Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi pendidikan inklusif, penyintas disleksia-ADHD. Pendiri Homeschooling Rumah Pipit

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Murid Tiri : Rapor Merah, Mata Bapak Biru

15 Juli 2025   14:17 Diperbarui: 15 Juli 2025   14:17 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Murid Tiri: Rapor Merah, Mata Bapak Biru

Di sebuah desa kecil di pelosok Indonesia, seorang anak kelas 4 SD pulang membawa rapor berwarna merah menyala. Bukan karena sampulnya, tapi karena deretan angka di bawah standar pada hampir semua mata pelajaran. Belum sempat meletakkan tas, suara sabetan ikat pinggang terdengar di ruang tengah. Jeritan kecil pecah, disusul dengan isak yang ditahan. Di sore itu, bukan hanya rapor yang merah. Mata sang ayah pun biru.

Di negeri ini, masih banyak anak yang menjadi korban dari sistem pendidikan yang gagal memahami bahwa tak semua anak lahir untuk mengejar nilai.

Setiap tahun, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) merilis data hasil belajar siswa dari Asesmen Nasional. Hasilnya sering membuat kita prihatin. Menurut laporan Asesmen Nasional 2023, lebih dari 30% siswa SD mengalami kesulitan memahami teks bacaan sederhana dan konsep matematika dasar. Di wilayah tertinggal, angka ini bahkan bisa lebih tinggi.

Sayangnya, yang disalahkan bukan sistem yang kaku atau guru yang kurang dilatih. Tapi anak-anak itu. Anak-anak yang mungkin memiliki dyslexia, ADHD, hambatan emosional, atau bahkan trauma domestik. Mereka disebut "bodoh", "malas", "tidak bisa diatur". Di sekolah mereka tak dipahami, di rumah malah dihukum. Mereka menjadi murid tiri ada, tapi seperti tidak benar-benar hadir di ruang pendidikan.

Psikolog pendidikan Dr. Howard Gardner memperkenalkan teori Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk). Menurutnya, kecerdasan tidak hanya soal logika dan bahasa, tapi juga musikal, spasial, interpersonal, kinestetik, dan lainnya. Namun sistem pendidikan kita masih mengukur anak dengan dua parameter: bisa matematika dan bisa baca tulis.

Dr. Thomas Armstrong, penulis Neurodiversity in the Classroom, menekankan bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus bukanlah masalah yang harus "diperbaiki," tapi individu yang perlu ruang dan metode belajar berbeda.

Namun, berapa banyak guru yang mendapat pelatihan tentang ini? Berdasarkan data UNICEF Indonesia 2021, hanya 15% guru yang mengaku pernah mendapat pelatihan tentang anak berkebutuhan khusus, padahal jumlah ABK di sekolah umum semakin meningkat setiap tahun.

Fenomena ini bukan cerita baru. Anak-anak dengan rapor merah tak hanya harus menanggung malu di depan teman, tapi juga menghadapi kekerasan fisik dan psikis di rumah. Seorang guru di daerah Bekasi pernah berkata dalam sebuah pelatihan, "Pak, saya tahu murid saya itu nggak bodoh. Tapi sistem menuntut nilai. Kalau saya kasih nilai rendah, saya yang dimarahi kepala sekolah."

Akhirnya, banyak guru memalsukan nilai untuk 'menyelamatkan diri'. Tapi siapa yang menyelamatkan si anak?

Ketika nilai menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan, maka yang gagal bukan hanya si anak. Tapi juga kita semua orang dewasa yang membiarkan pendidikan berjalan tanpa empati dan keberpihakan.

"Sekolah seharusnya menjadi tempat paling aman untuk gagal," kata Sir Ken Robinson, pakar pendidikan dunia. Tapi bagi banyak anak Indonesia, sekolah justru tempat pertama mereka belajar takut, merasa tidak berharga, dan kehilangan percaya diri.

Anak yang berkebutuhan khusus, anak dari keluarga miskin, anak dengan trauma, semua cenderung menjadi "murid tiri". Mereka tidak dimarahi karena nakal, tapi karena tidak sesuai ekspektasi sistem.

Meski demikian, masih ada cahaya di ujung lorong. Gerakan pendidikan inklusi, komunitas homeschooling, dan guru-guru yang sadar akan pentingnya keberagaman dalam pembelajaran, mulai tumbuh. Di beberapa daerah, sekolah ramah anak mulai dibentuk.

Saya sendiri menyaksikan perubahan luar biasa pada anak-anak yang diberi ruang untuk belajar dengan cara mereka. Anak yang dulu hanya menulis satu kalimat dalam 15 menit, kini bisa menulis cerita 2 halaman setelah diberikan media belajar visual dan lingkungan tanpa ancaman nilai.

Karena pendidikan seharusnya tak mencederai, tak menampar, dan tak meninggalkan luka. Ia harus memeluk. Ia harus menumbuhkan.

"Anak yang paling keras ditampar hari ini, mungkin sedang berjuang melawan dunia yang tidak memahami cara berpikirnya." Imam Setiawan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun