Mohon tunggu...
Imam Muhayat
Imam Muhayat Mohon Tunggu... Dosen - Karakter - Kompetensi - literasi

menyelam jauh ke dasar kedalaman jejak anak pulau

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Transformasi Nilai-nilai Islam di Era Digital

11 Agustus 2014   04:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:52 3097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendahuluan

Era global sarat aksen digital sebagai instrument penting dalam segenap aspek kehidupan. Berfungsi sebagai sarana yang dapat meringankan berbagai beban aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Digital di era global yang didukung komunikasi tanpa batas, akan menghadirkan dua formasi wajah. Satu sisi dapat bermanfaat bagi manusia dalam berbagai tatanan berbagai aspek kehidupan. Sisi laindapat menyalahi kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya, apabila pemanfaatan media digital itu tidak mengindahkan norma-norma agama dan nilai-nilai individual, universal, kolektif, juga kearifan local, dan tradisional yang dikelola dengan manajemen yang baik.[1]

Fenomena social seperti saat ini merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh siapapun. Daya tangkal terhadap dampak era digital agar dapat membumi dan sekaligus sebagai wahana yang dapat memberikan kemanfaatan secara optimal sekaligus tidak mengarah pada pelunturan makna nilai-nilai sosial dan norma agama, maka kata kuncinya adalah pemberdayaan pendidikan, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, dan lebih luas lagi pada bangsa Indonesia. Intensitas strategi lembaga pendidikanlah yang dapat memberikan warna yang diinginkan oleh berbagai kepentingan.[2]

Formulasi kearifan dan kebijakan, baik dalam skala informal, non-formal dan formal terkait dengan akses digital informatif memang sudah seharusnya menjadi skala prioritas terdepan pada program pengembangan kemasyarakatan dan kebangsaan. Implementasi, dan control yang terprogram, terstruktur, dan berkelanjutan agar dapat mendorong tercapainya tujuan aktualisasi norma, dan nilai-nilai yang dapat membangun dan mengarah pada karakter mulia suatu bangsa, yang kemudian menjadi jatidiri bangsa dalam internalisasi hidup dalam tumbuhkembangnya bangsa. Kemudian berlanjut menjadi penggerak motivasi integrative pada pencapaian tujuan kekokohan bangsa. Terbentuklah bangsa dan Negara yang berdiri tegak penuh wibawa, rakyat yang dapat merasakan keadilan, kemakmuran, keamanan, dan kedamaian berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD 1945, dansenantiasa meninggikan entitasIlahiyah, insaniyah, dan alamiyah melalui berbagai system, agar suatu tujuan dimungkinkan dapat diraihnya dengan baik.[3]

Era global dengan orbitnya instrument digital sebagai alat yang dapat memberikan apa saja, juga dapat mempermudah dan mempercepat keinginan dalam banyak aspek kehidupan, baik yang positif maupun negative. Fakta menunjukkan bahwa instrument digital berperan langsung dalam setiap aspek kehidupan. Hadir dalam berbagai penawaran untuk kemudahan dan kepentingan penguatan norma-norma, nilai-nilai, sehingga tujuan dari suatu pembelajaran yang bersifat normative dan transformasi nilai-nilai lainnya berlabuh pada tujuan yang direncanakan. Misalnya semakin kuatnya pemahaman norma-norma, nilai-nilai keagamaan, dan kemasyarakatan yang dapat menuntun individu pada hidayah, jalan yang lurus, baik dalam aspek-aspek teologis, humaniora, dan kesemestaan dengan memanfaatkan instrument digital yang semakin mudah didapatkan.

Sebaliknya, instrument digital dapat juga disalahgunakan dalam bentuk apa pun yang demi suatu kepentingan tertentu dapat merendahkan dan mengabaikan berbagai sebaran norma-norma, dan nilai-nilai, dan berbagai macam ukuran kepatutan dalam komunitas dan masyarakat, bangsa sehingga akan melahirkan dekonstruksi kehidupan dan berbagai sikap, tindakan kontraproduktif, misalnya, tawuran masal, korupsi yang merajalela, premanisme, pelecehan seksual, penyalahgunaan narkoba, dan bentuk-bentuk perbuatan jahat dan nista yang akan menyalahi kodrat kehidupan yang rahmah. Fenomena semacam itu maka perlu ada langkah-langkah riil sehingga berbagai harapan hidup yang lebih baik akan dapat dicapai oleh suatu bangsa.[4]

Generasi kita dalam perspektif psikologi merupakan masa pertumbuhan yang selalu dekat dengan labilitas, pencarian jatidiri, proses kematangan, dan juga sebagai masa produktif dalam pengembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik yang disertai perubahan pancaroba perlu dihadirkan formula-formula karakter yang mengandung norma, dan nilai yang tepat agar dapat mengarahkan perkembangannya menjadi positif. Terhindar dari dampak bias negative media digital. Dalam hal ini perlu penguatan muatan ini insaniyah seperti: membangun 30 penguatan karakter peserta didik, yang siap menang dan kalah, lapang dada, berpandangan luas, bersemangat, tanggung jawab, kreatif, jujur, disiplin, rasa ingin tahu, inovatif, imajinatif, mampu kerjasama,komunikatif, sabar, tekun, percaya diri, toleransi, demokratis, adaptif/replikatif, peduli, empatik, kritis, antusias, rendah hati, rasa memiliki, konstruksi konsep, berfikir positif, trampil, analitis, sistematis dalam seluruh aspek kehidupan.

Disadari bahwa gerbang pintu masa depan suatu peradaban besar pada suatu bangsa adalah sejauh mana proses transformasi norma, dan nilai yang dilakukan oleh para pendahulunya agar menjadi generasi yang cerdas intelektual, social, dan spiritual. Apalagi dalam konteks yuridis formal semua warga negara berhak mendapat pengajaran, sebagaimana telah diamanatkan UUD 1945, pasal 31, ayat 1. Karena barisan warga Negara yang dapat memerankan diri menerima transformasi pendidikan tentu merupakan investasi yang berharga bagi tegaknya agama, negara dan bangsa Indonesia.

1.Konsep Pengembangan Norma-norma dan Nilai-nilai Islam

Secara historis potensi-potensi generasi penerus yang mempunyai 30 karakteristik sebagaimana disebut sebelumnya, selalu mampu membawa panji-panji harkat dan martabat, serta prospek bangsa yang lebih maju. Misalnya momen Sumpah Pemuda, berdirinya Budi Utomo, berbagai gerakan kepartaian di era pergerakan, perjuangan fisik di era penjajahan, perjuangan heroik saat meraih kemerdekaan, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Potensi generasi penerus bangsa ini menjadi motivasi Bung Karno saat orde revolusi berlangsung dengan lengking panggilan, “Berikan aku sepuluh pemuda, maka dunia akan tergoncang.” (Bung Karno, 1945).

Sejalan dengan fakta sejarah tersebut, Islam sangat menaruh perhatian terhadap eksistensi generasi penerus dengan berbagai penguatan latar belakang pendidikan berbasis intelektual, social, dan kompetensi dalam setiap jengkal dalam kehidupan yang selalu terus ditingkatkan dan dievaluasi.[5] Nabi Muhammad SAW berwasiat sebagai berikut ini:

“Aku wasiat-amanatkan kepadamu terhadap pemuda-pemudasupaya bersikap baik terhadap mereka. Sesungguhnya hati dan jiwa mereka sangat halus. Maka sesungguhnya Tuhan mengutus aku membawa berita gembira, dan membawa peringatan. Angkatan mudalah yang menyambutdan menyokong aku, sedangkan angkatan tua menentang dan memusuhi aku.” (Nata, 2010: 192-193)

Langkah-langkah dan kebijakan structural berbagai lini fungsional, stakesholders sangat penting kehadiran dan kepedulian mereka. Yakni dengan terus mengembangkan berbagai langkah, dan tindakan dalam bentuk formulasi dan implementasi, serta dalam bentuk konsistensi pengawasan yang berkelanjutan dengan target pemberdayaan eksistensi generasi penerus dalam berbagai macam ekspresinya untuk pengayaan pengembangan kognitif, afektif, dan psikomotorikyang lebih prospektif, agar tercapai formulasi generasi penerus yang ramah dan siap menghadapi era global berbasis digital.

Derasnya perhatian yang senantiasa dialirkan oleh generasi pendahulunya generasi penerus harus termotivasi agar sinergisme motivatif antara keduanya berjalan secara beriringan. Selanjutnya, alih tonggak estafeta nantinya tidak meninggalkan jejak-jejak kesenjangan tujuan integrative yang menjadi cita-cita bersama. Fakta sejarah dalam setiap alih kekuasaan di Indonesia dalam perjalanan suatu orde, selalu tidak pernah sepi dari pergolakan yang berujung pada anarkhisme, sadisme, dehumanistik, dereligious, dan desosialistik yang terangkum dalam sikap-sikap destruktif yang berakhir dalam bentuk berbagai penodaan. Lebih celakanya lagi menginjak-injak hakekat nilai-nilai ilahiyah, insaniyah, alamiah yang menjadi tata-ukur normative religi dan cultural kolektif integral.

Ikhtiar yang berkelanjutan kaitannya untuk memotong matarantai fenomena madhmumah tidak lain adalah mempersiapkan dan mengakses generasi penerus yang mempunyai wawasan keagamaan yang kaffah, sehingga seluruh aktivitas kehidupan tidak hanya dipahami sebagai bagian aktivitas norma dan nilai yang sempit, akan tetapi seluruh kegiatan itu merupakan cerminan dari norma-norma teologis dan nilai-nilai cultural utama yang dapat berjalan secara beriringan sehingga dapat menempati ranah muslim yang kaffah.[6] Keberadaan norma-norma, nilai-nilai itu kini sedang dalam tantangan era global dengan visualitas digital, sehingga pengayaan dan intensitas penguatan norma-norma dan nilai-nilai memang harus selalu menjadi skala prioritas utama dalam proses pembelajaran dan pencapaian hasil dalam pembentukan karakter di setiap lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam di Indonesia umumnya dan khususnya di Bali sebagai situs kajian ini.

Islam adalah wahyu dari Allah swt. diberikan kepada Rasulnya untuk disampaikan kepada umat manusia sepanjang masa dan setiap bangsa. Islam juga satu sistim akidah dan tata kaidah yang mengatur segala perikehidupan dan penghidupan manusia dalam perbagai hubungan, baik hubungan antara manusia dan Tuhannya, sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan seluruh makhluk ciptaan yang ada di alam semesta. Bertujuan untuk mencari keridhaan Allah, rahmat bagi segenap alam, kebahagiaan di dunia dan akhirat.[7]

Formulasi pembentukan generasi penerus bangsa initentu membutuhkan kompetensi yang dapat berperan langsung memaknai norma-norma, nilai-nilai secara empatif agar dapat mencapai tujuan akhir hidup yang sesungguhnya. Era global dalam digital adalah sebagian dari sarana yang cukup efektif untuk ekspresi mengambil perannya memaknai dan menterjemahkan empati fitrah manusia sebagai insan dalam bentuk mengabdi kepada Allah. Misalnya, empati dalam setiap gerakan yang bersentuhan langsung dengan kehidupan yang selalu siap menuntun dan mengarahkan pada kearifan ilahiyah dan kearifan alamiyah.

Kesadaran-kesadaran baru yang mengandung berbagai macam norma, dan nilai, konstruksi jaring media digital sudah menjadi suatu kebutuhan untuk dapat dimanfaatkan secara aplikatif, reaktif dan dinamis serta terus berkelanjutan penuh inovasi-inovasi baru. Media digital dengan produk berupa poster, kartun, berita, opini, dongen, cerpen, video, film, bahkan bioteknologi, dan pola-pola kreatif agar selalu dapat memberikan peluang memberikan jalan masuk pada pembentukan karakter-karakter cara berfikir, bersikap, dan berkehendak--bertindak dalam bingkai ideal kesalehan social, natural, dan spiritual. Kini spisifikasi aplikasi media digital semakin dahsyat. Tentu, selalu berubah hitungan pekan, maka formulasi yang perlu dibangun pun harus kian cerdas, agar berbagai kesenjangan terkait tidak tambah melebar, dan SDM senantiasa mampu mengendalikan media digital sebagai sarana bukan sebaliknya sebagai belenggu dominasi hidup miskin arti.[8]

Dalam kajian pengembangan nilai-nilai keislaman di era digital akan mempertanyakan bagaimana model pengembangannya yang tepat dan dapat memasuki ranah empatif pada setiap umat? Bagaimana nilai-nilai Islam dapat menjadi acuan dalam kehidupan setiap generasi bangsa ini? Bagaimana implikasinya era digital dalam kehidupan masyarakat Islam di Indonesia?Ketiga rumusan ini penting agar dapatmemberikan gambaran yang jelas, intensif, tepat, dan dapat mengungkap era digital hubungannya dengan umat, generasi penerus bangsa dalam mengakses dalam keperluan seluruh kehidupan. Kini diakui atau tidak era digital telah menjadi virus yang mendominasi sederetan aspek kehidupan. Tidak ada waktu sejengkal pun yang terlepas dari akses media era digital. Bahkan telah mengalahkan berbagai dekapan apapun dalam berbagai kesempatan.

Begitu pentingnya instrument digital ini yang berhasil mengangkangi setiap jengkal kehidupan manusia, tentu sebagai insan yang dianugerahi Allah kecerdasanintellectual quotient, social quotient, dan spiritual quotient,[9] akan terus berupaya menjelajahi peran integralnya secara optimal sehingga tidak akan menyelewengkan, menyesatkan tujuan hidup yang mulia di tengah-tengah kehidupan dan di hadapan Sang Khaliq.

Sinergisme umat, generasi penerus bangsa dan media digital adalah upaya-upaya untuk mendesain generasi penerus agar dapat memanfaatkan media digital untuk mewujudkan impian-impian dan konsep tujuan hidup. Dengan dapat memanfaatkan media, instrument digital lebih baik dalam berbagai kepentingan, maka kemajuan dapat diraihnya untuk menyongsong masa depan penuh harapan dan kesejahteraan. Juga, dimaksudkan media digital dapat menghadirkan signifikansi formasi pada tujuan hakiki pada setiap langkah tujuan yang jelas kehidupan.[10]

Adapun arah sinergi ini adalah suatu upaya-upaya yang terprogram, terstruktur, dan berkelanjutan, serta dapat dikontrol aktualisasinya, baik secara informal, non-formal, maupun formal. Diharapkan merupakan suatu gerakan langkah bersama-sama, sehingga dapat tercipta kesinambungan langkah dalam mencapai suatu tujuan pencapaian pemahaman, sikap, tindakan, pembelajaran, dan keterampilan dalam setiap langkah kehidupan untuk suatu tujuan, yakni terwujudnya tataharmoni hidup tatakelola hidup. Menyimak segenap penataan barusan, maka, tugas pendidikan nasional, stakesholders, pemimpin keagamaan tidak ringan sehingga memerlukan langkah bersama seluruh lapisan masyarakat, dan bangsa Indonesia yang tidak pernah surut agar dapat mengakses secara implementatif kepada umat.[11]

“Pasal 47 SISDIKNAS menegaskan tentang kemitraan masyarakat dalam ikut serta menyelenggarakan pendidikan nasional. Malahan ciri khas satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan. Ketentuan undang-undang ini mempunyai implikasi yang luas bagi masyarakat untuk ikut serta dalam membangun SISDIKNAS.”(Tilaar, 2006: 82).

Menyimak kemitraan dan satuan pendidikan, misalnya, media digital dimaksud adalah berbagai perangkat lunak-keras, dan berbagai komponen lain berupa apa pun yang dapat memberikan suatu akses pada makna isi pembelajaran dan pengarahan dalam pencapaian suatu tujuan. Yaitu terwujudnya transformasi berupa sikap, tindakan, skill, dan kemampuan-kemampuan lain dari hasil berbagai proses pembelajaran.

Sains dan teknologi, media (baca: digital) selalu memiliki berbagai konotasi, mulai dari perangkat keras hanya untuk cara pemecahan masalah, sampai definisi oleh ekonom John Kenneth Galbraith: “Aplikasi sistematis pengetahuan terorganisasi ilmiah atau lainnya untuk tugas-tugas praktis” (Galbraith, 1967, hal 12). Definisi teknologi pembelajaran oleh asosiasi profesional terkemuka di bidang itu : “teori dan praktek desain, pengembangan, pemanfaatan, manajemen dan evaluasi proses dan sumber daya untuk belajar” (Seels & Richey, 1994, hal 9). Produk seperti komputer, CD player, dan pesawat ulang alik adalah jenis teknologi, yang disebut sebagai teknologi pembelajaran bila digunakan untuk tujuan pembelajaran. Teknologi mengacu pada proses meningkatkan pembelajaran, disebut sistem pembelajaran. Suatu sistem pembelajaran terdiri dari satu set komponen saling terkait yang bekerja sama, efisien dan terpercaya, dalam kerangka khusus kegiatan belajar yang diperlukan mencapai tujuan pembelajaran. (Vianneymtb.wordpress.com.. Diakses tanggal 14 April, 2014).

Media (digital) adalah sarana komunikasi dan sumber informasi. Ada enam tipe media yang digunakan pada pembelajaran dan instruksi : teks (karakter alfanumerik ditampilkan dalam buku-format, poster, papan tulis, layar komputer), audio ( mencakup dapat didengar seseorang seperti suara, musik, suara mekanik), visual (diagram di poster, gambar pada papan tulis, foto, gambar dalam sebuah buku, kartun), media gerak (media yang menampilkan gerak, termasuk rekaman video, animasi), manipulasi tiga dimensi (dapat disentuh dan ditangani oleh mahasiswa), orang-orang (guru, siswa, atau subjek-materi ahli).[12]

Kini, teknologi dan media banyak mengambil peran dalam seluruh aspek kehidupan modern. Dengan teknologi, media semua kemajuan akan lebih cepat dapat diraih. Produktivitas meningkat, efisiensi tercapai, semua tujuan tergambar jelas. Kelebihan dan kekurangan terukur sedemikian rupa. Tindak lanjut yang ingin dilaksanakan akan dapat memperbaiki kekurangan yang ada. Dalam konteks dunia modern dan dunia global di era digital suatu langkah akan selalu ditentukan hasilnya oleh suatu instrument seperti apa teknologi, media yang menyertainya. Semakin baik kualitas produk teknologi dan media yang dapat menyertai suatu aktivitas, maka semakin baik pula hasil yang dapat diharapkan. Sebaliknya, semakin rendah kualitas teknologi yang menyertai suatu aktivitas, semakin rendah pula produk yang akan dihasilkan.

Dua kemungkinan dari produk teknologi maka tidak berlebihan apabila media digital menjadi perhatian berbagai kepentingan. Efektif dan efisiensi yang dihasilkan dari produk teknologi, media digital, instrument digital akan dapat memperluas berbagai jangkauan dalam pencapaian suatu tujuan. Terkait dengan formulasi pendidikan dan aplikasinya juga akan mempunyai kaitan erat dengan pembahasan pengembangan nilai-nilai keislaman di era digital. Karena pada dasarnya semua agama akan sependapat bahwa produk teknologi, media digital sangat membantu dan dapat mendukung berbagai kepentingan agama. Dengan catatan hasil dari teknologi (baca media digital) itu tidak bertentangan dengan norma agama (baca: nilai-nilai pendidikan Islam).[13]

Tidak sedikit, tentunya, para agamawan menolak terhadap ekspansi teknologi, dan media digital yang pada hakekatnya alasan penolakan itu bukan disebabkan siapa yang menghasilkan produk, tetapi lebih daripada apa yang dapat dihasilkan dari olah teknologi, dan media digital sebagaimana ditemukan pada setiap ruang. Teknologi cloning, misalnya, para agamawan tidak menolak teknologi kloningnya, tetapi sesungguhnya mereka menolak pada tataran implikasi teknologi cloning pada apa, siapa, dan untuk apa tujuannya yang tentu banyak bertentangan dengan sebaran norma dan nilai pada hakekat ideal suatu penciptaan Sang Adikodrati. Selama teknologi cloning itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dan banyak manfaat yang dapat dirasakan, tentu para agamawan tidak akan menolak hal tersebut. Misalnya penerapan cloning diaplikasikan pada tetanaman yang dapat mengunduh produk yang lebih baik dan bermanfaat yang berlipat ganda untuk membangun kesejahteraan manusia. Sebagaimana pernyataan Fazlurrahman berikut ini:

Bahwa kaum muslimin tanpa takut bisa dan karena memperoleh tidak hanya teknologi barat. Bagaimana pun juga sains dan pemikiran murni dulu telah dengan giat dibudayakan oleh kaum muslimin pada awal abad pertengahan.” (Fazlurahman, 1985: 55).

Dengan demikian jelas bahwa Islam tidak ada keraguan lagi dan tegas menyatakan bahwa teknologi dan media digital itu menjadi bagian yang perlu menjadi perhatian bersama. Apalagi dapat membawa manfaat dalam berbagai sisi pengamalan, aktualisasi agama lebih baik lagi. Disadari bahwa berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupan keagamaan selama ini didahului oleh berbagai kesalahpahaman dan tidak jarang terjadi karena adanya kesenjangan yang terjadi dalam berbagai hal terkait teknologi, media digital, sehingga komunikasi yang terbangun tidak dapat mencapai sasaran yang dituju. Sinergi hanya akan dapat terbangun dengan komunikasi yang intens, karena itu apabila terjadi miskomunikasi untuk mencapai suatu tujuan tentu akan terjadi keterputusan komunikasi yang berakibat tidak berhasilnya tujuan yang ingin dicapai. Teknologi, media digital kerap kali menjadi hambatan dalam sebuah transformasi nilai. Karena transformasi teknologi untuk membangun suatu peradaban yang lebih baik menjadi fenomena menarik, sebagaimana argumentasi berikut:

“Tetapi adalah sangat penting untuk diingat juga dalam bidang apa dunia Islam dengan cepat menutup kesenjangannya dengan dunia barat. Bidang tersebut bisa jadi adalah bidang ilmu-ilmu eksakta ataupun keterampilan-keterampilan teknologi. Bahkan di sini pun kesenjangannya, tentu saja masih tetap besar, tetapi pada dasarnya ini hanyalah soal waktu dan sumberdaya financial, dan bila kedua faktor ini sudah bisa dipenuhi, kesenjangan tersebut pasti akan bisa ditutup.” (Ibid: 85).

Persoalan kesenjangan jelas menggambarkan selisih kompetensi, waktu dan financial serta sejumlah konsep yang ideal. Keempat indicator tersebut berpengaruh langsung pada suatu potensi-potensi strategis pada SDM berlanjut dampaknya pada potensi-potensi komplemen SDA yang secara tidak menjadi dayapacu umat (baca: kebutuhan manusia) secara mikro, dan bagi bangsa pada skala makro. Pada gilirannya produktivitas terhambat dan selalu gagal dapat dicapainya.[14]

Namun, sekiranya dayapacu tersebut mampu direalisasikan, maka upaya-upaya antisipasi dampak terkait dengan derasnya gelombang globalisasi dengan bumbu-bumbu teknologi dan media digital yang dahsyat, tentu selalu dapat diatasinya dengan baik. Strategi antisipatif integral memang harus diakui masih belum sepenuhnya menjadi bagian aktualisasi empatif bagi umumnya mereka yang berada di dunia ketiga. Mungkin hal tersebut disebabkan mereka masih berkutat pada tataran konseptual yang masih jauh dari konsep aplikatif pada ceck, do and product. Praktis kemudian terabaikan aktualisasi pemikiran quality value suatu produk sehingga mempengaruhi buruknya suatu produk. Pakar perubahan dunia religi dengan kegelisahannya sebagai berikut ini:

“Bahwa pembangunan dapat dikatakan mengikuti model pembangunan Barat masa kini, di mana kemajuan pada dasarnya diartikan sebagai ekspansi ekonomi dan teknologi dan di mana nilai-nilai intelektual dan moral atau nilai-nilai manusiawi telah merosot tajam. Bahwa Timur, termasuk dunia Islam, masalahnya makin dipersulit oleh kenyataan bahwa teknologi baru dan fenomena-fenomena yangmenyertainya diimpor dan tidak dipadukan secara organis dengan budaya-budaya tradisional negeri-negeri berkembang tersebut, dan kenyataan bahwa banyak pemikir-pemikir di masa pra kemerdekaan di negeri-negeri tersebut telah mempopulerkan slogan bahwa Timur adalah spiritualis dan Barat adalah materialis dan barat mengimpor sebagian dari spiritualnya, maka dunia akan beres.” (Ibid: 105).

Karenanya, formulasi media digital bukan sekadar konsep, tetapi yang lebih penting lagi bagaimana formulasi itu telah menjadi suatu perencanaan implementatif yang dalam prosesnya selalu dapat dikontrol agar terformat lebih optimal.[15] Karena bagaimana pun teknologi dan media, instrument digital dapat dijadikan instrument proses pembelajaran dalam transformasi norma-norma dalam agama juga yang lebih dapat memberikan dorongan terhadap suatu proses pencapaian suatu tujuan produktif.

“Jika agama hanya dilihat dari segi normatifnya saja, maka akan muncul kesulitan-kesulitan dalam memetakan perubahan pola-pola hidup masyarakat beragama dari satu kurun waktu ke kurun berikutnya. Karena ketika agama itu sudah menjadi anutan bagi manusia, maka tidak boleh tidak agama akan selalumemengaruhi segala bentuk dan pola hubungan sosialnya dan memengaruhi bentuk pandangan manusia terhadap dunianya.” (Steenbrink dalam Affandi Mochtar, 2011: 108-109).

1.Bentuk pengembangan Keislaman di Era Digital

Konsep teologi Islam dalam melaksanakan agamanya secara kaffah. Para mufassirin (mutaqaddimin – mutaakhirin) dalam menyimpulkan ber-Islam secara kaffah (sesuai teks dan konteks ayat: al-Baqarah:208), bahwa kecenderungan mereka menafsirkan pada dua sisi: (1).  Perintah Islam bagi segenap umat manusia, (salam kedamaian bagi segenap umat manusia). (2).  Perintah terhadap umat Islam agar menerapkan syari’at secara penuh dengan segala kemampuannya. Maka amaliyah dan konsistensi untuk kepedulian mewujudkan taslim (keselamatan, kesejahteraan) suatu keniscayaan.[16]

Diriwayatkan dari Thariq bin Syaib dia berkata : Aku mendengar Rasulullah saw bersabda : “Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia memberantasnya dengan tangan (kekuasaan) nya, lalu jika ia tidak mampu maka melarangnya dengan lisannya, lalu jika tidak mampu maka menolaknya dengan hatinya dan demikian itu paling lemahnya iman. (HR: Bukhari).

Konsep teologi Islam hubungannya dengan segala aspek kehidupan sebagaimana dilukiskan hadits tersebut di atas dapat memberikan gambaran, bahwa upaya-upaya untuk selalu dapat membuka jalan kebaikanselalu menjadi prioritas utama yang harus selalu dilakukan oleh orang-orang mukmin. Sehingga Asy’arie lebih menekankan upaya tersebut melalui prinsip yang lebih mendasar lagi berkaitan suatu kesadaran yang lebih dalam lagi berhubungan dengan keimanan:

Prinsip tauhid dalam Islam adalah berkaitan konsep teologis dan antropologis yang memandang manusia sebagai kesatuan, baik dalam pengertian structural yang membentuk kepribadiannya maupun fungsional yang menjelma dalam peranannya dalam kehidupan di dunia ini sebagai subjek kebudayaan.” (Musa Asy’arie: 1992, 6).

Sebagai satu kesatuan yang berwujud antara fisik dan rohani yang terus berhadapan dalam kehidupan, tentu saja selalu terkait dengan berbagai sentuhan-sentuhan di mana zaman itu berada pada realitas structural dan fungsional humanistik. Agar dapat berperan secara kaffah yang dimaksud di atas, maka penyatuan menjadi prasyarat utama sebagai kelengkapan kehidupan Islam yang kaffah, shaleh spiritual dan shaleh social dan shaleh ibadah ghairu makhdhah yang lebih banyak lagi.

“Jalan bagi umat Islam untuk melepaskan diri dari kemunduran dan selanjutnya mencapai kemajuan, ialah memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern Barat. Dan agar yang tersebut terakhir ini dapat dicapai sikap mental umat yang kurang percaya kepada kekuatan akal, kurang percaya pada kebebasan manusiadan kurang percaya pada adanya hukum alam, harus dirobah terlebih dahulu.” (Asy’arie, 1992: 6).

Kompetensi umat dan generasi islam dapat memberikan stimuli pemihakan pada berbagai komponen kehidupan yang mengandung keagungan suatu pembelajaran, yaitu norma-norma teologik dan nilai-nilai humanistik. Hanya dengan kompetensi tersebut, kiranya umat dan generasi muslim dapat menguasai dan menjembatani realitas zaman, satu sisi tetap kokohnya norma-norma tauhid, keyakinan, dan tetap terjaganya berbagai sebaran nilai di pihak lain. Juga tidak ketinggalan lajunya berbagai kemanfaatan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan perkembangan dan kemajuan digital yang dapat menembus cakrawala yang lebih jauh lagi.

Implikasi era digital adalah perubahan yang cepat.[17] Perubahan sebagai suatu keniscayaan, akan tetapi eksistensi aqidah, keyakinan tetap sebagai way of thinking, way of investigating, a body of knowledge, dan method of high order thinking. Agama sebagai suatu ajaran norma-norma yang cenderung abadi sedangkan nilai-nilai dapat saja berubah. Setiap perubahan bermuatan risiko, maka pendalaman keduanya akan membawa isyarat terbangunnya kematangan yang menghasilkan komunikasi kearifan didasarkan pada hikmah (bijak), takhsin (kebaikan), dan mujadalah (informatif) (Q.S, 16: 125) , dan yang pasti adalah dalam dunia pada era digital sebagaimana yang telah kita rasakan sekarang ini adalah pada setiap kehidupan selalu mengacu konsep-konsep yang jelas, intensif, tepat, dan utuh (QS, 31: 30).

“Karena sesungguhnya, diantaratanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” QS, 30: 22).

Perspektif historis, Islam pada saat memasuki abad XVIII telah mengarahkan peradaban pembelajaran ilmu, pengetahuan, teknologi dan media digital untuk tujuan kemanusiaan dan hubungan antar kemanusiaan yang harmonis. Intensitas dinamika infrastruktur, sarana prasarana dibangun untuk keperluan itu. Naïf dengan penguasaan ilmu, teknologi, dan media digital di era modern ini, kemudian Islamdengan alih teknologi dan media disalahartikan untuk tujuan anomali dan disintegrasi, yang tentu tidak sejalan dengan konsep Islam yang rahmatan lilalamin. Hal ini dapat disimak pada tesis Lapidus dalam A History of Islamic Societies sebagai berikut:

Muhammad Ali’s descendant Ismail 1863-1879 carried the development of the country still further. He continued the program of economic and technical growth, extended the railroads and telegraph, and constructed the Suez Canal and a new harbor fo Alexandria. He also gave Egypt European-Type law-courts, scular schools and colleges, libraries, theaters, an opera house, and a western –type press, Egypt, like the Ottoman empire, acquired the infra structure of cultural modernity.” (Lapidus, 1989: 616).

Searah pemikiran itu, banyak ulama salaf, seperti Ibn Mas’ud (w. 32/652), Al-Auza’i (w. 157 / 774), Abu Umamah Al-Bahili (w.86 H), mengucapkan salam[18] kepada orang-orang non-Muslim, kemudian memaparkan alasannya sembari menjawab pertanyaan, beliau mengatakan, “Kita diperintahkan untuk menyebarkan salam (perdamaian) oleh Nabi saw. (Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, 2000: 75). Konsep demikian sudah barang tentu umat Islam dapat membina saling pengertian yang baik dengan umat dari agama lain, seperti dapat dijelaskan dari penegasan ayat:

“Janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah karena nanti mereka akan memaki Allah secara melampaui batas tanpa pengetahuan (6:108) Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahlul-Kitab melainkan dengan cara yang paling baik (29:46).

Amanat mukadimah, dan UUD 1945, serta falsafah Negara Kesatuan RI, yang kemudian diurai lagi dengan berbagai ketetapan, keputusan serta amanah-amanah lain tersebut sebagai bentuk formulasi suatu system kebangsaan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusian yang sederajat. Dengan konsep kesederajatan ini akan membuka berbagai pintu untuk tumbuhkembangnya harmoni di era digital, selaras dengan berbagai ajaran suatu agama seperti termaktup di bawah ini:

“Era reformasi memberikan harapan besar bagi terjadinya perubahan menuju penyelenggaraan Negara yang lebih demokratis, transparan, dan memiliki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan adanya kebebasan berpendapat. Semuanya itu diharapkan makin mendekatkan bangsa pada pencapaian tujuan nasional sebagaimana terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu gerakan reformasi diharapkan mampu mendorong perubahan mental bangsa Indonesia, baik pemimpin maupun rakyat sehingga mampu menjadi bangsa yang menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan, sertapersaudaraan.” (Sekretariat Jendral MPR RI, 2012: 5).[19]

2.Fakta Riil di Masyarakat

Bukan suatu kebetulan di Bali dengan konsep pembangunan perumahan dengan setting penempatan warganya sebelah menyebelah beda keyakinan atau agama. Rumah tetangga tertata apik depan rumahnya dengan Sanggah. Di sebelah rumah tetangga ada ruangan kecil untuk mushola keluarga untuk melaksanakan sholat. Rumah tetangga sebelahkemaren harinya mengadakan upacara, besok harinya tetangga mengadakan acara doa bersama dalam rangka aqiqah atau kegiatan keagamaan lainnya. Bahkan saat semua tetangga mengadakan perayaan Brata Penyepian, tetangga Muslim melaksanakan shalat Jum’at, yang tentu mekanisme pelaksanaannya berdasarkan regulasi tertentu agar tidak saling menggangguantara yang satu dengan lainnya.

Pada saat tertentu juga dalam berbagai kesempatan umat Muslim mengumandangkan adzan, sebagai rangkaian dari bagian ibadah, sedang umat Hindu, Katolik, Kristen, Budha, Konghucu mengadakan kegiatan peribadatan di tempat masing-masing. Pemandangan yang sering dapat disaksikan lainnya, umat Hindu melewati jalan untuk mengadakan upacara Melis, Ogoh-Ogoh, Ngaben, dan Upacara lainnya, umat lain pun dengan lapangdada mengapresiasi acara tersebut dengan baik, dan penuh pengertian.

Dalam konsep pembangunan tempat ibadah yang diperuntukan untuk tempat ibadah secara masal, misalnya, banyak ditemukan di Bali yang tempatnya bersebelahan bahkan menjadi daya tarik tersendiri. Di Badung ditemukan dengan Puja Mandala di Nusa Dua, di Pecatu Graha Ungasan, di Tuban Kawasan Bandara, Perumahan Dalum Permai, Perumahan Canggu Permai, dan di daerah Cargo pada area Citra Land terdapat juga semacam Puja Mandala seperti halnya di Nusa Dua dan tempat lainnya.

Di berbagai sekolah-sekolah negeri dan sekolah swasta banyak ditemukan siswa-siswanya, tenaga kependidikan, tenaga guru, dan perangkat lainnya berbeda keyakinan, yang semua itu mendapat perhatian hak, kewajiban masing-masing dalam rangka mengamalkan agama dan keyakinannya. Di mana di tempat tersebut terdapat tempat ibadah untuk keperluan pengamalan dalam menjalankan ajaran masing-masing.

Di Bali banyak tempat wisata, hotel, dan tempat umum lainnya menyediakan tempat sholat khususnya untuk para karyawan, dan pada saat tertentu dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bersama dengan pelbagai pertimbangan manajemen dalam kegiatan pekerjaan perusahaan. Juga, sejak nenek moyang telah dimulai, misalnya, lapangan dan tempat lapang lainnya dapat digunakan untuk sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Lapangan Renon, Lapangan kawasan BTDC, Lapangan Lagoon yang ada di Kelurahan Benoa, dan tempat terbuka lainnya, semuanya menjadi saksi bukti tataharmoni.

Bahkan beberapa tahun terakhir ini Lapangan yang ada di Puspem Mangupura Badung, Bapak Bupati A.A. Gde Agung, yang menjabat bupati selama dua periode, dengan senang hati mempersilakantempat tersebut untuk mengadakan sholat Idul Fitri dan Idul Adha, dan kegiatan keagamaan lain yang bersentuhan langsung dengan kegiatan structural dan mendorong kegiatan fungsional di bawah Kementerian Agama Kabupaten Badung.

Di lain pihak gotong royong pembangunan fasilitas umum, misalnya, Banjar, Pura Masjid, Gereja, Vihara, Klentheng, dan lainnya, dapat ditemukan dikerjakan dan didesain oleh banyak orang yang berlainan agama dan keyakinannya. Bahkan masalah dukungan dana tidak jarang terjadi saling mengisi dengan cara dan strategi perimbangan saling memberikan dukungan yang dibangun diatas kesadaran, kerekatan kekeluargaan, kekerabatan klen, kerekatan kekerabatan, juga hubungan social kemasyarakatan dan keagamaan yang dilandasi sikapketulusan.

Kerekatan, dan kekerabatan lain berkaitan suka duka sudah jamak menjadi pemandangan yang dapat melegakan keluarga dan masyarakat yang menyaksikannya ikut terkesima dengan adanya empati prosesi upacaranya, atau peristiwanya. Sebagaimanadapat disaksikan suatu isyarat duka di rumah sakit yang berkunjungdalam suatu keluarga tersebut tidak hanya oleh kelompok orang satu keyakinan.

Hal-hal lain kaitannya dengan ibadah social, misalnya, kurban dan pembagian shodaqoh didistribusikanpada berbagai kalangan yang tidak memandang suatu agama, bahkan setiap siapa saja yang datang yang menunjukkan keinginannya membutuhan hal tersebut dengan suka rela disambut dengan kegembiraan. Berkaitan dengan tolong-menolong ini juga banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas tertentu, baik bersifat sektoral maupun lintas sektoral berbentuk arisan dan pengumpulan dana secara insidental, sering dilakukan untuk keperluan menyambung sikap, dan makna kekerabatan tersebut.

Dalam berbagai kesempatan terkait kegiatan usaha dengan antarumat beragama menjual makanan mengadakan kerjasama dengan orang muslim dengan tujuan memperhatikan sisi norma, fiqh, sehingga semuanya berjalan lancar. Juga saat upacara syukuran, pernikahan, misalnya, masalah makanan yang disajikan tersebut dengan sajian atas pertimbangan norma-norma agama.

Terkait dengan sinergisme orang muda dan Media untuk Mewujudkan Kerukunan ini dalam kegiatan yang diadakan di masyarakat telah berlangsung sejak lama. Kegiatan-kegiatan ini di lingkungan umat muslim di bawah naungan bidang ketakmiran yang langsung ditangani di bawah seksi remaja masjid. Yakni dengan kegiatan-kegiatan pembinaan rohani, social kemasyarakatan, bakti social, dan lain sebagainya. Adapun kegiatan tersebut yang bersentuhan langsung dalam mengakses kerukunan dalam bidang donor darah, sunatan masal, bantuan bencana, kunjungan lokasi bencana, kunjungan suka duka, outbound, mengikuti gerak jalan bersama, dan sosialisasi kerukunan di lingkungan remaja berdasarkan kajian keilmuan. Semuanya ramah memanfaatkan teknologi dan media sebagai sarana yang dapat lebih mendukung kesuksesan kegiatan.

Di lingkungan FKUB Badung, kegiatan-kegiatan yang melibatkan orang muda sering dilakukan dengan melalui sosialisasi di sekolah-sekolah, bekerjasama dengan kecamatan dan keluarahan, dan pihak keamanan. Event-event tersebut dilaksanakan pada saat aktivitas sekolah berlangsung maupun saat libur sekolah, sehingga keterlibatan orang muda lebih focus. Dalam berbagai kesempatan secara teknis pihak structural mengadakan berbagai kegiatan terkait dengan formulasi kerukunan ini pada level konsep maupun praktik yang diselenggarakan di Kampus Balai Diklat Denpasar, yang melibatkan para pemangku kepentingan fungsional se-Bali, NTB, dan NTT. Hal ini menunjukkan adanya dinamika integrative antara subyek dan obyek dalam membentuk dan memformulasikan terwujudnya harmoni di Indonesia, Bali umumnya dan Kabupaten Badung khususnya.

Dengan demikian formulasi tumbuhkembangnya harmoni di kalangan orang muda ini masih terprogram dan terstruktur dengan baik, tidak terbatas bagi kalangan yang sudah mengalami suatu proses asimilasi, akomodasi social yang luas. Secara sistematis pelaksanaan penyelenggaraan Negara dan juga dipraktikkan pada lembaga-lembaga social kemasyarakatan dan agama, baik yang sudah berbadan hukum maupun yang belum berbadan hukum, berupayayasan, perserikatan, paguyuban, pergerakan, pasraman, pesantren, padepokan, dan lain-lain. Mencermati visi, misi, dan tujuan organisasi tersebut masih terbukti concern, peduli, dan memperhatikan kepekaannya pada muatan norma-norma dan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu agama dan social untuk dapatmenjembatani kemungkinan kesenjangan.

Aplikasi pengembangan nilai-nilai universalisme dalam hidup berbangsa dan bernegara yang terbangun di Bali umumnya dan khususnya di Kabupaten Badung demi suatu cita-cita kemanusiaan yang berperadaban masih dinamis. Adapun landasan yuridis terkait dengan regulasi dan formulasi untuk mendukung terlaksananya hidup harmonis itu sebagaimana tercantum pada berbagai kebijakan sebagai berikut ini:

Bahwa Pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakanajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun, lancar, dan tertib,

bahwa arah kebijakan pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang agama antara lain peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman agama serta kehidupan beragama dan peningkatan kerukunan intern dan antarumat beragama,

bahwa daerah dalam rangka menyelenggarakan otonomi, mempunyai kewajiban melaksanakan urusan wajib bidang perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang serta kewajiban melindungi masyarakat, menjaga persatuan kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (PBM No. 9 Tahun 2006: 5).

Kerukunan Umat Beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemeliharaan Kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama. (Peraturan Bupati Tentang Forum KerukunanUmat Beragama pasal 5, dan 6. surat keputusan Bupati Badung, FKUB Badung, Badung 2008-2013, hal 27)

3.Analisa dan Pemecahan Masalah

Arah analisis adalah untuk merumuskan konsep atau teori yang disinergikan padavarian generalis (Glaser & Strauss: 1980). Dikupas untuk dapat menganalisa secara teoritis hakekat yang sebenarnya di balik suatu peristiwadengan mencermati teori-teori atau konsep yang terjadi atau berkembang. Teori dan konsep dimaksud tentang pendekatan teologi Islamdalam mencermati orang muda dan media pada tataharmoni.

Analisa ini bertujuan untuk menemukan makna atau hakekat, muatan di balik pernyataan-pernyataan yang ditemukan (William: 1986). Interpretasi data dari penyataan informan, adalah merupakan makna penting selengkapnya diformulasikan dalam bentuk tema. Sedangkan, tema adalah konsep teori yang disampaikan oleh data yang ditemukan dalam penelitian (Bogdan & Biklen: 1998). Konsep atau teori yang ditampilkan dapat mendukung, memperluas, atau menolak teori-teori yang sudah ada dan atau yang berkembang tentang pendekatan teologi Islam dalam pencermatan orang muda dan media pada tataharmoni.

Proses analisis dan pemecahan masalah dalam pembahasan ini disesuaikan dengan rumusan masalah. Temuan menunjukkan bahwa implementasi pendekatan teologi Islam dalam pencermatan orang muda dan media pada tataharmoni dibangun berdasarkan pada criteria-kriteria berikut: dilakukan pada lembaga-lembaga agama masing-masing dengan berbagai kegiatan dan bentuk proses pembelajaran dengan menghadirkan berbagai jenjang dengan berbagai pengayaan media yang dapat mendorong kerukunan. Pada bagian lain menunjukkan bahwa structural berperan dengan berbagai kebijakan bersinergi dan terus mendorong dinamika pergerakan pada tataran fungsional menjadi kesatuan arah untuk tercapainya tatakelola, dan tatawujud harmoni.

Pendekatan teologi Islam selain dapat menjadikan orang muda dan media pada tataharmoni lebih aplikatif dan aktif dalam mengkonstruksikan pengetahuan dalam keagamaan, juga sebagai perwujudan integritas sikap dan tindakan, yang dapat mendorong orang muda dapat menghayati, mengamalkan secara empatik. Tindak dan laku tidak hanya sebagai tujuan akan tetapi lebih dari itu adalah menjadi sebuah kebutuhan. Agama bukan lagi sebagai forma perintah dan larangan tetapi hakekat sebuah kebutuhan.

Penerapan pendekatan teologi Islam dalam orang muda dan media pada tataharmoni menuntut adanya perubahan setting dan bentuk transformasi tersendiri yang berbeda dengan transformasi norma, nilai umumnya.Pendekatan teologi Islamberusaha membelajarkan orang muda dan media pada tataharmoni untuk mengenal Sang Pencipta lewat ayat-ayat qouliyah dan kauniyah-Nya dalam rumusan sikap dan tindakannya, yaitu dengan mencari solusi tindak laku yang senyatanya dan seharusnya seperti apa. Sehingga pencarian selalu terdampar dalam penjiwaan, empatik. Aku berfikir maka aku ada. Aku ibadah maka Allah dekat. Kedekatan dengan Yang Kuasa, maka segalanya bisa.(QS, 2: 186).

Penerapan pendekatan teologi Islam dalam orang muda dan media pada tataharmoni masih mengalami banyak rintangan, dan hambatan, terutama kesulitan dalam menyelaraskanantara kata hati dan aksi bagi semua pihak dengan berbagai media yang ada. Pemecahan masalah ini dalam berbagai kebijakan peran structural, fungsional, dan berbagai kepentingan secara bertahap dan terus menerus berusaha merubah maindset melalui konsep purna-karakter.

“Dalam konteks pendidikan karakter, seyogyanya siswa diarahkan memiliki karakter yang abadi dan universal seperti kejujuran, kedisiplinan, menghargai pluralism, mempunyai empati dan simpati. Semua aspek ini akan menunjang kesuksesan siswa kelak di masa mendatang. Mana mungkin seorang akan berhasil di dalam kehidupan jika setiap berkomunikasi selalu menyakiti orang lain. Maka dari itu, untuk menggapai sukses, bermodal kepandaian intelaktual saja tidak cukup. Kepintaran hanya berkontribusi 20 persen dari keberhasilan seseorang, selebihnya, 80 persen amat ditentukan oleh sederet potensi-potensi yang berkait dengan karakter. (Suyanto, dalam A.A.I.N Marhaeni, 2013: 246).

Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1.Kebanyakan kelembagaan Islam, telah menerapkan pendekatan teologi Islam dan aktualisasinya Orang Muda dan Media pada Tataharmoni.

2.Terdapat kendala, hambatan yang dihadapi oleh Kelembagaan Islam dan segaris dengannya dalam penerapan pendekatan teologi Islam dalam Orang Muda dan Media pada Tataharmoni.

3.Solusi permasalahan pada pendekatan teologi Islam dalam Orang Muda dan Media pada Tataharmoni yaitu dengan mencermati tindak laku yang senyatanya dan seharusnya seperti apa. Peran structural, fungsional, yang berkepentingan secara bertahap, dan pasti berusaha merubah maindset melalui konsep purna-karakter.

[1]Michael A Hitt, R. Duane Ireland. Robert E. Hoskisson, Tulus Sihombing. Yati Sumiharti (ed),Manajemen Strategis Menyongsong Era Persaingan dan Globalisasi (Jakarta, Penerbit Erlangga, 1996), hlm. xix: Kita yakin bahwa proses manajemen strategis akan mempengaruhi kinerja secara positif. Meskipun demikian, di tahun 1990-an dan menelang Abad 21, globalisasi akan mempengaruhi sifat dari proses manajemen strategis dan hasilnya.

[2] Maisyaroh, Burhanuddin, ALI Imron, Perspektif Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah ( Malang, UIN Maliki Press, 2004), hlm. 11.

[3] J. Winardi, Manajemen Prilaku Oranisasi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 157: Manusia mulai sadar bahwa banyak problem masyarakat tidak mungkin dipecahkan dengan jalan menggunakan pendekatan disiplin tunggal. Cara baru untuk mengonseptualisasi duni kini umumnya dinyatakan orang yaitu dengan: systems thinking, systems approach, systems concept, systems view point, dan atau secara singkat sebagai sistem-sistem.

[4]R. Wayne Pace. Don F. Faules. Deddy Mulyana (ed), Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), Hlm. 354. Unsur paling dasar dari kedamaian, prestasi dan keberhasilan adalah suatu perasaan yang kita sebut harapan. Mempunyai harapan berarti mempercayai dan bertindak seakan-akan apa yang anda inginkan sebenarnya dapat dicapai. Harapan adalah melihat, mempersepsi, dan menginterpretasikan kondisi hidup sedemikian rupa sehingga anda percaya bahwaapa yang ingin anda miliki adalah mungkin untuk anda pegang, miliki atau capai. Sebaliknya ketiadaan harapan berarti mempercayai dan bertindak seakan-akan apa yang anda inginkantidaklah mungkin untuk diperoleh. Ketiadaan harapan mendasari semua kegagalan, kekecewaan, keputus-asaan, dan kehilangan. Dari ketiadaan harapan muncullah kekesalan, depresi, ketakutan, dan kelambanan. Ketika andamenginginkan sesuatu terjadi—untuk mencapai agenda pribadi—namun anda tidak berpikir bahwa itu akan terjadi, maka anda sedang meniadakan harapan anda.

[5]Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia Proses, Produk dan Masa Depannya (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002), hlm. 85-86: lihat evaluasi sebagai langkah-langkah sebagaimana disarankan: 1). Apakah hal-hal yang dirumuskan dalam formulasi telah berhasil dilaksanakan ataukah tidak. 2). Mengetahui apakah rumusan-rumusan kebijaksanaan yang tertulis telah berhasil dilaksanakan atau belum. 3). Mengetahui kelebihan dan kekurangan rumusan kebijaksanaan dalam kaitannya dengan faktor kondisional dan situasional di mana kebijaksanaan tersebut dilaksanakan. 4). Mengetahui seberapa jauh suatu rumusan kebijaksanaan telah dapat diimplementasikan. 5). Mengetahui keberhasilan dan kekurangan pelaksanaan kebijaksanaa. 6). Mengetahui seberapa dampak yang ditimbulkan oleh suatu kebijaksanaan terhadap khalayak yang bermaksud dituju oleh kebijaksanaan, dan khalayak yang tak bermaksud dituju oleh kebijaksanaan. 7). Mengetahui apakah risiko-risiko yan telah diperhitungkan pada saat formulasi telah dapat diatasi dengan baik ataukah tidak. 8). Mengetahui langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam hal perbaikan kebijaksanaa.

[6]Mudjia Rahardjo, Pemikiran Kebijakan Pendidikan Kontemporer (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hlm. ix: Dalam konteks penciptaan sumberdaya manusia yang unggul dan kompetitif semacam inilah, pran pemerintah menjadi pentin kebijsanaan pemerintah dalam upaya meningkatkan SDM yang unggul dan kompetitif menjadi hal yang niscaya. Tidak bisa secara serta merta hal ini diserahkan kepada masyarakat melalui mekanisme hukum pasar secara bebas (liberalism). Memang benar bahwa peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam proses penciptaan pendidikan yang berkualitas untuk menghasilkan SDM yang unggul dan kompetitif, tetapi kalau kemudian dilepaskan tanpa kendali adalah sesuatu yang tidak mungkin.

[7]Endang Saefuddin Anshari,Wawasan Islam Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam (Jakarta: Gema Insani), hlm. 39.

[8]Abdullah, Taufik. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (Jakarta: Bagian Penerbitan LP3ES, 1988), hlm. 89.

[9] …………., Undang-undang R.I No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS & Peraturan Pemerintah RI TAHUN 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan serta Wajib Belajar (Jakarta: Citra Umbara, 2003), hlm. 19. Bab X, Kurikulum, Pasal 36, ayat 3 menyatakan: kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a) peningkatan iman dan takwa, b) peningkatan akhlak mulia, c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik, d) keragaman potensi daerah dan lingkungan, e) tuntutan pembangunan daerah dan nasional, f) tuntutan dunia kerja, g) pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, h) agama, i) dinamika perkembangan global, dan j)persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

[10] Adnan, HS. Habib. Ansori (Ed), Agama Masyarakat dan Reformasi Kehidupan ( Denpasar: PT. BP Denpasar, 1999),hlm. 67.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun