Mohon tunggu...
Ilyas Syatori
Ilyas Syatori Mohon Tunggu... Lainnya - Pemuda Desa

Kadang menulis, kadang berkebun, lebih banyak tidur.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Sedikit Catatan dan Refeleksi dari Gorontalo

12 Desember 2021   22:14 Diperbarui: 12 Desember 2021   22:25 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Binte Biluhuta atau yang sering disebut jagung siram, makanan khas Gorontalo berbahan dasar jagung dan ikan laut.

Usai acara menyempatkan diri mlipir ke beberapa situs sejarah berupa benteng, makam pahlawan, dan auliya' penyebar Islam di Gorontalo.

Setidaknya saya berkesempatan mengunjungi benteng Otanaha, makam Sultan Amai raja Islam pertama Kerajaan Gorontalo, raja Ilato sosok penyebar Islam Gorontalo yang beberapa waktu lalu diziarahi ustadz Abdul Somad, dan makan Nani Wartabone sang proklamator kemerdekaan Gorontalo 3 tahun sebelum diplokamirkan Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta.

Sebagai seorang santri tradisional yang terbiasa keluar masuk kuburan/makam spontan saja saya meng-iya-kan ajakan dari mas Greg, founder KB, yang juga gandrung menelisik sejarah disetiap kota yang ia kunjungi. Klop!

Selain kaya akan hasil alam berupa jagung, cengkeh, kelapa, sagu, ikan dlsb. Ternyata menyimpan akar historis yang panjang tentang islam dan nasionalisme yang mengakar sehingga menjadi kebudayaan harmonis disaat orang kota (urban) di Jawa sibuk gontok-gontokan mendefinisikan akar islam dan budaya mereka.

Berkunjung untuk berziarah di makam Auliya' penyebar islam Raja Ilato. Berlokasi di atas bukit di tepian danau Limboto. 
Berkunjung untuk berziarah di makam Auliya' penyebar islam Raja Ilato. Berlokasi di atas bukit di tepian danau Limboto. 

Di sini saya tak menemukan agitasi tokoh untuk membenturkan negara, agama, dan budaya dalam forum resmi seperti yang saya hadiri, khutbah Jum'at, juga acara adat. Justru saya menemukan sintesa unik khas Nusantara akan ketiganya. Seperti jamak kita ketahui di desa-desa kita di Jawa puluhan tahun lalu. Atau mungkin lain mengingat kunjungan hanya selama 5 hari saja.

Zizek dalam karyanya on belief menyatakan bahwa Lawan dari kapitalisme-pasar bukan melulu sosialisme, melainkan universalisme. Menurutnya, Kapitalisme selalu mengarah pada ekslusifitas suatu kebudayaan agar bukan menjadi arus utama.

Bisa jadi budaya Gorontalo yang tak memberi ruang segregasi akan ketiga hal yang saya sebut di atas sebab belum terhegemoni seluruhnya oleh kapitalisme-pasar oleh karenanya laku kebudayaan mereka universal dan harmoni.

Sedangkan kebisingan kaum urban hari ini menyoal agama dan budaya mereka disebabkan oleh hegemoni kapitalisme yang mengarahkan mereka pada budaya yang ekslusif. Ini pararel dengan fenomena muslim kota hari ini yang semakin ekslusif ke arah formalisme dan puritanisme.

Berbeda dengan laku keagamaan mereka, dalam sektor produksi masyarakatnya terdapat problem tersembunyi yang menurut hemat saya sangat serius (mungkin termasuk daerah lain diluar Jawa); marginalisasi kebudayaan (cara hidup) lokal akibat gempuran pasar bebas.

Sebagai salah satu akibatnya, Masyarakat Gorontalo yang menempati bagian utara pulau Sulawesi ini hidup dalam dua mode produksi sekaligus, sebagai petani juga nelayan. Namun, masyarakat di sini dikonstruksi kehidupannya dengan nalar Jawa sentris. Salah satu contohnya, masyarakatnya menjadikan beras sebagai makanan pokok daripada jagung atau sagu yang adalah basis produksi mereka.

Hasilnya, nilai surplus pertanian yang diupayakan petani kecil di sini terserap habis akibat konstruksi pasar yang didorong oleh kebijakan politis. Bayangkan saja jagung yang /kg dijual petani hanya 2rb rupiah digunakan untuk membeli beras yang harganya 5x lipatnya.

Alih-alih masyarakat sanggup membiayai hidup mereka secara layak untuk kesehatan ataupun pendidikan sampai strata tinggi dan mungkin juga tabungan hari tua, di sini uang mereka sudah habis untuk kebutuhan pangan saja. Sedikit beruntung jika lahan garapan mereka luas. Padahal menurut Chayanov salah satu kunci keselamatan-kesejahteraan petani kecil adalah pola subsistensi mereka.

Mindset Jawa sentris yang berhulu dari nalar kapitalis yang menjangkiti para teknokrat pusat ini menjadikan basis budaya masyarakat menjadi ekslusif baik yang termarginalkan maupun elitis yang tak tersentuh. Jagung juga sagu disatu sisi tak terserap maksimal untuk diri sendiri (marginal), di sisi lain justru dijadikan komersil untuk kebutuhan pariwisata yang ekslusif dan elitis itu. Padahal jika produksi utama digunakan untuk kebutuhan rumah tangga mereka (subsisten) bisa meningkatkan pendapatan mereka atau paling tidak mengurangi rasio pengeluaran rumah tangga untuk sektor pangan.

Terbukti selama empat hari kunjungan hanya sekali saja saya mencicipi Binte Biluhuta, makanan khas Gorontalo berbahan dasar ikan dan jagung, itupun di penginapan. Dan ketika saya di lokasi acara ya tetap makan nasi.

Mungkin sekian dulu, ya?

Semoga menjadi refleksi kritis bersama menyoal konstruksi yang justru melahirkan alienasi dan marginalisasi akibat suatu pembangunan yang katanya bermaksud baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun