Memahami Hyperlexia dan Harapan di Kelas
Bayangkan seorang anak yang baru berusia tiga tahun, tapi sudah bisa membaca kata-kata seperti "transportasi", "kebudayaan", bahkan "demokrasi". Hebat, bukan?
Tapi tunggu dulu.
Ketika kita bertanya, "Apa itu demokrasi?", ia hanya terdiam. Matanya kosong, mulutnya membisu. Ia membaca kata itu dengan lancar tapi tidak benar-benar mengerti.
Inilah wajah dari hyperlexia.
Hyperlexia adalah kondisi neurologis langka di mana seorang anak mampu membaca dengan sangat cepat dan akurat di usia dini, namun memiliki kesulitan besar dalam memahami makna bacaan, berkomunikasi sosial, dan bahasa reseptif.
Menurut Silberberg & Silberberg (1967) yang pertama kali memperkenalkan istilah ini hyperlexia tidak hanya sekadar "anak jenius membaca". Ini adalah disparitas ekstrem antara kemampuan membaca dan pemahaman bahasa.
Beberapa ahli mengklasifikasikannya dalam tiga tipe:
- Hyperlexia I: anak tipikal dengan kemampuan baca luar biasa.
- Hyperlexia II: anak dengan kemampuan baca luar biasa dan menunjukkan ciri-ciri autistik.
- Hyperlexia III: kemampuan baca tinggi, awalnya tampak autistik namun membaik seiring waktu dengan intervensi.
Sayangnya, karena belum masuk ke dalam DSM-5 sebagai diagnosis mandiri, banyak pendidik dan profesional melewatkannya atau keliru menyamakannya dengan "giftedness" atau autisme murni.
Anak dengan hyperlexia bisa jadi sangat terobsesi pada huruf, angka, dan simbol. Mereka bisa membaca rambu lalu lintas, nama ilmiah tumbuhan, atau teks berita, tapi tidak mengerti konsep "berbagi", "berteman", atau "bercanda".