Mohon tunggu...
Imas Siti Liawati
Imas Siti Liawati Mohon Tunggu... profesional -

Kunjungi karya saya lainnya di www.licasimira.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[LOMBAPK] Kami Beda

2 Juni 2016   11:21 Diperbarui: 2 Juni 2016   13:04 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar diambil dari www.kompasiana.com/planetkenthir

“Aduh, Dek. Kamu itu nilainya kapan sih bagus-bagus kayak Kakak?”

“Nilai kayak gini kayak mana mau rangking kelas coba? Yang ada bikin malu aja.”

“Tiru sih Kakak itu! Nilainya bagus-bagus. Langganan juara kelas, bikin Mama sama Papa bangga terus!”

Aku merengut. Mama mulai ngeselin, gerutuku dalam hati. Setiap ngomelin aku, pasti bawa-bawa nama Kakak. Padahal paling nggak enak deh kalau udah  mulai dibanding-bandingin gini.

Eh,  Tapi kapan juga Mama nggak ngebandingin aku?

Dek, jadi anak cewek itu yang lembut kayak Kakak!


Dek, lihat tuh Kakak dikirim ikut olimpiade sains. Kamu kapan?

Dek, nurut kayak Kakak sih,

Dek, kamu kok kayak gini, Kakak nggak gitu

Dek, Kakak…,

Ck, bosen! Panas ini telinga rasanya…

“Dek! Kamu dengerin Mama ngomong nggak sih?”

Aku meringis. “Dengerin kok, Ma.”sahutku malas.

Mama mendesah kecewa.“Bingung Mama. Kamu tuh susah banget diaturnya. Nurut kayak Kakak kok susah.  Disuruh rajin belajar, biar nilainya bagus, payah amat ya. ”

“Jangan main aja sih, Dek. Boleh main tapi diatur waktunya. Kayak Kakak itu loh!”

Argh, Kakak lagi!

Kapan sih Mama nggak rusuh ngebandingin aku sama Kakak?

“Mama, ih!” Bibirku mencebik kesal. “Kakak lagi, Kakak lagi! Bosen tahu dengernya.”

“Ya abis kamu juga sih! nilai kok begini. Mama itu pusing lihatnya, Dek.”

Aku mendengus. “Sama aku juga pusing. Dengerin Mama dari tadi ngomel itu menghabiskan waktu juga tenaga.”

“Heh! Ngomong apa itu?” Mama melotot tajam. “Nih ya lagi mulai berani ngebales omongan orangtua. Nggak sopan! ” ujarnya sewot.

Salah lagi! Geramku dalam hati. Apa-apa salah! Kapan sih aku benar di mata Mama? Sumpah deh ya, Mama itu super nyebelin!

“Orang tua ngomong itu harusnya didengerin, Dek! Bukan malah masuk kuping kanan keluar kuping kiri!” omel Mama lagi dengan wajah bertekuk.

Aku manyun. Ah, Mama ngeselin amat sih! Nggak capek aja ngomel mulu? Nggak tahu orang lapar apa, gumamku dalam hati.

Kulirik jam dinding yang berada di atas layar TV. Ada kali ya lima belas menit lebih, aku diomelin Mama. Ini semua sih gara-gara nilai mid semester yang baru dibagi Bu Guru di sekolah. Aku baru juga sampai rumah ketika Mama sudah meminta lembar nila-nilai ujian mid semesterku. Padahal tadi aku sudah niat, takkan secepatnya memberikan pada Mama. Tapi apa daya, Mama justru sudah menunggu lebih dulu. Tak ada pilihan kan selain menyerahkan padanya. Meski ya aku tahu akan berakhir seperti ini.

“Ma, udahan sih ngomelnya. Aku lapar nih! Dari pulang sekolah udah ditahan di sini aja,” celetukku kemudian.

“Alasan aja!” cibir Mama. “Ya udah sana! Minta tolong Bi Ratmi suruh nyiapin,”

Bergegas aku bangkit dari sofa dan melangkah meninggalkan Mama menuju dapur. Menjauh dari Mamaitu, lebih cepat lebih baik. Namun baru beberapa langkah, Mama kembali berteriak,

“Dek, ganti baju dulu! ck, masa yang kayak gini harus Mama bilangin terus. Kakak kamu aja pas umur kamu udah ngerti. Mama tuh nggak perlu ngomong berkali-kali.”

Argh, Mama rese! Harus ya Kakak lagi! Kakak lagi!

Nyebelin, huh!

***

Perkenalkan namaku Lilian. Aku anak bungsu. Aku punya seorang kakak yang bernama Jasmine. Kakakku ini kakak yang baik juga sempurna. Prestasinya banyak. Nggak pernah absen juara kelas. Murid teladan. Hampir satu sekolah mengenal Kak Jasmine. Pokoknya keren.

Sejujurnya aku senang punya Kakak kayak Kak Jasmine. Walaupun prestasinya segudang, dia nggak sombong. Dia juga baik sama aku. Kita juga jarang berantem karena Kak Jasmine itu suka mengalah. Dia juga selalu siap membantuku kapan saja.

Tapi sayangnya gara-gara kepintaran Kak Jasmine, aku suka banget dibanding-bandingin. Teman-temanku sering bilang mereka ragu kalau aku adik Kak Jasmine. Secara prestasi kami berbeda jauh. Kalau nilai Kak Jasmine selalu menempati urutan pertama, aku sudah masuk sepuluh besar kelas saja syukur.

Nggak di sekolah nggak di rumah sama aja. Mama tuh yang paling suka ngomel dan kalau sudah ngomel pasti ujung-ujungnya ngebanding-bandingin aku dengan Kak Jasmine. Ck, udah kayak nggak ada topik lain aja.

Aku emang heran dengan kepintaran Kak Jasmine. Jenius banget itu otaknya. Cepat paham kalau dijelasin pelajaran, beda sama aku. Berulang kali diajarin dulu baru bisa mengerti materi. Makanya Mama suka sewot kalau ngajarin aku. Padahal aku tuh udah berusaha keras buat belajar, aku juga sampai ikut les tambahan, tapi tetap saja hasilnya nggak memuaskan. Nggak kayak kak Jasmine.

“Lagi ngapain, Dek?”

Aku terkejut. Papa tiba-tiba sudah berada di dalam kamar dan duduk di tepi ranjangku. Dahiku mengerut. Kapan Papa masuknya?

“Papa ngagetin ah,” gerutuku kesal.

Papa terkekeh. “Papa tuh udah ngetok pintu, tapi kamunya asyik ngelamun sih,”

“Nggak ngelamun, Pa. Tapi bete!” sahutku gusar.

“Pasti abis diomelin Mama,”

“Nah itu tahu pakai nanya lagi.” Balasku sarkas.

Alih-alih marah, Papa justru makin terbahak. Aku makin jengkel dibuatnya. “Nggak Papa nggak Mama. Sama-sama ngeselin, ah!”

“Masa?” kerling Papa menggoda.

Bibirku mengerucut. Papa sih lebih asyik orangnya. Nggak suka ngomel kayak Mama. Beliau juga nggak banyak menuntut. Tapi sayang, hampir tiga tahun Papa bekerja di luar kota. Ia hanya pulang seminggu atau dua minggu sekali. Yang itu berarti  keberadaan Papa amat jarang di rumah.

  “Jalan-jalan yuk, Dek!”

Aku mendongak. “Berdua aja,” tambahnya lagi.

Tumben, gumamku dalam hati. Setiap Papa pulang, kami sekeluarga memang memanfaatkan waktu dengan jalan-jalan sekeluarga. Pilihannya kalau bukan tempat wisata, ya pusat perbelanjaan.

“Mama mau ada acara reunian sama teman-temannya. Kak Jasmine katanya ada jam tambahan di sekolah. Dia kan mau dikirim lomba lagi.”

“Oh.” Mulutku membulat dan kepala manggut-manggut. Kak Jasmine emang hebat, untuk kesekian kalinya ia dipilih mewakili sekolah lagi.

Hem, alamat piala Kak Jasmine bakal bertambah lagi.

“Kok malah bengong, ayo!” Ajak Papa lagi.

“Aku itu harus kayak mana ya, Pa biar kayak Kakak? Aku mau juga punya piala. Punya prestasi juga. Aku bosen kalau dibanding-bandingin sama Kakak terus,” keluhku pada Papa.

“Padahal aku itu udah belajar rajin loh, Pa. Les yang bikin pusing aja aku ikutin. Tapi masih juga belum bisa kayak Kakak,” Lanjutku lagi. “Harus gimana lagi coba?”

Sesaat hening.

Aku menoleh dan menatap Papa yang tersenyum. “Udah ah, nggak usah sedih. Mending ikut Papa yuk!”

“Mau kemana sih, Pa?” Aku bersungut-sungut. Papa dicurhatin malah tetap ngajak pergi lagi. “Males ah keluar rumah. Panas.” Sambungku mengelak.

Papa menggeleng. “Nggak boleh males, Dek. Ayo ikut, daripada di rumah aja! Yuk, jarang-jarang kan kita pergi berdua aja.”

Aku masih mau menolak tapi urung karena Papa menarik lenganku untuk beranjak dari kasur. “Ayo, ikut! Papa jamin kamu nggak nyesel.”

***

Berbagai macam lukisan indah tampak berderet di sepanjang dinding yang kulewati. Aku ternganga takjub melihatnya. Sungguh, gambar-gambarnya tampak hidup dan mempesona.

“Bagus-bagus ya, Dek?”

Aku menengadah lalu mengangguk. Papa tersenyum. Ternyata ia membawaku ke pameran lukisan, dimana salah seorang pelukisnya adalah sahabat lama Papa. Om Ray, namanya. Tadi aku sempat dikenalkan saat di pintu masuk.

“Bagusnya pakai banget tau, Pa.”

Papa tertawa. “Iya-iya. Bagus banget. Eh, adek mau nggak belajar ngelukis nggak sama Om Ray?”

Aku bengong.

“Ya kali siapa tahu Adek mau, nanti kalau mau Papa bilangin ke…,”

“Mau-mau!” aku mengangguk antusias.

“Bener?”

Aku kembali mengangguk. “Iya, Pa.”

“Yaudah, nanti Papa daftarin ya.”

Senyumku melebar lalu memeluk Papa. “Makasih, Pa.”

“Dek, satu hal yang harus kamu tahu. Setiap orang punya kemampuan masing-masing. Nggak selalu sama. Yang penting jangan menyerah. Terus berusaha.”

***

“ADEKKKKKKKKKK!”

Aku terlonjak kaget. Mama tiba-tiba memelukku saat aku baru tiba di rumah setelah pulang sekolah. “Ya ampun, Dek. Mama bangga sama Adek deh!”

Aku melongo. Bingung.

“Adek hebat! Adek keren! Maafin Mama ya, Dek!”

Aku garuk-garuk kepala semakin bingung. Ini Mama salah makan apa ya?

“Mama kenapa sih?” tanyaku setelah ia melepaskan pelukannya.

Mama tersenyum lalu menarik tubuhku ke sofa lalu menyodorkan amplop putih ke arahku. Masih dengan raut bingung, kubuka amplop tersebut. Tak lama aku terbelalak membaca isi surat itu.

“I—ini beneran, Ma?”

Mama mengangguk senang. “Iya dong!”

“Nggak bohong?”

“Nggak, Dek. Papa udah telepon ke panitia langsung kemarin, dan emang iya karya Adek yang dikirim Om Ray dapat juara pertama.” Papa muncul dari arah kamar. Ia tersenyum lebar padaku.

Aku terbeliak. Kaget jelas, bangga apalagi. Bahagia nggak terkira. Rasanya campur aduk aja. Ah, akhirnya, aku bisa menunjukkan prestasi.

Bergegas aku menghambur ke pelukan Papa. Kalau bukan karena Papa, sepertinya aku takkan sampai di sini. “Makasih ya, Pa.”

Papa tersenyum. “Selamat ya, Dek. Adek hebat,”

Aku manggut-manggut kegirangan lalu melepaskan pelukan. “Iya.”

“Dek, Mama juga minta maaf ya,”

Aku berbalik lalu menatap Mama. “Papa itu udah sering bilangin Mama kalau Adek pasti punya hal lain yang diminati. Tapi Mama masih aja ngeyel. Maksa Adek kayak Kakak. Padahal kalian beda. Maafin Mama ya, Dek.”

Kepalaku mengangguk lalu tersenyum. “Iya, Ma.” Ucapku sembari memeluknya. Hari ini aku benar-benar senang. Bahagia membuncah di hati.

Yes, akhirnya aku bisa kan bikin Mama dan Papa bangga kan?

***

Lampung, Juni 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun