Mohon tunggu...
Imam Syafii
Imam Syafii Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah

Guru Biologi MAN 1 Musi Rawas. Lahir di Tebat Jaya, Kabupaten OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan. Tanggal 22 Pebruari 1978. Hiasi Hidup dengan Penuh Kesyukuran dan Kesabaran adalah motto dalam menjalani kehidupan. Terus belajar menuangkan ide dan pikiran dalam tulisan, dan seorang guru harus menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Biduk Tua Mencari Makna "Lagerunal" (Bagian 1)

26 Januari 2021   22:30 Diperbarui: 26 Januari 2021   23:03 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Biduk. Sumber : https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fcunicandrika.com%2F2014%2F08%2F10%2Fdesa-biduk-biduk-dan-labuan-cermin%2

Fiksi

Biduk Tua Mencari Makna "Lagerunal" 

(Bagian 1)

Oleh : Imam Syafii

Belum genap dua minggu berlalu sejak bergabung di grup para suluh literasi negeri "Cakrawala Blogger Guru", tepatnya 15 Januari 2021. Alam pikir ini sepertinya tiada henti mulai terus mengembara mengarungi luasnya samudera bahasa meski hanya dengan sebuah biduk tua tak berharga.

Dengan penuh keyakinan diiringi untaian kata doa menyebut nama Sang Maha Kuasa, biduk tua pun mulai menuju samudera luas yang penuh lautan kata. Kegembiraan tampak menyelimuti wajah biduk tua saat berada di samudera. Sahdan, terbelalak mata biduk tua saat menatap tajam ke depan tampak fatamorgana samudera yang tak bertepian. Terselip sedikit keraguan hati, "Bilakah biduk tua sampai ketepi?" bisik hatinya

Meski sedikit ragu namun dengan berbekal dorongan kemantapan kalbu, biduk tua pun terus melaju. Melaju tanpa henti melajajahi ragam warna indahnya samudra untuk menemukan makna sebuah kata ukiran pujangga yang menurut dirinya masih sangat asing di telinga. 

Kata itu "Lagerunal"

Sumber : https://www.blogger.com/profile/13977202668922802651
Sumber : https://www.blogger.com/profile/13977202668922802651

Ya, masih terlalu asing bagi seorang biduk tua yang kini ternyata telah berada di samudera. Samudera yang diyakininya menyimpan berjuta harta berharga. Tinta-tinta emas para pujangga yang menyilaukan mata bagi para pecintanya.

Namun, semangat biduk tua tak pernah goyah oleh terjangan gelombang yang  tiba-tiba datang menghantam. Bertubi-tubi menerjang tubuh biduk tua. Seperti tidak ingin bersahabat lagi. Namun, biduk tua tetap bertahan. Hantaman ombak datang silih berganti. Tetapi semangat biduk tua tetap menggelora diiringi terangnya pijar surya dan cahaya rembulan yang ramah menyapa mengusap wajah biduk tua. Tanpa sadar dirinya telah sampai di tengah samudera. 

Ia pun berhenti sejenak, melepaskan rasa lelah dan menikmati belaian sang bayu yang tak henti seolah mengerti apa yang biduk tua cari. Sang bayu pun tak malu sesekali bercanda tertawa sembari berkata mesra membawa kesejukan dan kedamaian hati biduk tua. 

Tak berselang lama bayu pun berkata lirih. "Disinilah ku jaga harta Pujangga," katanya merdu terdengar di telinga biduk tua. "Benarkah di sini?" tanya biduk tua. "Benarkah?" tanyanya kembali seolah tak percaya. Sang bayu pun kembali tertawa bersama senyuman rembulan dan kedipan bintang yang menyaksikan. Kemudian ia berkata lantang, "Aku Penjaga Harta Lagerunal," teriaknya.

Sontak membuat tubuh biduk tua bergetar hebat tak kuasa menahan kegembiraan tersungkur dalam sujud seakan hati, jiwa dan alam fikirnya terbang mengangkasa berbicara  dengan Sang Maha Pencipta. "Terima kasih wahai Tuhanku, Engkau izinkan aku untuk menemukan makna kata tinta pujangga," ungkap biduk tua penuh syukur dengan suara batinnya ia berbicara kepada Tuhannya.

Sesaat biduk tua bangkit dari sujud, memandang sang bayu yang masih tersenyum menatapnya tanpa berkata-kata. Perlahan sang bayu memperlihat kan lembaran-lembaran harta karya-karya pujangga yang dijaganya dan ia lantas berkata, "Inilah harta untuk warisan generasi kita. “Bersediakah engkau menerimanya?" tanyanya kepada biduk tua.

Air wajah biduk tua pun tampak sumringah penuh ceria saat sang bayu mengatakan itu kepadanya. Tidak lagi memperdulikan bahwa selimut malam semakin pekat dan kedip bintang yang mulai pudar meski masih menyaksikan. Biduk tua pun menjawab dengan penuh kegembiraan. "Aku bersedia,” ucapnya dengan lantang

Bersambung.. (Bagian 2)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun