"Gue capek banget hari ini."
Kalimat itu saya baca di media sosial seorang teman sore tadi. Sepintas sederhana, tapi entah kenapa saya terdiam. Kalimat itu bukan hanya ungkapan lelah, tapi juga representasi bahasa zaman sekarang.
Kita hidup di era ketika bahasa formal dan informal saling bertabrakan, bercampur, bahkan membentuk "identitas baru" dalam berkomunikasi. Di satu sisi, ada bahasa Indonesia yang baku dan teratur. Di sisi lain, ada bahasa gaul yang luwes, kreatif, dan kadang sulit dimengerti oleh generasi yang berbeda.
Bahasa Tidak Baku: Akrab dan Leluasa
Di ruang digital, kita dengan mudah menjumpai kosakata seperti "gue", "lo", "banget", "capek", "mager", "ngerti", dan sebagainya.
 Kalimat seperti:
- Gue gak ngerti deh tugas yang tadi.
- Lo udah makan belum?
- Mager parah, pengen rebahan aja.
 terdengar sangat biasa---bahkan hangat---di kalangan anak muda. Bahasa seperti ini dianggap lebih ekspresif, simpel, dan membangun kedekatan.
Bahasa Baku: Formal Tapi Perlu
Namun dalam situasi formal, bahasa tidak baku tentu tidak bisa digunakan. Bayangkan menulis surat lamaran kerja dengan kalimat:
 "Gue tertarik kerja di sini karena loh kayaknya asik."
Tentu saja tidak tepat.
Di sinilah pentingnya bahasa baku. Bahasa yang sesuai dengan kaidah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) diperlukan dalam konteks:
-Penulisan akademik
-Surat resmi
-Wawancara kerja
-Laporan kegiatan
-Komunikasi profesional
Contoh kalimat baku:
- "Saya sangat lelah hari ini."
- "Apakah Anda sudah makan?"
-"Saya belum memahami materi tersebut dengan baik."
 Dua Dunia yang Bisa Berdampingan
Menariknya, generasi saat ini justru fasih berpindah antara dua dunia: dunia formal dan informal. Di ruang kelas, mereka bisa menulis:
"Pendidikan merupakan kunci utama pembangunan bangsa."
Namun lima menit kemudian di grup WhatsApp, mereka menulis:
Bro, tugasnya berat banget! Mau nangis!
Hal ini bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan berlebihan, selama mereka tahu kapan dan di mana harus menggunakan masing-masing gaya bahasa.
Kesimpulan: Berbahasa dengan Cerdas
Bahasa Indonesia terus berkembang. Kata baku dan tidak baku bukan untuk dipertentangkan, melainkan dimanfaatkan secara tepat sesuai konteks.
Kita bisa tetap "asik" di media sosial dengan bahasa gaul, sambil tetap bisa "resmi" saat dibutuhkan. Karena pada akhirnya, menjadi pengguna bahasa yang cerdas berarti tahu kapan harus bilang "gue capek banget" dan kapan harus menuliskannya sebagai "saya sangat lelah."
Kamu lebih sering pakai yang mana? 'Gue' atau 'Saya'?
Tulis di kolom komentar, yuk!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI