Orang ikut patungan karena semangat ukhuwah, bukan karena prospek bisnis. Dan ketika realitas pasar menuntut sistem yang disiplin, transparan, dan profesional, semangat massa itu tak bisa menjawab. Ia pun runtuh.
Pengamat ekonomi Indonesia, Faisal Basri bilang: "Ini bukan gagalnya ide, tapi gagalnya manajemen." Saya tambahkan: ini gagalnya membedakan antara semangat dan sistem. Antara gegap gempita dan kerja diam-diam membangun fondasi.
Ketika Nama Tak Punya Adab
Kita ini bangsa yang hidup di tengah pusaran simbol. Nama bukan cuma identitas, tapi doa, sejarah, bahkan kadang bagian dari warisan spiritual.
Nama "212" itu, sebelum dibaptis jadi gerakan, sudah dikenal masyarakat sebagai nama pendekar nyeleneh: Wiro Sableng. Karya Bastian Tito. Tokoh dengan kapak naga geni 212.
Lalu tiba-tiba nama itu dipakai jadi nama toko. Tidak permisi. Tidak sowan ke ahli waris. Tidak yasinan, tidak tahlilan. Di banyak budaya, itu namanya tidak punya adab.
Di sisi hukum modern, itu bisa ditarik ke urusan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Di sisi budaya, itu bisa dibilang "ngalap berkah tanpa izin." "Ngalap berkah itu bukan kayak nyolong mangga di kebun tetangga." Anda itu boleh saja cari berkah dari kiai, dari tempat keramat, dari benda pusaka, bahkan dari daun jambu yang jatuh di halaman pesantren. Tapi jangan lupa, berkah itu bukan benda liar yang bisa Anda ambil seenaknya. Ada tata krama. Ada adab. Ada izin.
Kalau Anda  belum pernah sowan, belum pernah minta restu, belum ngerti silsilah keberkahan itu dari mana, lalu Anda ambil saja, itu namanya bukan ngalap berkah, tapi ngerampok halus dalam baju religi.
Ibaratnya, Anda lapar, terus masuk warung, makan sepiring penuh, terus kabur tanpa bayar. Perut Anda kenyang, iya. Tapi harga diri Anda, dan etika Anda---ambrol.
Begitu juga dengan berkah: dalam batin Nusantara, itu bisa bawa cilaka kalau jalannya ngawur, yang datang bukan rahmat, tapi mungkin malah laknat.
Dalam soal anga 212, Bastian Tito mungkin diam. Tapi dalam dunia simbol, diam bukan berarti ridho. Dan mungkin saja ruh Wiro, si pendekar sakti itu, tidak rela namanya dipakai tanpa restu. Maka toko-toko itu, satu per satu, kena sabetan kapak tak kasat mata oleh Wiro Sableng.
Nafsu di Balik Amal