Mohon tunggu...
Imanuel  Tri
Imanuel Tri Mohon Tunggu... Guru - Membaca, merenungi, dan menghidupi dalam laku diri

di udara hanya angin yang tak berjejak kata. im.trisuyoto@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Inilah Kesalahan Akut Seorang Guru: Salah Fokus!

17 Maret 2021   04:30 Diperbarui: 17 Maret 2021   04:39 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi-guru-mengajar. Suara.Com

Kalau saya cermati dunia pembelajaran di sekolah ada beberapa fenomena yang sangat menarik.

Fenomena Kelompok Siswa di Kelas

Populasi siswa dalam satu kelas, di jenjang sekolah mana pun, selalu terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok papan atas, kedua kelompok papan tengah, dan ketiga kelompok papan bawah.

Kelompok papan atas identik dengan anak-anak yang cerdas, santun, baik budi, rajin, suka belajar, dan memiliki nilai nyaris selalu sempurna.

Kelompok papan tengah identik dengan anak-anak  sedang. Pintar sekali ya tidak.  Nakal, juga tidak. Nilai perolehan istimewa ya tidak, tetapi juga bukan jelek.

Sebenarnya kelompok papan tengah ini termasuk klasifikasi baik. Namun, jarang dapat memperoleh nilai istimewa.

Sedangkan kelompok papan bawah identik dengan anak-anak yang sukar diajar, sering bolos, tidak rajin, sering membuat kegaduhan, tidak mengerjakan PR, dan selalu mendapat nilai di bawah kriteria ketuntasan minimum (KKM).

Dilihat dari sudut jumlah siswa di masing-masing kelompok, di manapun dan kapanpun  juga relatif memiliki prosentase yang sama.

Kelompok papan atas jumlahnya kira-kira dua puluh persen dari jumlah siswa di kelas. Kelompok papan tengah kira-kira enam puluh persen. Kelompok papan bawah kira-kira dua puluh  persen.

Jika jumlah dalam satu kelas ada 28 siswa (standar untuk SD, saat ini).  Maka siswa di papan atas ada sekitar  6 siswa. Di papan tengah ada 16 siswa, dan di papan bawah ada 6 siswa.

Artinya, jumlah siswa yang berklasifikasi baik jumlahnya masih lebih banyak, yakni sekitar 80  persen, yakni 22 siswa. Bandingkan dengan siswa kurang baik yang hanya 20 persen atau 6 siswa.

Fenomena Guru Salah Fokus

Sayang sekali, banyak guru yang keliru fokus menaruh nama-nama siswa di hati.

Diakui atau tidak, nama-nama siswa papan atas itu sangat melekat di hati guru. Nama siswa papan atas sering menjadi kebanggan guru ketika mereka saling curhat di ruang guru.

Demikian juga nama-nama siswa di papan bawah! Nama-nama siswa di papan bawah jugs sangat dihafal oleh guru. Sayangnya, selalu dikaitkan dengan perilaku atau prestasi buruk si siswa.

Berdasarkan pengamatan saya selama lebih dari tiga puluh tahun, banyak guru yang begitu asyik ngrumpi (baca: memperolok ) siswa dari golongan papan bawah.  

Berikut penggalan-penggalan celotehan guru pada saat jam istirahat di ruang guru.

"Jian, si Anu itu blas tidak punya malu. Masak kemarin ulangan dapat 40, sekarang diulang malah dapat 30, Hem besok kalau saya suruh ulangi lagi pasti  20?!  Menjengkelkan sekali"

Terus ada guru yang menimpali.

"Ya, si Anu itu memang bodohnya gak ketulungan. La cuma ditanya ibu kota Indonesia mana? Itu saja tidak bisa! Entah besok mau jadi apa, dia!"

Guru lain berkomentar pula.

"Nulis saja ya tidak pernah lengkap hurufnya, si Anu itu!"

Dan ada guru lain lagi, nimbrung ngrumpi.

"La la la kok menulis, membaca saja ya tidak bisa! Semprul tenan si Anu itu!"

"Lo, ada lagi. Itu si Sondeng yang pakaiannya selalu nglomprot tidak karuan. Tidak bisa menghitung, selalu bikin gaduh di kelas."

"E, ala apa lagi si Sondeng itu. Cuma cengengesan kalau dimarahi. Jian *nyumpek-nyumpeki kelas."

Begitu kurang lebih celotehan guru-guru yang saya rekam di kepala. Celotehan bernada geregetan itu hampir setiap hari terdengar.

Anehnya guru-guru tidak pernah menyeloteh anak-anak papan tengah. Padahal kalau diklasifikasi anak-anak papan tengah itu termasuk baik dan jumlahnya lebih banyak.

Heran, ya benar-benar mengherankan!

Bagaimana tidak heran? Jika prosentase anak papan atas dan papan tengah digabung ada sekitar 80 %. Artinya anak yang baik di kelas itu ada 80 %. Sedangkan anak yang kurang baik hanya 20%. Mengapa guru-guru justru hatinya jengkel dan fokus kepada siswa yang 20 %?

Apakah guru-guru itu tidak tahu bahwa pikiran sangat berpengaruh pada pengejawantahan hasil? Orang Jawa bilang Sabda Pandita Ratu. Apa yang dikatakan itu yang terjadi.

Jika guru selalu menegatifkan siswa, maka sekelompok siswa itu akan benar-benar menjadi siswa yang menyandang banyak kekurangan. Siswa tersebut tidak akan berkembang.

Guru Sebaiknya Fokus Berpandangan Positif

gbr. akurat.co
gbr. akurat.co
Guru sebaiknya sadar bahwa siswa yang baik di kelas jumlahnya lebih besar yaitu 80 persen. Jadi, fokus saja pada siswa-siswa yang baik yakni siswa papan atas ditambah siswa papan tengah. Berdayakan kekuatan 80 persen siswa tersebut.

Percayalah jumlah siswa baik yang besarnya 80 persen itu bisa dimanfaatkan untuk mempengaruhi siswa papan bawah yang hanya di kisaran 20 persen. Dengan begitu, guru bisa memandang siswa yang kurang dengan cara yang benar.

Guru juga harus paham. Siswa yang nilainya hampir selalu di bawah KKM itu belum tentu kalau besok di masyarakat juga akan hidup menderita di bawah standar hidup normal. Saya sudah membuktikan, bahwa banyak anak yang ketika di kelas berada di papan bawah tetapi di kemudian hari hidupnya lebih mapan.

Nih, saya beri contoh nyata. Murid saya di tahun 80-an. Nama, saya samarkan.

Namanya, Rondi. Dia siswa kelas 6 SD. Nilainya hampir selalu tidak tuntas. Sering tidak masuk sekolah.

Suatu waktu, Rondi tidak nongol di sekolah lima hari berturut-turut. Padahal saya tidak pernah memarahi tentang seringnya tidak masuk sekolah. Saya juga tidak pernah memarahi masalah nilai yang jelek.

Pagi itu, jam olahraga. Hari ke enam Rondi tidak masuk sekolah. Saya dengan antusias meninggalkan sekolah mencari alamat rumah Rondi. Lumayan, sekitar tiga kilo meter dari sekolah. Di perbukitan, padat penduduk.

Orang tua si Rondi, waktu itu yang ada ibunya. Beliau tergopoh-gopoh, khawatir!

Saya kemudian menanyakan keadaan si Rondi. Kenapa sudah satu minggu tidak bersekolah.

Ibu setengah baya itu terkaget-kaget. Kemydian tampak lemas. Tetapi sorot matanya memancarkan  geregetan.

Ibu itu memberitahukan bahwa si Rondi setiap hari berangkat ke sekolah. Hari itu, dikatakan si Rodi juga berangkat ke sekolah.

Singkat cerita, sebelum berpamitan, saya berpesan sunggu-sungguh agar ibu itu jangan memarahi si Rondi. 

Saya sampaikan, kalau si Rondi dimarahi justru akan kabur dari rumah. Saya yakinkan kepada si ibu bahwa saya akan membantu mengatasinya.

Sambil berjalan, pikiran saya berputar menelusuri bayangan si Rondi. Dan, saya berkesimpulan si Rodi itu punya kecerdikan luar biasa. Bagaimana tidak cerdik. Dia bisa mengelabuhi orang tuanya dan para tetangganya.

Pagi hari,  ia berangkat memakai seragam sekolah. Dan siangnya, ia pulang tepat jam pulang sekolah dengan tetap rapi berseragam. Padahal si Rondi tidak ikut pelajaran di sekolah. Cerdik bukan?!

Hari berikutnya, si Rondi datang ke sekolah dengan diantar orang tuanya. Ditunggui beberapa saat. Dan pulangnya di jemput. Begitu saya amati beberapa minggu.

Selama itu pula, saya tidak pernah mengungkit masalah bolos sekolah. Saya tidak mempergunjingkan si Rodi di ruang guru. Bahkan kalau ada guru kelas bawah bertanya, bagaimana si Robdi sekarang? Masih bengal?

Saya menjawabnya dengan penuh doa. O, tidak. Si Rodi, sekarang susah baik! Hi hi hi gitu saja.

Saya juga tidak menginterogasi Rondi. Bukankah saya sudah tahu perihalnya. Dan bukankah si Rondi sudah ketar-ketir terhadap saya!

Jadi, saya justru tak membahas perihal buruknya. Saya justru berusaha mati-matian untuk menerima si Rondi apa adanya.

Saya  berusaha meningkatkan frekwensi komunikasi dengan Rondi. Perhatian saya dengan sengaja saya curahkan kepadanya lebih dari biasanya. Hubungan saya sebagai guru dan Rondi pun semakin  baik.

Rondi berubah perlahan. Tidak lagi bolos. Mulai mau belajar. Mulai berani bertanya apa saja kepada saya, gurunya. Itu dilakukannya di dalam pelajaran dan di luar pelajaran.

Singkat cerita, Rondi lulus sekolah. Waktu berlalu.

Dua puluh lima tahun kemudian, setelah jaman medsos, bertemulah saya dengan Rondi di jagad maya. Dia memaksa minta alamat rumah.

Seminggu kemudian si Rondi datang ke rumah. Tepat selepas senja.

Rondi dengan mata berkaca-kaca bahagia berterima kasih kepada saya. Saya lihat gaya bertutur dan mimik mukanya mengekspresikan kesungguhan yang luar biasa.

Dia bilang, dia bisa sadar dari kenakalannya hanya karena saya mencarinya ke rumah. Dia juga tahu kalau saya berpesan agar ibunya tidak memarahinya melainkan memberikan perhatian secara cukup. Dan, satu lagi, dia bilang "kok bisa ya Pak Guru tidak memarahi saya waktu itu!"

****

Begitulah, cerita si Rondi. Dia berubah bukan karena hukuman, bukan karena pergunjingan, melainkan karena perhatian.

Semoga, banyak siswa tercerahkan oleh sikap guru yang tetap fokus pada keterbukaan menerima siswa apa adanya. @Salam edukasi.

Caratan:

*nyumpek-nyumpeki = membuat sesak di hati / pikiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun