Mencari Jawaban di Balik Angka : Seorang Disleksia-ADHD dengan Diskalkulia
Bolehkah saya berbagi rahasia dengan Anda? Dekatkan telinga, karena ini sesuatu yang tak mudah saya akui: sepanjang hidup saya, angka adalah musuh terbesar saya. Bukan hanya rumus-rumus rumit di sekolah menengah yang membuat pusing, tapi jauh sebelum itu angka selalu menjadi teka-teki yang tak terpecahkan.
Saya selalu menjadi "anak bermasalah" di mata guru. Tidak, bukan karena saya nakal atau suka mengganggu teman sekelas, meski saya kerap disebut begitu karena hiperaktif. Masalahnya terletak pada angka-angka di halaman buku pelajaran yang terlihat seperti bahasa asing. Tidak ada petunjuk, tidak ada jalan untuk memahami, apalagi menguasainya.
Diskalkulia adalah gangguan spesifik dalam kemampuan memahami dan mengolah angka atau konsep matematika. Menurut Butterworth et al. (2011), diskalkulia terjadi pada sekitar 3-6% populasi dan sering kali kurang terdiagnosis. Gangguan ini melibatkan kesulitan memahami hubungan antara angka, melakukan perhitungan sederhana, atau mengenali pola-pola numerik. Diskalkulia, seperti disleksia, bukanlah cerminan kecerdasan rendah, melainkan cara otak yang berbeda dalam memproses informasi numerik.
Bagi saya, teori ini seolah memberi penjelasan atas segala kebingungan yang saya alami. Misalnya, Stanislas Dehaene dalam bukunya The Number Sense menjelaskan bahwa otak manusia memiliki wilayah spesifik untuk memproses angka, yaitu di korteks parietal. Jika area ini terganggu, seseorang mungkin mengalami kesulitan besar dalam memahami angka, meskipun keterampilan lainnya tetap utuh. Hal ini memberikan validasi bahwa perjuangan saya bukan karena malas atau tidak berusaha, melainkan karena otak saya bekerja dengan cara yang unik.
Upaya untuk memahami angka ini bukan main-main. Saya mendapatkan pelajaran tambahan, waktu ekstra saat ujian, hingga ditarik keluar dari kelas untuk bimbingan khusus. Namun, meski semua usaha dilakukan, angka tetap terasa seperti puzzle tanpa petunjuk. Setiap kali saya melihat deretan angka itu, rasa frustrasi menyerang, dan saya merasa kecil.
Ketika akhirnya saya didiagnosis dengan disleksia dan ADHD, dunia saya mulai masuk akal. Tapi perjalanan saya belum selesai. Di kemudian hari, diagnosis lain muncul: diskalkulia. Diagnosis ini adalah jawaban atas pertanyaan yang sudah lama saya simpan. Mengapa menghitung kembalian di toko membuat saya cemas? Mengapa saya tidak bisa membaca jam analog hingga usia dewasa? Mengapa angka dalam laporan sekolah selalu menjadi momok yang tak terhindarkan?
Label-label ini, baik itu disleksia, ADHD, atau diskalkulia, bukan untuk mengurangi siapa saya. Sebaliknya, itu adalah jendela untuk memahami bagaimana otak saya bekerja bagaimana saya melihat dunia melalui pola yang berbeda. Saya tidak hanya menantang angka, tetapi juga stigma dan harapan orang-orang di sekitar saya.
Carol Dweck, seorang psikolog terkenal, memperkenalkan konsep growth mindset, yaitu keyakinan bahwa kemampuan dapat dikembangkan melalui usaha dan pembelajaran. Pemahaman ini menguatkan saya untuk tidak menyerah pada keterbatasan, melainkan terus mencari cara-cara kreatif untuk mengatasi tantangan. Meski sulit, saya belajar menggunakan alat bantu seperti kalkulator, aplikasi pengelolaan waktu, dan strategi visual untuk menggantikan kelemahan saya dalam angka.
Bagi banyak orang, angka adalah alat ukur keberhasilan. Tapi bagi saya, perjuangan dengan angka adalah pelajaran tentang ketekunan, kesabaran, dan menerima diri sendiri apa adanya. Saya belajar bahwa memiliki cara berpikir yang berbeda bukanlah kelemahan. Itu adalah kekuatan tersembunyi yang memberi warna unik pada perjalanan hidup saya.