Fenomena ini bukanlah kebetulan. Syariati menjelaskan bahwa sistem pendidikan modern dirancang untuk menciptakan kepatuhan. Mahasiswa dilatih untuk bekerja dalam sistem, bukan untuk mengubahnya. Kesadaran kritis perlahan-lahan terkikis oleh tuntutan karier dan ekonomi (Syariati, The Mission of an Intellectual, 1977).
Namun, sejarah membuktikan bahwa perlawanan selalu muncul dari titik-titik yang tak terduga. Dalam revolusi-revolusi besar, mahasiswa sering kali menjadi motor perubahan. Mereka yang berani keluar dari pola pikir pragmatis menemukan bahwa ilmu bukan hanya tentang pencapaian pribadi, tetapi juga tentang pembebasan kolektif.
Negara, dalam analisis Syariati, tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan dari masyarakat. Tetapi di banyak tempat, hubungan antara negara dan rakyat adalah hubungan yang timpang. Negara mengatur, rakyat patuh. Negara berbicara, rakyat mendengar.
Pemerintah sering kali melihat dirinya sebagai pemberi solusi, bukan bagian dari masalah. Padahal, dalam banyak kasus, justru struktur pemerintahan itulah yang menjadi sumber ketimpangan. Syariati menyebut fenomena ini sebagai istibdad, otoritarianisme yang membungkus dirinya dalam jargon kesejahteraan (Syariati, Expectations from the Muslim Woman, 1978).
Tetapi tidak semua harapan hilang. Dalam banyak gerakan sosial, kesadaran baru sedang tumbuh. Di desa-desa, kelompok masyarakat mulai memahami pentingnya keterlibatan dalam perencanaan pembangunan. Mereka mulai mempertanyakan kebijakan yang selama ini diterima tanpa kritik.
Di kalangan mahasiswa, masih ada yang memilih jalan berbeda. Mereka menolak terjebak dalam sistem yang hanya menuntut mereka menjadi tenaga kerja. Mereka mulai membaca ulang pemikiran kritis, dari Paulo Freire hingga Syariati, mencari jalan untuk menghubungkan ilmu dengan perjuangan sosial.
Namun, tantangan terbesar tetap ada pada negara. Bagaimana negara bisa berubah jika kekuasaan terus dikuasai oleh segelintir elite? Bagaimana kebijakan bisa berpihak pada rakyat jika proses pengambilan keputusan selalu tertutup?
Syariati tidak menawarkan solusi instan. Tetapi ia meletakkan fondasi pemikiran yang tajam bahwa perubahan tidak akan datang dari atas. Kesadaran harus dibangun dari bawah, dari rakyat yang memahami hak-haknya, dari mahasiswa yang berani berpikir kritis, dan dari pemerintah yang terbuka untuk ditantang.
Di desa, di kampus, dan di pusat kekuasaan, pertempuran kesadaran terus berlangsung. Sejarah belum selesai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI