Masih ingat 212 Mart? Itu lho... toko berjamaah yang lahir dari semangat massa, dari gemuruh takbir di Monas tahun 2016, yang gegap-gempita melawan arus zaman, katanya sih mau jadi alternatif umat dari dominasi Indomaret dan Alfamart.
Tapi jangan salah, angka 212 itu bukan barang baru. Bagi pembaca setia Wiro Sableng, angka itu sudah jadi semacam jimat. Angka sakral yang nempel di dada pendekar kita, lengkap sama Kapak Maut Naga Geni-nya.
Nah, yang jadi soal: waktu nama "212" dipakai buat toko, ada banyak mata yang ngintip dari kejauhan. Bukan mata intelijen negara, tapi mungkin mata para ruh leluhur, para pecinta Wiro, dan... mungkin juga Wiro-nya sendiri.
"Lho, kok angka saya dipakai tanpa permisi? Emang saya endorsement? Apa sudah kirim doa dulu ke Bastian Tito? Tahlilan dulu kah? Atau minimal WhatsApp keluarga?" begitu kira-kira kalau Wiro Sableng bisa protes dari dunia simbol.
 Pondasi Masih Rumah Gribik
Kita ini kadang suka lucu. Mau bikin bisnis syariah, tapi lahirnya dari marah berjamaah. Mau bangun ekonomi umat, tapi logika dagangnya belum sampai ke perhitungan harga grosir. Mau mengalahkan raksasa, padahal fondasi rumahnya masih dari triplek.
Kalau Rasulullah bilang "innamal a'malu binniyat" --- segala amal tergantung niatnya --- ya kita juga kudu jujur: niat kita ini beneran lillah, atau pengen balas dendam sosial atas ketimpangan lama?
Dalam ensiklopedia, 212 Mart pertama kali dibikin tahun 2017, nggak lama setelah langit Jakarta pecah oleh Aksi Damai 212. Waktu itu semangat umat sedang di langit ketujuh. Lalu lahirlah ide: bikin koperasi ritel umat, berbasis syariah.
Di banyak kota, gerainya buka dengan penuh semangat. Ada yang pakai marching band, ada yang syahdu dengan doa bersama, ada yang ngundang artis. Sayadan santri sempat juga kebagian yasinan. Untungnya, saya nggak ikut patungan, sebab uangnya baru cukup untuk santri. Kali itu, semuanya percaya: ini awal kebangkitan ekonomi Islam!