Di tengah riuh angin gurun dan debu yang menari di jalan-jalan Yerusalem, langkah seekor keledai sederhana menggemakan nubuat kuno. Di atas punggungnya, seorang pria duduk tanpa mahkota emas, namun wajah-Nya memancarkan cahaya kerajaan yang tidak berasal dari dunia ini. Warga kota berbondong-bondong menyambut-Nya, menghamparkan pakaian dan ranting-ranting palma, seolah bumi sendiri tunduk pada Sang Raja yang datang dalam kelembutan. Di antara sorak-sorai dan nyanyian harapan, terdengarlah seruan yang mengguncangkan langit: "Hosana Putra Daud!"
Bukan sekadar pekik pujian, itu adalah jeritan jiwa yang haus akan keselamatan. "Selamatkan kami!" adalah bisikan luka yang lama tersembunyi, kini meledak dalam syair kerinduan. Anak-anak berseru lebih jujur daripada para imam, dan para pengemis lebih dahulu mengenali kemuliaan-Nya dibanding para bangsawan. Sebab yang datang bukan pembawa pedang, tetapi pembawa damai. Bukan penakluk dengan tentara, tetapi Penebus yang mengusung salib kasih.
"Hosana"---sebuah kata yang menembus batas waktu, mengalir dari bibir manusia kepada telinga surga. Di sana, di antara suara harpa dan puji-pujian malaikat, gema bumi didengar dan dijawab dengan darah di Kalvari. Putra Daud yang dielu-elukan itu, tak lama kemudian disalibkan oleh tangan yang sama yang pernah mengangkat ranting palma. Namun cinta-Nya tidak terhapus oleh paku, dan kerajaan-Nya tidak digulingkan oleh kubur.
Dan kini, dalam sunyi batin manusia yang modern, seruan itu masih hidup. "Hosana Putra Daud"Â bukan hanya nyanyian sejarah, melainkan panggilan abadi dari hati yang mencari terang. Di setiap ruang gelap, di setiap tangis malam, nama-Nya tetap menggetarkan harapan: bahwa masih ada Raja yang datang bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memeluk, menyembuhkan, dan menyelamatkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI