa dan kota, antara rakyat dan penguasa, serta antara ilmu dan kesadaran masih terus berlangsung.

Di pedalaman Indonesia, desa-desa menjadi arena tarik ulur kepentingan. Pemerintah menggelontorkan dana desa, tetapi sering kali masyarakat hanya menjadi penonton. Mereka tak sepenuhnya memahami bagaimana dana itu dikelola, atau bahkan bagaimana menggunakannya untuk membangun kemandirian.

Pola ini mengingatkan pada kritik Syariati terhadap "Islam Konservatif" yang digunakan untuk melanggengkan status quo. Agama, yang seharusnya membebaskan, malah dijadikan alat untuk membuat rakyat pasrah pada keadaan (Syariati, Islamology: The Basic Design of Islam, 1982).

Di banyak kampus, gejala serupa muncul. Mahasiswa lebih tertarik pada narasi kesuksesan individual daripada membangun gerakan sosial. Mereka mengadopsi gaya hidup pragmatis, fokus pada masa depan pribadi tanpa banyak bertanya tentang kondisi masyarakat sekitarnya.

Fenomena ini bukanlah kebetulan. Syariati menjelaskan bahwa sistem pendidikan modern dirancang untuk menciptakan kepatuhan. Mahasiswa dilatih untuk bekerja dalam sistem, bukan untuk mengubahnya. Kesadaran kritis perlahan-lahan terkikis oleh tuntutan karier dan ekonomi (Syariati, The Mission of an Intellectual, 1977).

Namun, sejarah membuktikan bahwa perlawanan selalu muncul dari titik-titik yang tak terduga. Dalam revolusi-revolusi besar, mahasiswa sering kali menjadi motor perubahan. Mereka yang berani keluar dari pola pikir pragmatis menemukan bahwa ilmu bukan hanya tentang pencapaian pribadi, tetapi juga tentang pembebasan kolektif.

Negara, dalam analisis Syariati, tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan dari masyarakat. Tetapi di banyak tempat, hubungan antara negara dan rakyat adalah hubungan yang timpang. Negara mengatur, rakyat patuh. Negara berbicara, rakyat mendengar.

Pemerintah sering kali melihat dirinya sebagai pemberi solusi, bukan bagian dari masalah. Padahal, dalam banyak kasus, justru struktur pemerintahan itulah yang menjadi sumber ketimpangan. Syariati menyebut fenomena ini sebagai istibdad, otoritarianisme yang membungkus dirinya dalam jargon kesejahteraan (Syariati, Expectations from the Muslim Woman, 1978).

Tetapi tidak semua harapan hilang. Dalam banyak gerakan sosial, kesadaran baru sedang tumbuh. Di desa-desa, kelompok masyarakat mulai memahami pentingnya keterlibatan dalam perencanaan pembangunan. Mereka mulai mempertanyakan kebijakan yang selama ini diterima tanpa kritik.

Di kalangan mahasiswa, masih ada yang memilih jalan berbeda. Mereka menolak terjebak dalam sistem yang hanya menuntut mereka menjadi tenaga kerja. Mereka mulai membaca ulang pemikiran kritis, dari Paulo Freire hingga Syariati, mencari jalan untuk menghubungkan ilmu dengan perjuangan sosial.

Namun, tantangan terbesar tetap ada pada negara. Bagaimana negara bisa berubah jika kekuasaan terus dikuasai oleh segelintir elite? Bagaimana kebijakan bisa berpihak pada rakyat jika proses pengambilan keputusan selalu tertutup?

Syariati tidak menawarkan solusi instan. Tetapi ia meletakkan fondasi pemikiran yang tajam bahwa perubahan tidak akan datang dari atas. Kesadaran harus dibangun dari bawah, dari rakyat yang memahami hak-haknya, dari mahasiswa yang berani berpikir kritis, dan dari pemerintah yang terbuka untuk ditantang.

Di desa, di kampus, dan di pusat kekuasaan, pertempuran kesadaran terus berlangsung. Sejarah belum selesai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun