Menghidupkan Kembali Penjurusan di SMA: Antara Nostalgia dan Kebutuhan Masa Depan
“Pendidikan yang baik harus mengenali masa lalu, menjawab tantangan kini, dan menyiapkan masa depan.” — Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional
Oleh Karnita
Pendahuluan
Wacana menghidupkan kembali sistem penjurusan di tingkat SMA kembali mencuat ke permukaan setelah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyatakan akan mengevaluasi pelaksanaan Kurikulum Merdeka, khususnya terkait kebijakan pemilihan mata pelajaran. Dalam beberapa diskusi resmi, seperti yang disampaikan oleh Dirjen Pendidikan Menengah Kemendikbudristek pada akhir Maret 2025, muncul wacana untuk mengembalikan sistem penjurusan seperti IPA, IPS, dan Bahasa mulai kelas 11. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh banyaknya masukan dari sekolah, guru, dan orang tua murid terkait kebingungan siswa dalam menentukan pilihan mata pelajaran serta tantangan teknis seperti distribusi jam mengajar dan kesenjangan pemahaman siswa terhadap cita-cita masa depannya.
Bagi sebagian kalangan, kembalinya sistem penjurusan terasa seperti langkah mundur; sementara yang lain menyambutnya sebagai koreksi yang realistis atas problem di lapangan. Penulis mencoba menempatkan diri di antara dua kutub tersebut: bukan semata menilai hitam-putih, melainkan menyusuri dinamika kebijakan ini sebagai upaya perbaikan pendidikan menengah kita. Sebab sejatinya, yang perlu digarisbawahi bukan soal istilah “penjurusan” atau “peminatan”, melainkan bagaimana sistem itu benar-benar membantu peserta didik mengenali dirinya dan menyiapkan masa depannya.
1. “Peminatan” yang Membingungkan: Ketika Siswa Kehilangan Kompas
“Membiarkan remaja memilih sendiri tanpa peta adalah sama dengan melepas layang-layang di tengah badai.” — Dr. Elly Risman, Psikolog Keluarga dan Pendidikan
Sejak diberlakukannya Kurikulum Merdeka, siswa SMA diberikan keleluasaan memilih mata pelajaran lintas rumpun. Secara ideal, ini memungkinkan siswa merancang jalur belajarnya sesuai minat dan bakat. Namun di lapangan, kebebasan ini sering justru menimbulkan kebingungan. Banyak siswa memilih mata pelajaran bukan karena minat, melainkan karena ikut-ikutan teman atau anggapan umum bahwa pelajaran tertentu lebih “aman”.
Minimnya pendampingan dalam proses pemilihan inilah yang menjadi celah serius. Tak semua sekolah memiliki sistem bimbingan konseling yang kuat untuk mengarahkan siswa secara personal. Akibatnya, alih-alih terbantu mengeksplorasi potensi diri, siswa justru terjebak dalam pilihan yang salah kaprah. Guru pun kesulitan menyusun jadwal mengajar karena komposisi kelas yang sangat heterogen.