Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

DPD RI Harus Kerja Ekstrakeras dan Cerdas

20 September 2013   17:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:37 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal konstitusionalitas tugas dan/atau kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), selanjutnya ditulis DPD, yang setara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, para senator—baik selaku pimpinan maupun anggota di alat kelengkapan DPD—saling mengingatkan agar masing-masing meningkatkan kinerjanya seturut beban amanah dan tanggung jawabnya.

“Akal tak sekali datang, runding tak sekali tiba” maka memang setiap usaha tak ada yang langsung memiliki hasil dan sempurna, karena pasti akan melalui berbagai rintangan. Begitu pun “kerja politik” DPD yang usianya segera memasuki tahun kesembilan. Setelah pembacaan putusan MK, DPD harus gencar menyosialisasikan konsekuensinya karena proses legislasi model tripartit yang melibatkan tiga pihak, yakni DPR, DPD, dan Presiden.

Dalam Sidang Paripurna DPD di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/8),Ketua DPD Irman Gusman telah mengingatkan para senator untuk meningkatkan kinerjanya. Apalagi, beban kerja DPD yang bertambah pasca-putusan MK bukan perkara yang ibarat awal diingat akhir tiada atau melakukan sesuatu tanpa dipikir panjang. Inilah hasil perjuangan.

“Apalagi ini tahun sidang ini (2013-2014) yang terakhir dalam periode kita, jadi kita harus kerja ekstra keras dan cerdas. Sekarang, pasca-putusan MK, beban kita bertambah dibanding sebelumnya, pra-putusan MK. Kita harus saling mengeratkan kerjasama. Kami (pimpinan DPD) meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran sejak pagi hingga malam hari, mendampingi kegiatan alat kelengkapan DPD dalam menindaklanjuti hasil perjuangan kita.” Pidatonya dalam pembukaan tahun sidang 2013-2014 di Sidang Paripurna DPD, Jumat (16/8), juga menyinggung masa akhir pengabdian periode 2009-2014 itu.

“Kita juga mengevaluasi strategi politik DPD untuk terus berperan dalam memperjuangkan kepentingan daerah, agar lebih terbangun sinergisitas DPD dengan lembaga legislatif lain di tingkat nasional dan daerah. Perjuangan mempertahankan eksistensi DPD tidaklah mudah, karenanya kita bersama harus meningkatkan kinerja dengan prinsip kerja keras dan kerja cerdas. Ke depan, DPD akan semakin berperan sentral dalam memperjuangkan kepentingan daerah di tingkat nasional.”

Karena putusan MK berlaku sejak pengucapan tanggal 27 Maret 2013 (bersifat final), dan sejak saat itu pula putusan MK mengikat umum—tidak hanya para pihak yang beperkara, oleh karenanya tidak perlu menunggu revisi UU MD3 dan UU P3. “Putusan MK itu bersifat negative legislature, tidak perlu menunggu revisi UU MD3 dan UU P3,” ujar Irman. Jika positive legislature diperankan lembaga parlemen (DPR bersama DPD), dan negative legislature diperankan MK, maka putusan MK menjadi bagian yang mempengaruhi proses legislasi di ranah legislatif.

Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD yang merangkap Koordinator Tim Litigasi DPD I Wayan Sudirta juga mengingatkan beban amanah dan tanggung jawab DPD yang bertambah itu. “PPUU sebagai koordinator legislasi DPD mempunyai beban yang bertambah,” ujarnya dalam sidang pleno PPUU DPD seusai keterpilihannya kembali untuk lima kali berturut-turut sebagai Ketua PPUU DPD di lantai 2 Gedung DPD, Senin (19/8). Senator asal Bali ini menggambarkan bahwa beban yang bertambah itu merupakan program prioritas PPUU DPD dalam Tahun Sidang 2013-2014, yaitu Prolegnas DPD Prioritas Tahun 2014, RUU Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (RUU MD3) atau RUU Dewan Perwakilan Daerah (RUU DPD).

Perkembangan berikutnya pasca-putusan MK, DPR-DPD mesti kembali menyusun pola kerjanya dalam proses legislasi model tripartit. Faktanya tidak segampang membalik telapak tangan. Persoalan antara kedua lembaga negara masih besar. Paling mendasar ialah mekanisme legislasi dan tindak lanjut keputusan DPD di DPR. Namun, DPD tetap optimistis bahwa pola kerja dalam proses legislasi model tripartit antara DPR, DPD, dan Presiden cepat atau lambat akan terwujud.

Indikasinya, materi pidato Ketua DPR Marzuki Alie dalam Rapat Paripurna DPR di Gedung Nusantara, Jumat (16/8), mengagendakan pembukaan Tahun Sidang 2013-2014, yang memuat pertimbangan DPD ihwal pembangunan daerah dalam RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014. Irman mengaku senang atas materi pidato Ketua DPR Marzuki Alie. “Pidato Ketua DPR berisi butir-butir pertimbangan DPD. Ini merupakan kemajuan dalam hubungan kedua parlemen,” ujarnya dalam Sidang Paripurna DPD di Gedung Nusantara V, Jumat (16/8), setelah Rapat Paripurna DPR dan Sidang Bersama DPR-DPD.

Tanggal 16 Agustus 2013 itu, sejak pagi hingga malam para senator mengikuti tiga kali rangkaian acara. Khusus Sidang Bersama DPR-DPD yang tahun ini giliran DPD sebagai pelaksananya, pidato Ketua DPD menyinggung putusan MK itu, bahwa MK memutuskan DPD berhak dan/atau berwenang mengusulkan RUU bidang tertentu dan membahas RUU bidang tertentu sejak awal hingga akhir. Namun DPD tidak terlibat persetujuan atau pengesahan RUU menjadi undang-undang (UU). MK juga memutuskan DPR, DPD, dan Pemerintah menyusun Prolegnas (Program Legislasi Nasional).

Dalam pidatonya itu, Irman menyatakan, dikabulkannya permohonan judicial review yang memulihkan fungsi, tugas, dan wewenang DPD hendaknya ditanggapi positif sebagai bagian dari penyempurnaan sistem ketatanegaraan kita. “Kita sengaja mengekspresikan dengan jelas putusan MK,” ujarnya. “Tadinya tidak terlalu kuat resonansinya karena permintaan pihak DPR agar putusan MK itu tidak diangkat. Tapi, alhamdulillah, sambutan terhadap pidato kita di luar dugaan. Positif sekali,” ujarnya.

“Paradigma baru itu belum terwujud”

Polemik antara DPR dan DPD sesungguhnya bukan masalah yang baru dan tiba-tiba. Makanya, sebagian para senator menganggap keengganan DPR untuk melaksanakan perintah atau suruhan (amar) putusan MK merupakan sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Bagi Sekretaris Tim Litigasi DPD Intsiawati Ayus, jejak langkah DPD yang menyoal pengebirian hak dan/atau kewenangan legislasinya melalui pengujian kedua UU semakin serius setelah usia DPD memasuki tahun kedelapan atau sewindu.

“Sebelum putusan MK, kami terkesan tidak ada apa-apanya. Tapi ternyata, setelah putusan MK itu kami harus menyosialisasikannya.” Mengapa DPD harus menyosialisasikan? Karena konsekuensinya. “Konsekuensi putusan MK itu harus disosialisasikan: proses legislasinya model tripartit, yaitu antara DPR, DPD, dan Presiden. Namun sampai detik ini paradigma baru itu belum terwujud. Kenapa kami memilih universitas untuk action lanjutan? Karena kami memahami sikap akademisi selalu memihak yang lemah dan benar.”

Senator asal Riau yang juga anggota Komite II DPD ini mengatakannya dalam “Sosialisasi Hasil Uji Materi UU MD3 dan UU P3 terhadap UUD 1945” di Ruangan Promosi Prof Mr Dr Andi Zainal Abidin Farid Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (29/8). “Sebagian kita memahami ini sengketa kewenangan antarlembaga negara atau SKLN. Tidak, tapi bayangannya ada karena komunikasi kami (dengan DPR) untuk paradigma baru itu belum terwujud,” katanya.

Ihwal potensi sengketa, ia menyambung, “Sejak pembacaannya tanggal 27 Maret 2013 hingga posisi sekarang, tanggal 29 Agustus 2013, putusan MK yang bersifat final dan mengikat itu diabaikan. Padahal, jelas-jelas putusan MK itu implementatif. Mesti langsung dijalankan. Di mana fungsi legislasi DPR, DPD, dan Presiden itu? Ada pola baru proses legislasi yang harus dipahami banyak pihak. Secara formal, kami melakukan komunikasi kepada DPR melalui surat yang ketiga, namun belum ada responsnya.” Intsiawati menyinggung surat pimpinan DPD kepada pimpinan DPR, yang isi surat bertanggal 8 Mei 2013 menyinggung beberapa substansi putusan MK.

Pimpinan DPD bersama Tim Litigasi DPD memang menyosialisasikan proses legislasi model tripartit di Universitas Hasanuddin, dan berikutnya di 11 universitas, sembari membahas potensi sengketa tersebut. Sosialisasi ini sangat penting karena masih banyak penyelenggara negara dan kelompok masyarakat yang belum memahami dan mengerti isi putusan MK, termasuk konsekuensi, serta tindak lanjutnya. Putusan MK itu informasi publik yang berdampak terhadap proses legislasi dan berpengaruh pula terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga harus disebarluaskan

Dalam kesempatan tersebut, Irman menyebut putusan MK itu mengubah proses legislasi dari model bipartit (DPR, Presiden) ke model tripartit (DPR, DPD, Presiden), utamanya mekanisme pembahasan RUU bidang tertentu. “Tidak seperti selama ini, tidak lagi fraksi DPR yang tampil. Mekanismenya disebut proses legislasi model tripartit. Prinsipnya mereka (fraksi DPR) setuju untuk menindaklanjuti putusan MK. Tapi mengenai keterlibatan fraksi DPR dalam pembahasan RUU, mereka tidak sepaham. Nah, kalau putusan MK itu benar-benar dilaksanakan, terjadilah reformasi dalam pembahasan RUU. Mekanismenya lebih simpel atau sederhana, sehingga diharapkan akan menghasilkan UU yang jauh lebih banyak dan jauh lebih bermutu.”

Menghasilkan UU yang jauh lebih banyak dan jauh lebih bermutu bukan angan-angan menerawang langit. Jika merunut sejarahnya, perjuangan para senator sudah sangat luar biasa. Di tengah keterbatasan fungsi, tugas, dan wewenangnya di Tahun Sidang 2012-2013 yang baru berlalu, para senator menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah ke dalam berbagai keputusan DPD yang disampaikan kepada DPR dan Presiden. Kehadiran DPD justru melengkapi desain lembaga legislatif. Dengan dua kamar dalam parlemen (bikameral) maka terjadilah inter-chamber relations sebagai checks and balances antarlembaga legislatif.

Sejak periode kesatu hingga periode kedua ini, DPD menghasilkan sejumlah keputusan, termasuk beberapa RUU usul inisiatifnya. Total jenderal: 414 buah! Keputusan DPD periode 2004-2009 yang berbentuk usul RUU berjumlah 19 buah, pandangan dan pendapat 92 buah, pertimbangan 7 buah, pengawasan 49 buah, dan pertimbangan tentang anggaran 29 buah; sehingga berjumlah total 196 buah. Sedangkan keputusan DPD periode 2009-2014 (per tanggal 16 Agustus 2013) yang berbentuk usul RUU berjumlah 20 buah, pandangan dan pendapat 95 buah, pertimbangan 7 buah, pengawasan 67 buah, dan pertimbangan tentang anggaran 21 buah, usul Prolegnas 3 buah, rekomendasi 5 buah; sehingga berjumlah total 218 buah.

Dalam kurun waktu 2010-2012, Komite I DPD berhasil merumuskan paket undang-undang otonomi daerah sebagai revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 20014 tentang Pemerintahan Daerah, yang terbagi tiga RUU, yakni RUU Pemerintahan Daerah, RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), dan RUU Desa. Terhadap ketiga RUU plus RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan, mereka tengah intensif membahasnya bersama DPR dan Pemerintah.

Dalam masa sidang ini pula, Komite I DPD menyusun RUU Daerah Perbatasan Negara, dan RUU Pengadilan Keagrariaan. Pembahasan RUU Daerah Perbatasan Negara menjadi jawaban Komite I DPD terhadap berbagai persoalan pembangunan dan pemerintahan di daerah-daerah perbatasan negara, sedangkan RUU Pengadilan Keagrariaan merupakan komitmen pihaknya untuk mengawal reformasi agraria sebagaimana semangat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.

Otonomi khusus atau otonomi asimetris

Mengacu ke konstitusi yang menjamin status otonomi asimetris di Indonesia, Komite I DPD mengkaji peluang penerapannya untuk kasus otonomi khusus Bali. Kajian itu menyimpulkan tiga alternatif penerapan otonomi khusus, yaitu mengatur asimetrisme melalui undang-undang otonomi khusus, melakukan perubahan terhadap undang-undang pembentukannya, atau melakukan perubahan terhadap beberapa undang-undang yang memasukkan substansi kekhususan tersebut di dalamnya.

Sebelum hiruk-pikuk dan tarik-menarik status keistimewaan Yogyakarta, Komite I DPD justru telah lebih dahulu melahirkan RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUU Keistimewaan DIY) yang menyepakati mekanisme suksesi kepemimpinan DIY melalui penetapan, bukan pemilihan, bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono yang sedang bertahta di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Sri Adipati Paku Alam yang sedang bertahta di Kadipaten Pakualaman menduduki jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Sidang Paripurna DPD tanggal 26 Oktober 2010 mengesahkan RUU Keistimewaan DIY sebagai RUU usul inisiatif.

Selama masa sidang ini, Komite II DPD telah memutuskan untuk menyusun dua RUU usul inisiatif, yaitu RUU Perubahan Atas UU 18/2004 tentang Perkebunan dan RUU Perubahan Atas UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Mereka beralasan, UU 18/2004 membuka kesempatan eksploitasi besar-besaran tanpa pembatasan luas maksimum dan luas minimum lahan perkebunan, sehingga perubahan UU ini menjadi mendesak agar kelak terlahir suatu kebijakan yang sanggup menyelesaikan konflik lahan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan untuk UU 7/2004, alasan Komite II DPD ialah implementasinya yang menghadapi kendala dan masalah akibat perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya air dari barang sosial ke barang ekonomi, sehingga perubahan UU ini harus mampu menyeimbangkan pemanfaatan sumber daya air dengan konservasi, serta pengetatan izin dengan kelestarian lingkungan.

DPD periode 2004-2009 telah menghasilkan RUU Kepelabuhan. Panitia Ad Hoc (PAH) II DPD (untuk periode 2009-2014, nomenklaturnya menjadi Komite II DPD) yang menyusunnya. Mereka mengusulkan RUU Kepelabuhan karena UU 21/1992 tentang Pelayaran berbeda substansi dan arahnya. Agar tidak bias pelaksaanan dan interpretasinya, RUU Kepelabuhan mesti terpisah dari perubahan UU Pelayaran, sebab RUU Pelayaran yang dibahas DPR tidak komprehensif mengakomodasi masalah kepelabuhan.

Pra-putusan MK, tahun 2010 Komite II DPD berhasil menyusun RUU Kelautan dan menyerahkan RUU itu beserta naskah akademiknya kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR. RUU Kelautan versi Komite II DPD itu mengarahkan pengarusutamaan (mainstream) kegiatan/program pembangunan dan pemerintahan di negara kepulauan bernama Indonesia yang berorientasi ke laut. Jadi, urusan maritim atau bahari menjadi arus utama setiap kegiatan/program. Selama penyusunan RUU itu, Komite II DPD mengharmonisasikan materinya dengan 35 existing law (hukum positif).

Awal tahun 2013 ini, sempat beberapa kali Komite II DPD melakukan pembahasan RUU Kelautan itu bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR. Pasca-putusan MK, status RUU usul inisiatif DPD tersebut tidak lagi RUU usul DPR, sehingga Baleg DPR tidak lagi berhak dan/atau berwenang untuk memantapkan konsepsinya. Pemantapan konsepsi itu meliputi aspek teknis, substansi, dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Berarti, RUU dari DPD setara RUU dari Presiden dan RUU dari DPR. Jika nantinya DPR-DPD berhasil menyusun kembali pola kerja, pembahasan RUU Kelautan itu dilakukan oleh tiga pihak yang setara, yaitu DPR (bukan fraksi), DPD, dan Presiden, sehingga Komite II DPD ikut membahas RUU tersebut sampai tahap sebelum persetujuan.

Komite III DPD fokus mengawasi penyelenggaraan ujian nasional (UN). Sejak tahun 2009 hingga 2013, Komite III DPD memang tegas-tegas menyatakan penolakannya dan mendesak Pemerintah untuk melaksanakan rekomendasi DPD yang isinya menghapus penyelenggaraan UN sebagai syarat kelulusan peserta didik. Komite III DPD berpendirian, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mendasari penyelenggaraan UN justru melawan UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yang terjadi malah inkonsistensi regulasi. Selain itu, penyelenggaraan UN mereduksi mutu pendidikan, mengaburkan konsep pendidikan, dan melanggar prinsip-prinsip pembentukan karakter peserta didik. Penolakan itu juga didorong oleh beragam penyimpangan seperti kebocoran soal dan kunci jawaban, serta memboroskan anggaran.

Kemudian, Komite III DPD fokus mengawasi pencairan dan penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang kurang tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat jumlah. Komite III DPD juga fokus mengawasi pemberlakuan kurikulum 2013 yang terkesan dipaksakan oleh Pemerintah, padahal Komite III DPD berpandangan bahwa pemberlakuan kurikulum 2013 itu memerlukan sosialisasi menyeluruh kepada guru.

Komite III DPD konsisten mengawasi pelaksanaan UU 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, serta menyoroti penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya kesiapan PT Jamsostek (Persero), PT ASKES (Persero), dan PT Taspen (Persero) sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), serta kebijakan upah minimum dan alih daya(outsourcing atau contracting out)karyawan perusahaan. Ihwal penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, Komite III DPD menganggap betapa pentingnya persoalan itu. Namun dalam beberapa kali kesempatan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) kerap berhalangan untuk menghadiri rapat kerja Komite III DPD.

Komite IV DPD wajib menyampaikan pertimbangannya terhadap RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran sebelumnya seperti Sidang Paripurna DPD tanggal 2 September 2013 yang memutuskan untuk menetapkan pertimbangan DPD terhadap RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN TA 2012, juga wajib menyampaikan pertimbangannya terhadap Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) TA 2014, termasuk APBN-P TA 2013. Dalam Sidang Paripurna DPD tanggal 13 Juni 2013, mereka menyampaikan pertimbangannya terhadap APBN-P TA 2013 kepada Pemerintah dan DPR. Selain itu, sebagai salah satu lembaga perwakilan yang menerima hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komite IV DPD juga wajib menyampaikan pertimbangannya sebagai tindak lanjut. Contohnya, Pertimbangan DPD terhadap Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Semester II BPK Tahun 2012 disahkan Sidang Paripurna DPD tanggal 8 Juli 2013 dan disampaikan kepada Pemerintah dan DPR.

Dalam Sidang Paripurna DPD tanggal 8 Juli 2013, mereka menyampaikan pertimbangannya terhadap kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal serta dana transfer daerah dalam RUU APBN TA 2014. Mereka menyatakan, selama kurun waktu 2010-2013 pertumbuhan ekonomi daerah amat bervariasi. Pertumbuhan ekonomi rata-rata daerah yang kaya sumberdaya alam ternyata amat rendah, jauh di bawah rata-rata nasional, seperti Riau (3,32%), Kalimantan Timur (2,44%), Nusa Tenggara Barat (1,75%), dan Papua (1,41%). Tapi inflasinya ternyata jauh lebih tinggi. Kenyataan itu harus menjadi perhatian dalam penetapan kebijakan fiskal yang selama ini gagal mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran serta kesenjangan antardaerah. Menyangkut target penerimaan negara itu, Komite IV DPD melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU perpajakan, yang tujuannya antara lain mengoptimalkan pemanfaatan dan penggalian potensi pajak di pusat dan daerah, mengetahui kendala pelaksanaan UU perpajakan, serta memperoleh bahan penyusunan kebijakan perpajakan di pusat dan daerah.

Pertanggungjawaban moral dan politis

Berbagai keputusan itu juga hasil optimal kerja politik para senator setelah di masa reses melakukan kegiatan di daerah dan menyampaikan Laporan Kegiatan di Daerah pada Sidang Paripurna DPD. Penyampaian laporan kegiatan itu bermakna bahwa keempat anggota DPD, baik perorangan maupun bersama-sama, telah melaksanakan kewajibannya sebagai pertanggungjawaban moral dan politis kepada konsituen di daerah pemilihan, khususnya ketika menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah. Mereka menyosialisasikan DPD beserta produk-produknya, sekaligus mengupayakan penguatan DPD melalui kerja-kerja politik lainnya. Disamping itu, mereka melaksanakan agenda prioritas alat kelengkapan DPD serta agenda lain yang urgen dan relevan dengan sesuai perkembangan keadaan.

Keempat anggota DPD asal daerah pemilihan masing-masing menyampaikan Laporan Kegiatan Anggota DPD di Sidang Paripurna DPD. Dibacakan salah satu anggota DPD, Laporan Kegiatan di masa reses itu menyinggung berbagai persoalan masyarakat dan daerah antara lain isu kerjasama pembangunan antarwilayah dan kawasan per-regional guna meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan daerah di segala bidang. Laporan Kegiatan juga menyinggung dukungan masyarakat terhadap amandemen kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) yang memperkuat posisi DPD di ranah parlemen dan tata negara. Tidak jarang, Laporan Kegiatan itu mengingatkan para senator agar melakukan penyerapan aspirasi konstituen (masyarakat) di masa reses sebagai salah satu dari sepuluh kewajiban anggota DPD.

Penyerapan aspirasi itu bukan tindakan asal serap saja, tetapi menginventarisasi masalah masyarakat dan daerah yang strategis. Terhadap aspirasi itu, para senator membaginya dalam tiga kategori: kesatu, untuk masalah berlingkup lokal, mereka menyerahkan tindak lanjutnya kepada bupati/walikota di wilayah bersangkutan dan mereka tetap memantau penyelesaiannya di masa reses berikut; kedua, untuk masalah berlingkup regional, mereka menyerahkan tindak lanjutnya kepada gubernur dan mereka tetap memantau penyelesaiannya di masa reses berikut; dan ketiga, untuk masalah berlingkup nasional, mereka membawanya ke Jakarta, menyampaikannya dalam sidang paripurna DPD, serta menemukan solusi dan alternatifnya dalam rapat komite atau alat kelengkapan lainnya.

Keempat anggota DPD di masa reses memang melakukan kegiatan di daerah, dan karena setiap anggota DPD, kecuali pimpinan DPD, menjadi anggota salah satu alat kelengkapan DPD, maka sekian banyak produk alat kelengkapan DPD tentu saja urgen dan relevan bagi perkembangan dan kebutuhan daerah. Dalam bahasa ringkasnya, berbagai keputusan DPD itu membuktikan semakin meningkatnya produktivitas alat kelengkapan DPD. Keputusan DPD itu merupakan hasil kerja politik para senator ketika menyikapi persoalan negara dan bangsa. Namun, entah bagaimana nasib sekian banyak keputusan DPD itu. Oleh karena itu, memasuki tahun sidang terakhir ini yang merupakan tahun politik, Ketua DPD mengajak para senator untuk optimistis dan menjaga konsistensi ritme kerjanya agar tetap produktif serta motivatif.

Kini, keterlibatan DPD dalam pengajuan dan pembahasan RUU bidang tertentu merupakan “rukun wajib”. Putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Tanpa keterlibatan DPD maka semua produk UU menjadi cacat formal. Konsekuensi UU yang cacat formal ialah produk tersebut tidak sah atau batal demi hukum. Masyarakat bisa saja tidak melaksanakan UU itu atau menggugurkannya melalui permohonan uji formal di MK. Pengujian ini juga disebut judicial review. Teori pengujian (toetsing) memang membedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing karena menyangkut perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam arti formal).

Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukan undang-undang adalah pengujian formil. Pertanyaannya: akankah semua produk UU yang mengalami cacat formal harus digugurkan oleh MK? Bukankah sistem ketatanegaraan modern mempraktekkan checks and balances yang tidak hanya antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif, namun juga checks and balances antarkamar dalam parlemen. Salah satu tujuan pembentukan dua kamar dalam parlemen ialah mengoptimalisasikan fungsi legislasi, sebab two eyes are better than one eye--dua mata yang bekerja dalam legislasi akan lebih baik.

Optimisme inilah yang menggaransi bahwa keterlibatan DPD justru akan menghasilkan UU yang jauh lebih banyak dan jauh lebih bermutu. Jadi, wajar saja jika sebagian para senator menyambut lega hasil permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang diajukan pimpinan DPD tanggal 14 September 2012. Keterlibatan DPD menjadi obat mujarab agar semua produk UU tidak cacat formal.

Berkat kerja keras dan kerja cerdas mereka, putusan MK menjadi kado istimewa ketika usia DPD menginjak tahun kesembilan tanggal 1 Oktober 2013 nanti. Dirgahayu!


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun