Murid Tiri : Suara yang Tidak Didengar Guru Pendamping Khusus
Di sekolah-sekolah yang mengklaim diri sebagai "sekolah inklusi", ada satu ironi yang kerap terjadi secara diam-diam: guru pendamping, mereka yang setiap hari berdiri paling dekat dengan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK), justru seringkali tak mendapat tempat di ruang pengambilan keputusan. Mereka duduk di kelas, bekerja penuh hati, memahami ritme unik tiap anak yang mereka dampingi namun dalam rapat guru, pertemuan kurikulum, atau penyusunan evaluasi pembelajaran, suara mereka menguap entah ke mana.
Inilah fenomena murid tiri, tapi bukan pada murid. Melainkan pada gurunya. Guru pendamping seolah menjadi "guru tiri" dalam sistem pendidikan kita ada tapi tidak dianggap, hadir tapi tak dilibatkan. Padahal, keberadaan guru pendamping adalah elemen utama dalam implementasi pendidikan inklusif yang berkualitas. Dalam konsep pendidikan inklusif yang diusung oleh UNESCO (2009), sekolah harus mampu menyesuaikan diri terhadap kebutuhan semua siswa, bukan sebaliknya. Untuk itu, keterlibatan semua aktor pendidikan terutama mereka yang bekerja langsung dengan siswa berkebutuhan khusus menjadi mutlak.
Namun kenyataan berkata lain. Studi yang dilakukan oleh Sulistyorini (2021) di sejumlah sekolah negeri di Jawa Timur menunjukkan bahwa hanya 28% guru pendamping yang secara rutin dilibatkan dalam rapat kurikulum atau pertemuan evaluasi siswa. Bahkan, sebagian besar dari mereka tidak pernah mendapatkan akses terhadap hasil asesmen siswa, meskipun mereka yang paling intens berinteraksi dengan siswa tersebut di dalam kelas.
Lebih jauh lagi, dalam riset oleh Wardani dan Widiastuti (2020) disebutkan bahwa banyak sekolah masih belum memiliki pemahaman utuh tentang peran guru pendamping. Mereka dianggap "pengasuh" atau "penjaga anak ABK", bukan mitra profesional dalam proses belajar-mengajar. Ini menunjukkan rendahnya literasi pendidikan inklusi di kalangan pengambil kebijakan sekolah.
Guru pendamping bukan sekadar pelengkap. Mereka adalah mata, telinga, dan hati tambahan bagi anak-anak yang membutuhkan strategi belajar berbeda. Dalam Inclusive Education Theory yang dikembangkan oleh Florian dan Black-Hawkins (2007), disebutkan bahwa keberhasilan inklusi tidak bergantung pada kemampuan siswa untuk beradaptasi, melainkan pada kemampuan sekolah untuk bertransformasi mengikuti kebutuhan siswanya. Guru pendamping berada di garda depan transformasi ini. Mereka adalah jembatan antara anak-anak dengan kebutuhan unik dan sistem pembelajaran yang cenderung satu arah. Ketika mereka tidak dilibatkan dalam perencanaan, yang dirugikan bukan hanya mereka, tapi juga anak-anak yang mereka dampingi.
Dalam teori Collaborative Teaching dari Friend & Cook (2013), disebutkan bahwa kolaborasi yang sejajar antara guru kelas dan guru pendamping menghasilkan peningkatan signifikan dalam partisipasi siswa, penguasaan materi, serta kesejahteraan psikologis siswa ABK. Namun kolaborasi ini tidak akan terwujud jika GPK terus diposisikan sebagai pihak pinggiran yang hanya menerima instruksi, bukan menyusun strategi bersama.
Tak sedikit guru pendamping yang akhirnya memilih diam. Dalam wawancara penulis dengan beberapa GPK dari sekolah inklusi di wilayah Jawa Tengah dan Kalimantan, muncul pernyataan-pernyataan seragam:
"Saya ikut rapat, tapi hanya untuk mendengar. Saat ingin bicara tentang siswa saya, topiknya sudah berganti."
"Pernah saya usulkan modifikasi tugas, tapi malah dianggap menyulitkan guru kelas."
"Anak dampingan saya tidak lulus karena tidak ikut ujian akhir. Padahal saya sudah sampaikan sejak awal bahwa dia butuh pendekatan lain. Tapi tidak ada yang dengar."
Diam bukan karena mereka tidak peduli. Tapi karena mereka lelah berteriak di ruang yang tidak membuka telinga. Ini menciptakan burnout dan professional dissonance, yaitu ketegangan antara apa yang diyakini guru sebagai praktik baik, dan kenyataan yang tak memberi ruang untuk melakukannya. Penelitian dari Travers (2017) menegaskan bahwa guru pendamping yang tidak diberdayakan berisiko tinggi mengalami stres kerja, kelelahan emosional, dan penurunan semangat kerja.