#PsychologySays: Suami berperan besar dalam mencegah postpartum blues pada ibu baru. Benarkah?
Kehamilan, persalinan, dan masa nifas adalah suatu rantai kehidupan dalam perkembangan manusia yang tak dapat dihindari oleh seorang ibu. Tahukah Sobat Kompasiana? Menurut Rubin (1961), pascapersalinan, umumnya ibu mengalami 3 fase adaptasi psikologis, yakni:Â
1) fase taking in: umumnya terjadi di hari pertama dan hari kedua pascapersalinan, ditandai dengan ibu yang memfokuskan perhatian pada dirinya sendiri, nafsu makan ibu meningkat, dan ibu cenderung pasif pada lingkungannya.
2) fase taking hold: umumnya berlangsung sejak hari ke-3 hingga hari ke-10 pascapersalinan, ditandai dengan ibu yang kerapkali merasakan kekhawatiran dan kecemasan dari pikiran negatifnya sendiri.
3) fase letting go: umumnya berlangsung setelah 10 hari melahirkan, ditandai dengan penerimaan tanggung jawab ibu akan peran barunya.
Akan tetapi, ketiga fase ini belum tentu dapat terlewati sepenuhnya dengan lancar jaya, lho, Sobat Kompasiana! Pascapersalinan yang seharusnya disambut dengan penuh kebahagiaan karena lahirnya anak dalam suatu keluarga justru bisa berdampak sebaliknya apabila ibu gagal melewati fase taking hold dengan baik dan membuat Ibu dapat mengalami postpartum blues. Menurut World Health Organization (WHO), rasa depresi yang muncul pada periode postpartum terjadi tiga kali lebih hebat dari periode lainnya di dalam kehidupan seorang perempuan. Penelitian yang datang dari Nova dan Zagoto (2020) mengungkap fakta bahwa 50%-70% ibu di dunia pernah mengalami postpartum blues.Â
Omong-omong soal semua ini, postpartum blues itu sebenarnya apa, sih?
Postpartum blues pada ibu umumnya ditandai dengan memuncaknya emosi, perasaan sedih, panik, cemas, dan overthinking yang tak terkendali, mengalami penurunan gairah seksual, lebih tidak sabar hingga mudah tersinggung, bahkan dapat pula menyebabkan gangguan tidur dan gangguan nafsu makan. Selain itu, kecemasan ibu cenderung terarah pada perasaan kurang percaya diri terhadap kemampuannya sebagai ibu, takut tidak mampu menyayangi dan merawat bayinya dengan baik, serta takut tak lagi memiliki daya tarik bagi suaminya. Intinya, kalau dalam lingkungan sehari-hari, postpartum blues ini biasa kita sebut dengan baby blues syndrome, Sobat Kompasiana!
Lantas, solusinya apa, dong?!
Well, sebagai seorang pasangan, perlu dipahami bahwa suami menjadi pusat sumber dukungan yang dibutuhkan oleh istrinya. Dukungan dan validasi dari pasangan dapat meningkatkan sense of belongingness dan sense of security serta menurunkan perasaan negatif pada pasangannya. Dukungan suami pada istrinya di masa postpartum dapat menghasilkan kepuasan dalam hidup yang selanjutnya dapat menghilangkan kekhawatiran sang ibu terhadap masa depannya dan masa depan bayinya. Karena itulah, bentuk cinta, perhatian, dukungan, dan bantuan dari suami baik secara verbal maupun nonverbal diharapkan akan melahirkan secercah harapan bagi istri bahwa bayinya akan baik-baik saja.
Nah, perilaku apa saja, sih, yang bisa dilakukan suami untuk mencegah postpartum blues pada istrinya? Berikut tipsnya!
Jadilah pendengar yang baik dari setiap keluhan istri; dengarkan curahan hatinya tanpa menghakimi.
Pujilah istri dengan kata-kata manis agar istri lebih merasa diterima dan dihargai sehingga membuat istri jauh lebih percaya diri.
Bersikap responsiflah saat istri mengeluhkan tentang masalah kesehatannya, jangan menunda-nunda!
Bantulah istri merawat bayi dan membersihkan rumah. Ingat, rumah tangga ini milik kalian berdua!
Dukunglah kesehatan istri dengan menyediakan makanan dan minuman yang bergizi.
Temanilah istri saat membutuhkan konsultasi dengan dokter.
Berikanlah masukan dan saran yang positif untuk istri, jangan terlalu banyak mengkritik!
Cari tahu informasi seputar layanan perawatan bayi (baby care) untuk membantu istri saat kewalahan.
Ajaklah istri liburan bersama untuk melepas penat.
Jangan biarkan istri menghadapi situasi sulit dan stres sendirian! Temani dan sayangilah ia.
Jadi, begitulah, Sobat Kompasiana!
Di dalam sebuah rumah tangga, dukungan dari pasangan tentu memiliki peran yang sangat penting demi kesejahteraan psikologis pasangannya. Dalam kasus postpartum blues, suami diharapkan dapat menyadarkan istri dari mitos-mitos mengenai postpartum blues, salah satunya adalah anggapan bahwa merasa buruk dan cemas adalah bagian dari menjadi ibu baru. Memang tak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya merasa takut, cemas, dan khawatir adalah emosi dasar manusia. Namun, suami harus tahu bahwa apabila perasaan buruk dan cemas ini terus berlanjut, istrinya bisa mengalami depresi yang serius. Apabila suami justru bersikap acuh tak acuh dan menggampangkan perasaan istri, istri bisa saja merasa ditolak, diabaikan, diisolasi, hingga dapat menjembatani pemikiran akan kematian. Karena itulah, dibutuhkan suami yang mampu mendukung istri agar merasa lebih baik. Jadi, yuk, belajar menjadi suami dan calon ayah yang baik!
Referensi:
Nova, S., & Zagoto, S. (2020). Gambaran Pengetahuan Ibu Nifas tentang Adaptasi Psikologis pada Masa Nifas di Klinik Pratama Afiyah Pekanbaru Tahun 2019. Al-Insyirah Midwifery: Jurnal Ilmu Kebidanan, 9(2), 108-113. https://doi.org/10.35328/kebidanan.v9i2.674.Â
Rubin, R. (1961). Puerperal change. Nursing Outlook, 9, 753-755.
Sincerely,
Fatima Zahra Kamila
BPPK ILMPI Wilayah IV
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI