Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggugat Dosen

17 Maret 2016   18:40 Diperbarui: 7 Maret 2019   18:01 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maka sesungguhnya, jika para dosen yang bercokol di perguruan tinggi ini benar-benar serius dalam mendidik para calon guru, tentu pemerintah tidak perlu menghambur-hamburkan anggaran untuk program pendidikan dan pelatihan guru-guru di sekolah. Seandainya diperlukan pun, sebatas pelatihan untuk pengembangan keterampilan kekinian dan inovasi-inovasi dalam dunia pendidikan, bukan pada kompetensi dasar profesi guru. Oleh karena itu, empat kompetensi dasar yang harus dimiliki guru, yaitu kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian dan sosial, telah tamat dan tuntas di perguruan tinggi.

Mutu Perkuliahan

Tetapi kenyataannya berbicara lain. Sebagian besar lulusan lembaga keguruan dan ilmu pendidikan belum siap untuk mengajar, begitu mereka lulus dari perguruan tinggi. Mereka masih tampak gamang, canggung dan grogi saat berhadapan dengan murid. Apalagi berharap mereka bisa menerapkan metode mengajar yang atraktif dan inovatif, berbicara di depan kelas saja, masih terbata-bata dan tidak sistematis. Tak sedikit, yang bercucuran keringat dingin dan hanya menjadi bahan tertawaan murid-murid.

 Lantas ada yang menyanggah, “mereka kan butuh penyesuaian diri di lingkungan baru, jadi maklum kalau belum siap”. Pendapat itu bisa ada benarnya, tetapi bukan pada persoalan kompetensi dasar mengajar atau mengelola anak dan pembelajaran, melainkan pada ranah bagaimana memahami kharakteristik anak didik dan permasalahan di sekolah.

Maka, alangkah piciknya jika menyoal mutu pendidikan selalu dialamatkan pada guru. Termasuk terjadinya krisis moral dan karakter pada pelajar kita. Padahal jelas sekali disebutkan pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, bahwa kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Artinya, guru dan dosen memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam memajukan pendidikan.

Maka, jika pada guru disoal mengenai mutu pembelajaran di kelas atau di sekolah, dosen pun juga harus disorot tentang mutu perkuliahan yang diperankannya. Selama ini, kita menuntut guru untuk mengemas pembelajaran secara aktif, inovatif, efektif dan menyenangkan. Selain memfasilitas pembelajaran secara optimal, guru juga berperan menjadi inspirator, motivator, sekaligus konselor pendidikan, tidak hanya bagi anak didik tetapi juga walimurid.

Lalu pertanyaannya, bisakah guru menjalankan semua tugas dengan baik, jika pada waktu kuliah saja mereka tidak mengalami model perkuliahan yang menarik dan menantang? Apalagi bisa menjumpai figur dosen yang atraktif dan inovatif dalam mengelola perkuliahan? Mungkin para dosen bisa beralasan, bahwa yang dihadapi adalah mahasiswa, bukan anak-anak. Jadi yang diterapkan adalah model pembelajaran andragogi, yaitu metode pembelajaran untuk orang dewasa.  

Padahal yang seharusnya, pembelajaran andragogi hanyalah sebatas pendekatan, artinya dosen menempatkan pada posisi fasilitator, mahasiswalah yang aktif terlibat dalam proses pencarian ilmu pengetahuan. Tetapi bukan berarti menghilangkan model dan metode pembelajaran yang efektif untuk diterapkan di kelas-kelas kuliah.

Tentu sah-sah saja, ketika dosen telah menyiapkan rencana perkuliahan dan perangkat pembelajaran yang mendukung, seperti penggunaan media. Selama ini, perkuliahan cenderung menjejali mahasiswa dengan pengetahuan-pengetahuan yang sifatnya kognitif, tetapi nihil akan pembentukan sikap dan asah keterampilan. Tidak heran, jika perkuliahan isinya cuma ceramah, pemberiaan tugas, presentasi dan diskusi. Kegiatan tatap muka selanjutnya, dosen hanya pasif menunggu dan sedikit berkomentar.

 Masih lumayan, jika dosen masih mau membawa laptop atau buku referensi, karena sering juga dijumpai, mereka masuk ruangan kuliah dengan tangan hampa. Bahkan masuk kelas, masih bertanya pada mahasiswanya, “hari ini yang kita bahas apa ya? terus kelompok siapa yang akan maju presentasi?”

Belum lagi masalah perkuliahan yang kosong. Dan ini bukan cerita baru lagi di dunia kampus. Entah dosennya yang malas mengajar, ataukah lebih memprioritaskan proyek di luar yang lebih menjanjikan baik dari segi materiil, peningkatan karir maupun pencitraan diri. Sehingga pada akhirnya, mengajar kuliah menjadi pekerjaan sampingan dosen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun