Di Eropa, khususnya di Swedia dan Norwegia, pergeseran ini justru menjadi bagian dari agenda sosial yang dirancang negara. Melalui kebijakan paternity leave yang panjang dan dukungan sosial yang setara, laki-laki didorong untuk mengambil bagian aktif dalam pengasuhan tanpa kehilangan status sosialnya.Â
Dengan kata lain, ketika negara berhasil menormalkan peran domestik laki-laki, konsep maskulinitas pun ikut bergeser dari dominasi ke kolaborasi.
Kembali ke Tiongkok dan Indonesia, kita melihat dua konteks yang berbeda tapi saling berkait. Di satu sisi, tekanan ekonomi mendorong pria keluar dari pasar kerja; di sisi lain, norma sosial masih menolak untuk memberi ruang bagi bentuk maskulinitas baru.Â
Akibatnya, banyak pria yang memilih jalan domestik justru mengalami ambivalensi identitas--antara ingin berperan sebagai ayah yang hangat dan takut dicap "kurang laki-laki".
Maka, fenomena ini bukanlah tanda kemunduran peran pria, melainkan tanda bahwa ekonomi global sedang mengubah fondasi gender dari dalam.Â
Maskulinitas kini tengah dinegosiasikan ulang--bukan lagi tentang siapa yang paling kuat di pasar, tetapi siapa yang paling mampu menjaga keseimbangan di rumah.
Dari Beijing ke Bandung: Relevansi bagi Indonesia
Mungkin tampak jauh, tapi getaran sosial itu mulai terasa di Indonesia. Biaya hidup di kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya meningkat lebih cepat daripada kenaikan gaji.
Banyak pasangan muda kini bergulat dengan realitas ekonomi: penghasilan tunggal tak lagi cukup, dan peran gender tradisional semakin cair.
Tak sedikit perempuan kini memiliki karier yang lebih stabil atau penghasilan lebih tinggi. Di sisi lain, beberapa pria menghadapi ketidakpastian kerja akibat otomasi, layoff industri ritel, atau kontrak pendek di sektor digital.
Dalam situasi ini, menjadi bapak rumah tangga bukan lagi tanda "kegagalan", melainkan bentuk adaptasi terhadap perubahan struktur ekonomi rumah tangga.