Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggugat Dosen

17 Maret 2016   18:40 Diperbarui: 7 Maret 2019   18:01 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya cukup miris, ketika membaca judul berita beberapa koran lokal dan nasional beberapa waktu lalu, termasuk Harian Kompas Edisi Senin, 29 Februari 2016, memunculkan di halaman pertama. Redaktur memberi label tema Tenaga Pengajar dan menuliskan judul berita Mayoritas Dosen Belum Tersertifikasi. Jujur, sebagai pembaca setia harian ini, saya jarang membaca detail isi berita di halaman pertama, apalagi informasi yang sifatnya hard news. 

Biasanya, saya cukup membaca judulnya saja, dan sudah bisa menebak apa isinya. Karena kita tahu, informasi di media cetak tentu kalah cepat dengan media online. Artinya, ketika itu berita tentang peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di tanah air atau dunia, dalam hitungan detik dan menit, saya bisa mengetahuinya melalui media online, termasuk di media sosial.

Namun, ketika melihat judul berita di atas, sungguh saya sangat tergelitik untuk memelototi dari kata per kata dan kalimat per kalimat. Dan cukup mencengangkan, tertera di paragraf awal, bahwa tercatat, sekitar 54 persen dari total jumlah dosen 280.000 belum tersertifikasi. Asumsinya, kompetensi sebagian besar dosen di Indonesia belum terjamin.

 Saya hanya bisa geleng-geleng, dan masih meragukan kebenaran data ini. Tetapi, ketika menelusuri tulisan baris demi baris, ternyata sumber data ini dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Artinya, saya harus mempercayai keakuratan data tersebut. Bahkan, salah satu orang penting di kementerian ini memaknai bahwa dosen yang belum tersertifikasi terkesan tidak serius untuk menjadi dosen dan belum layak atau profesional menjalani profesi ini.

Sebagai seorang mahasiswa pascasarjana, pikiran saya menjadi nakal dengan mencoba mengait-ngaitkan data ini dengan dosen-dosen di kampus saya. “Jangan-jangan, dosen saya juga belum tersertifikasi!” Itulah refleks yang terbersit di benak saya. Tetapi saya buru-buru menghapusnya, karena kampus saya adalah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang saat ini tengah bergeliat untuk menjadi kampus kelas dunia (World Class University). Walaupun, data ini menjabarkan bahwa dosen yang belum tersertifikasi tidak hanya dari kampus swasta, melainkan juga PTN. Meskipun jumlah terbesar, ada di Perguruan Tinggi Swasta (PTS), yang mencapai angka 70-90 persen.

Lantas, saya juga membayangkan seandainya pemerintah juga menyelenggarakan uji kompetensi untuk para dosen. Bisa jadi, hasilnya semakin parah ketimbang guru. Sayangnya, pemerintah baru menjalankan program Uji Kompetensi Guru (UKG) yang digelar secara rutin setiap tahun. Dan kita tahu, hasilnya pun jauh dari yang kita harapkan. Itu pun baru dua kompetensi yang diujikan, yakni kompetensi profesional dan pedagogik.

Mutu Pendidikan

Melihat fenomena ini, kerisauan saya bukan karena sekarang saya sedang dibimbing oleh dosen-dosen yang entah sudah bersertifikat pendidik atau belum, sungguh bukan itu. Tetapi, saya justru melihatnya lebih jauh dan kompleks, yakni masalah mutu pendidikan bangsa ini. Selama ini, yang diributkan selalu mutu dan kompetensi guru ketika menyoal tentang rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Selalu ujung-ujungnya guru yang harus bertanggungjawab atas problem pendidikan bangsa ini.

 Bahkan, sampai-sampai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggagas simposium nasional guru dan rembuk nasional pendidikan yang baru saja berakhir, yang sesungguhnya menyiratkan kegelisahan, bahwa gurulah yang mengemban tugas terbesar dan menjadi ujung tombak bagi standar mutu pendidikan. Meskipun, pelibatan publik dan pilar lain untuk kemajuan pendidikan juga tengah digalakkan,

Lalu pertanyaan yang kemudian muncul di benak saya, “guru itu siapa, asalnya dari mana, dan siapa yang menghasilkan mereka menjadi guru?” Bukankah profesi guru yang disandangnya, karena mereka telah lulus, minimal secara kualifikasi akademik. Artinya, mereka adalah jebolan dari perguruan tinggi, baik berlevel sarjana, magister maupun doktor. 

Dan selama di kampus, tentu saja mereka telah mendapatkan tempaan dan gemblengan berupa ilmu dan pengalaman untuk menjadi sosok guru yang mumpuni. Siapa yang mengajari mereka? Tak lain dan tak bukan adalah dosen. Jadi, kalau ingin melihat potret guru kita saat ini seperti apa, bagaimana kualitasnya, tentu sangat logis dan fair jika kita kembalikan kepada para dosen yang telah mendidik para guru kita.

Maka sesungguhnya, jika para dosen yang bercokol di perguruan tinggi ini benar-benar serius dalam mendidik para calon guru, tentu pemerintah tidak perlu menghambur-hamburkan anggaran untuk program pendidikan dan pelatihan guru-guru di sekolah. Seandainya diperlukan pun, sebatas pelatihan untuk pengembangan keterampilan kekinian dan inovasi-inovasi dalam dunia pendidikan, bukan pada kompetensi dasar profesi guru. Oleh karena itu, empat kompetensi dasar yang harus dimiliki guru, yaitu kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian dan sosial, telah tamat dan tuntas di perguruan tinggi.

Mutu Perkuliahan

Tetapi kenyataannya berbicara lain. Sebagian besar lulusan lembaga keguruan dan ilmu pendidikan belum siap untuk mengajar, begitu mereka lulus dari perguruan tinggi. Mereka masih tampak gamang, canggung dan grogi saat berhadapan dengan murid. Apalagi berharap mereka bisa menerapkan metode mengajar yang atraktif dan inovatif, berbicara di depan kelas saja, masih terbata-bata dan tidak sistematis. Tak sedikit, yang bercucuran keringat dingin dan hanya menjadi bahan tertawaan murid-murid.

 Lantas ada yang menyanggah, “mereka kan butuh penyesuaian diri di lingkungan baru, jadi maklum kalau belum siap”. Pendapat itu bisa ada benarnya, tetapi bukan pada persoalan kompetensi dasar mengajar atau mengelola anak dan pembelajaran, melainkan pada ranah bagaimana memahami kharakteristik anak didik dan permasalahan di sekolah.

Maka, alangkah piciknya jika menyoal mutu pendidikan selalu dialamatkan pada guru. Termasuk terjadinya krisis moral dan karakter pada pelajar kita. Padahal jelas sekali disebutkan pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, bahwa kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Artinya, guru dan dosen memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam memajukan pendidikan.

Maka, jika pada guru disoal mengenai mutu pembelajaran di kelas atau di sekolah, dosen pun juga harus disorot tentang mutu perkuliahan yang diperankannya. Selama ini, kita menuntut guru untuk mengemas pembelajaran secara aktif, inovatif, efektif dan menyenangkan. Selain memfasilitas pembelajaran secara optimal, guru juga berperan menjadi inspirator, motivator, sekaligus konselor pendidikan, tidak hanya bagi anak didik tetapi juga walimurid.

Lalu pertanyaannya, bisakah guru menjalankan semua tugas dengan baik, jika pada waktu kuliah saja mereka tidak mengalami model perkuliahan yang menarik dan menantang? Apalagi bisa menjumpai figur dosen yang atraktif dan inovatif dalam mengelola perkuliahan? Mungkin para dosen bisa beralasan, bahwa yang dihadapi adalah mahasiswa, bukan anak-anak. Jadi yang diterapkan adalah model pembelajaran andragogi, yaitu metode pembelajaran untuk orang dewasa.  

Padahal yang seharusnya, pembelajaran andragogi hanyalah sebatas pendekatan, artinya dosen menempatkan pada posisi fasilitator, mahasiswalah yang aktif terlibat dalam proses pencarian ilmu pengetahuan. Tetapi bukan berarti menghilangkan model dan metode pembelajaran yang efektif untuk diterapkan di kelas-kelas kuliah.

Tentu sah-sah saja, ketika dosen telah menyiapkan rencana perkuliahan dan perangkat pembelajaran yang mendukung, seperti penggunaan media. Selama ini, perkuliahan cenderung menjejali mahasiswa dengan pengetahuan-pengetahuan yang sifatnya kognitif, tetapi nihil akan pembentukan sikap dan asah keterampilan. Tidak heran, jika perkuliahan isinya cuma ceramah, pemberiaan tugas, presentasi dan diskusi. Kegiatan tatap muka selanjutnya, dosen hanya pasif menunggu dan sedikit berkomentar.

 Masih lumayan, jika dosen masih mau membawa laptop atau buku referensi, karena sering juga dijumpai, mereka masuk ruangan kuliah dengan tangan hampa. Bahkan masuk kelas, masih bertanya pada mahasiswanya, “hari ini yang kita bahas apa ya? terus kelompok siapa yang akan maju presentasi?”

Belum lagi masalah perkuliahan yang kosong. Dan ini bukan cerita baru lagi di dunia kampus. Entah dosennya yang malas mengajar, ataukah lebih memprioritaskan proyek di luar yang lebih menjanjikan baik dari segi materiil, peningkatan karir maupun pencitraan diri. Sehingga pada akhirnya, mengajar kuliah menjadi pekerjaan sampingan dosen.

Maka, jika kondisinya seperti ini, tentu kita tidak bisa berharap banyak untuk memiliki guru-guru yang hebat dari kampus. Oleh karena itu, sadarilah bahwa dosen juga guru yang memiliki posisi dan peran yang sama dalam mencetak generasi penerus. Bukankah gelar akademik tertinggi di kampus adalah guru besar, bukan dosen besar? Wahai para dosen, jadilah guru yang hebat untuk para mahasiswa sebagai calon guru!

 

Tulisan Imam Subkhan di Harian Umum Solopos (17/3), Mahasiswa Pasca Teknologi Pendidikan UNS

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun