Penjurusan di SMA kembali direncanakan pemerintah. Jika penerapan ini menjadi bagian dari penguatan peta pendidikan Indonesia, mungkin memang perlu dilakukan. Pertanyaannya, apakah peta pendidikan ini menjadi bagian dari arah pembangunan Indonesia yang lebih jelas dan terarah?
Tulisan ini berangkat dari tanggapan saya di opini Pak Karnita Menghidupkan Kembali Penjurusan di SMA: Antara Nostalgia dan Kebutuhan Masa Depan, yang menurut saya mengulas soal penjurusan di SMA ini secara cukup komprehensif, dan menyinggung masalah peta pendidikan di beberapa bagiannya.
Peta yang Buram dan Arah yang Tak Jelas
Terkait hal tersebut, saya sebelumnya menulis, "Peta itu yang tampaknya masih buram. Peta pendidikan itu juga tidak bisa berdiri sendiri, dia mesti menjadi bagian dari peta pembangunan Indonesia jangka panjang: kita hendak ke mana?"
Apa peran yang hendak kita ambil di panggung dunia? Bangsa tukang? Penyedia tenaga kerja murah? Lahan pabrik bagi industri asing? Setelah tegas kita memilih, baru kita bisa merumuskan peta jalan pendidikan yang lebih terarah—jelas mengarah ke mana.
SMK, Jurusan, dan Realitas Dunia Kerja
Peta itu—yang meski secara formal ada—rasanya hampir tak pernah menjadi panduan kita. Kita bisa melihat bagaimana SMK, pendidikan vokasional yang mestinya mengatasi masalah kesenjangan antara ketersediaan tenaga kerja dan lapangan kerja, justru jadi penyumbang angka pengangguran terbesar. Per Agustus 2024, menurut data BPS, tingkat pengangguran terbuka dari lulusan SMK mencapai 9 persen—tertinggi dibanding lulusan jenjang pendidikan lainnya.
Kita juga bisa melihat bagaimana penetapan jurusan/program studi di banyak SMK tidak mencerminkan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri di sekitarnya. Ketika pendidikan tidak nyambung dengan realitas, yang terlahir adalah antrian calon pengangguran, dan jangan harap dominasi usia produktif di 2045 akan jadi bonus demografi.
Sebuah laporan World Bank tahun 2023 menyebut bahwa "mismatch" antara keterampilan lulusan dan kebutuhan industri menjadi salah satu hambatan utama produktivitas tenaga kerja Indonesia.
Peminatan SMA dan Tantangan Perguruan Tinggi
Jika kini peminatan di SMA dilakukan kembali, apakah ini sudah memperhitungkan kemampuan perguruan tinggi untuk menyerap siswa lulusan SMA sesuai minatnya? Jika ya, apakah ketersediaan peminatan di perguruan tinggi ini juga sudah sesuai dengan ketersediaan lapangan kerjanya?
Minat siswa tidak bisa hanya ditentukan oleh ketersediaan lapangan kerja. Pendidikan juga harus menghargai cita-cita dan kebebasan berpikir. Tapi diperlukan keseimbangan. Dan sejauh ini, kita belum melihat bahwa keseimbangan itu sungguh diperhitungkan dalam kebijakan.
Kita juga bisa melihat bagaimana lulusan SMA yang diasumsikan akan melanjutkan ke perguruan tinggi, akhirnya tetap harus berebut lapangan kerja dengan para lulusan SMK di ruang yang sama. Tracer study Universitas Indonesia mencatat bahwa sekitar 23 persen lulusan mereka bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan keilmuannya. Ini bukan semata soal pilihan pribadi, tapi cermin dari sistem yang tidak sinkron.