Dalam dunia tasawuf, amal itu tidak hanya dinilai dari bentuk luar, tapi dari niat tersembunyinya. Kadang kita membangun masjid, tapi dalam hati ingin diakui. Kadang kita bersedekah, tapi dalam hati ingin dipuji. Maka dalam logika Allah, amal itu tidak dinilai dari fisiknya, tapi dari "getar ruh" yang mengiringinya.
212 Mart, kalau ditilik dengan mata batin, bisa jadi adalah amal yang mulia. Tapi bisa juga ia ditunggangi oleh ujub kolektif. Ingin menunjukkan bahwa "kami bisa!", "kami bangkit!", "kami lebih bermoral!". Padahal Nabi bilang; L yadkhulu al-jannata man kna f qalbihi mitsqlu dzarrah min kibri (Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat seberat biji zarrah (atom) kesombongan)
Rumah dari Kertas
Dengan kata lain : kalau dalam hatimu ada setitik sombong, surga pun tak kau cium baunya.
Imam Al-Ghazali mengingatkan, amal yang dibangun dari ghadab (marah), ujub (sombong), atau riya (pamer) --- itu seperti rumah dari kertas di tengah badai.
Mungkin niat awalnya ikhlas. Tapi ketika media masuk, pujian datang, investor berdesakan, nafsu bisa menyusup diam-diam. Dan Allah, dalam kehendak-Nya yang tak tertebak, bisa saja membiarkan amal itu roboh demi menyelamatkan hati umat dari penyakit yang lebih dalam.
Nama Harus Diruwat
Orang Jawa bilang, "jeneng kudu diruwat" --- nama harus dibersihkan, dimintai izin, dibawa berdoa. Karena nama itu bukan cuma aksara, tapi getaran. Dalam tradisi lama, kalau mau buka usaha, orang akan minta restu sesepuh, nyekar ke makam leluhur, bahkan minta pertimbangan hari baik. Bukan klenik, tapi bentuk adab.
212 Mart lahir dari nama yang besar. Nama yang punya sejarah. Tapi dia lahir tanpa prosesi. Tanpa permisi. Tanpa adat. Mungkin dianggap lebay. Tapi dalam dunia ruhani, itu serius. Nama yang berat tidak bisa dipikul oleh struktur yang ringan. Nama yang kuat tidak bisa asal ditempel.
Dan 212 Mart, barangkali sedang menanggung karma dari nama yang belum diruwat itu. Nama yang semestinya disakralkan, tapi dipakai sebagai label promosi.
Menyuapi anak dengan Bubur Tetangga