Di tengah tekanan ekonomi yang kian berat, muncul gelombang baru di Tiongkok: para pria yang meninggalkan kantor untuk mengurus rumah dan anak.
Fenomena ini mengguncang pandangan tradisional tentang peran laki-laki, sekaligus membuka percakapan baru tentang makna kerja, keluarga, dan maskulinitas--isu yang kini mulai terasa gaungnya hingga ke Indonesia.
Setahun yang lalu, Kompas (9/10/2024) mengangkat artikel bertajuk "Ketika Pria di China Ramai-ramai 'Resign' Kerja dan Pilih Jadi Bapak Rumah Tangga."
"Berdasarkan data sebuah survei 2019, lebih dari separuh pria di China sepakat untuk menjadi bapak rumah tangga. Jumlah tersebut naik dari 17 persen dari tahun 2007", demikian kutipan dalam artikel tersebut.
Fenomena ini menarik untuk dibahas karena tidak hanya terjadi di Tiongkok saja. Dan, fenomena tersebut juga membawa implikasi yang cukup luas.
Dari Kantor ke Dapur: Lahirnya Gelombang Baru di Tiongkok
Di tengah gegap gempita pertumbuhan ekonomi dan teknologi Tiongkok, muncul fenomena sosial yang tak banyak disorot: semakin banyak pria muda memilih untuk berhenti bekerja dan menjadi stay-at-home dads--bapak rumah tangga.
Mereka meninggalkan pekerjaan korporat, mundur dari persaingan keras di dunia profesional, dan memilih merawat anak, mengurus rumah, serta mendukung karier istri mereka.
Fenomena ini kerap muncul di kota-kota besar seperti Shanghai, Shenzhen, dan Beijing--tempat tekanan hidup dan biaya perumahan begitu tinggi.
Media Tiongkok menyebut mereka sebagai bagian dari tren "lying flat" atau tang ping, simbol perlawanan terhadap budaya kerja ekstrem 996 (bekerja dari jam 9 pagi hingga 9 malam, enam hari seminggu).