[caption caption="Obrolan di tepi Ranu"][/caption]
Cerpen: Iman Suwongso
Maaf, aku harus mengisahkan cerita ini, Pak.
Malam belum senyap betul. Sesekali ada derai tawa di pos ronda yang berdiri di pertigaan sana. Angin disergap pucuk-pucuk daun yang menghitam. Langit biru tua menjadi kanfas awan perak dan bulan layu. Laki-laki itu mengendap diantara bayang-bayang daun mangga. Ranting-ranting gemeretak karena injakan kakinya. Suara lembut itu menjadi nyaring terdengar di telinganya. Televisi di dalam rumah ini masih menyala, suaranya terdengar lamat-lamat, seperti orang berbisik.
Laki-laki itu baru saja melompati pagar tembok setinggi lima meter. Ia perlu mengatur nafasnya. Ia berjongkok di atas rerumputan, diantara tanaman perdu, sambil membayangkan tubuhnya sudah tidak berbeda dengan tembok atau gerumbulan perdu. Seperti bunglon.
Sebelum melompat pagar tembok, dia sudah merapalkan ajian sirep dan ditutupnya dengan menebarkan sejumput tanah kuburan. Cara yang sudah terbukti keampuhannya, setidaknya telah tujuh kali memudahkan usahanya. Penghuni rumah yang ia masuki selalu tidur lelap seperti mayat. Ia keluar tanpa hambatan setelah mengatur seluruh perabotan yang telah diacak-acak, sehingga pemilik rumah, setelah terbangun, Â tidak merasa rumahnya telah digarong.
Saat menunggu kampung betul-betul tenang, semangatnya selalu membuncah. Seperti anak-anak yang mengejar layang-layang putus. Pencuri itu harus bisa mendapatkan yang ia inginkan, meskipun jalan masuk rumah mungkin cukup sulit. Ia selalu menggambar dalam benaknya keadaan rumah secara rinci, di bawah pohon-pohon yang menyamarkannya, ketika sedang menunggu penghuni rumah sampai lelap. Pencuri cerdik itu akan menemukan kelemahan rumah ini, kemudian dengan mudah menjebloskannya ke dalam.
Ketika rumah itu masih hidup, Laki-laki berkulit coklat pekat itu selalu membayangkan Nunung. Sedang apa dia? Apakah masih menonton telivisi seperti penghuni rumah yang sedang diincarnya? Atau sedang mendengkur? Ia tidak mengerti, mengapa sangat ingin mengawininya. Padahal perempuan ini tidak terlalu cantik. Kalau dia tampak segar, karena dia pandai menutupi kekurangannya itu dengan kosmetik.
Nunung bersedia dikawini kalau ia diboyong ke rumah baru. Bukan tinggal di rumah orang tuanya, atau tinggal di rumah si Laki-laki yang hampir remuk itu. Laki-laki itu membusungkan dada, mengatakan bersedia memenuhi permintaan Nunung tanpa tawar menawar. Tapi, sesudah menyanggupi, kepalanya terasa berputar. Maaf, untuk mendapatkan rumah baru, honornya selama dua puluh tahun tidak akan cukup. Maka, ia harus mendapatkan penghasilan tambahan. Apa yang bisa dikerjakannya untuk memperoleh gaji cukup? Sementara ia berijasah rendahan?
Kemudian ada orang yang menolongnya. Laki-laki berjanggut putih itu memberikan ajian sirep kepadanya. Hanya memberikan begitu saja, tanpa memberikan petunjuk. Gunanya ajian itu, kemudian diperolehnya dari obrolan di warung kopi. Ia nekad untuk mengujinya. Ternyata berhasil dengan mulus. Jangankan penghuni rumah, ayam pun tak dapat berkokok. Maling debutan itu meraup harta pemilik rumah seadanya. Hasilnya, ia tabung.
Tapi, yang memudahkan ia mengeruk harta orang-orang itu, bukan hanya mengandalkan ajian sirep dan tanah kuburan. Ia juga tahu rumah-rumah yang menjadi sasaran, selalu tidak ada penghuni laki-laki. Para laki-laki itu sedang bepergian jauh untuk bekerja. Pilihannya tidak sia-sia, mereka memiliki simpanan kekayaan yang cukup karena mereka rajin bekerja.
Rumah yang diincarnya kali ini, juga sedang tidak ada laki-lakinya. Perempuan penghuni rumah ini, Mustika, telah menjanda sejak beberapa tahun lalu. Ia janda yang cukup kaya. Ia memiliki usaha penggilingan padi peninggalan suaminya. Rumahnya cukup besar. Berpagar tembok yang lebarnya lima puluh langkah kakinya. Panjangnya kira-kira lebih dari lebarnya.
Calon pencuri rumah janda ini tidak sabar untuk menguras tabungan pemilik rumah. Orang semacam Mustika sudah pasti memiliki peti uang dan perhiasan. Ia juga tahu, Mustika memiliki dua buah sepeda motor bebek jenis baru. Tapi, ia tidak tertarik mengambilnya. Akan menyusahkan. Lebih baik dia mengambil uang atau barang yang mudah dijual, seperti perhiasan. Kalungnya yang menggelantung di lehernya itu, gelang keroncong yang bertumpuk-tumpuk di lengannya itu. Laki-laki itu ngiler membayangkan.