Ketika nilai menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan, maka yang gagal bukan hanya si anak. Tapi juga kita semua orang dewasa yang membiarkan pendidikan berjalan tanpa empati dan keberpihakan.
"Sekolah seharusnya menjadi tempat paling aman untuk gagal," kata Sir Ken Robinson, pakar pendidikan dunia. Tapi bagi banyak anak Indonesia, sekolah justru tempat pertama mereka belajar takut, merasa tidak berharga, dan kehilangan percaya diri.
Anak yang berkebutuhan khusus, anak dari keluarga miskin, anak dengan trauma, semua cenderung menjadi "murid tiri". Mereka tidak dimarahi karena nakal, tapi karena tidak sesuai ekspektasi sistem.
Meski demikian, masih ada cahaya di ujung lorong. Gerakan pendidikan inklusi, komunitas homeschooling, dan guru-guru yang sadar akan pentingnya keberagaman dalam pembelajaran, mulai tumbuh. Di beberapa daerah, sekolah ramah anak mulai dibentuk.
Saya sendiri menyaksikan perubahan luar biasa pada anak-anak yang diberi ruang untuk belajar dengan cara mereka. Anak yang dulu hanya menulis satu kalimat dalam 15 menit, kini bisa menulis cerita 2 halaman setelah diberikan media belajar visual dan lingkungan tanpa ancaman nilai.
Karena pendidikan seharusnya tak mencederai, tak menampar, dan tak meninggalkan luka. Ia harus memeluk. Ia harus menumbuhkan.
"Anak yang paling keras ditampar hari ini, mungkin sedang berjuang melawan dunia yang tidak memahami cara berpikirnya." Imam Setiawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI