Mohon tunggu...
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Q. Moehiddin Mohon Tunggu... -

Sekadar berbagi pemikiran untuk nilai-nilai yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

ACFTA: Pemerintah Indonesia “Baru” Mulai Berbenah

21 Juni 2010   08:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:23 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Bagian Kelima dari Enam Tulisan Seri Tolak ACFTA)

Oleh Ilham Q Moehiddin

Sangkaan bahwa pemerintah Indonesia hanya memberi berat timbangan perhatiannya pada skema-skema perdagangan dalam panel ACFTA, agaknya, perlahan-lahan mulai dikikis. Tetapi, apa karena itu, kawalan ini akan berhenti? Mungkin saja. Namun, kawalan macam ini, belum akan surut sampai pemerintah Indonesia benar-benar memberatkan timbangan keputusannya untuk rakyat kecil.

****

Dalam beberapa artikel terdahulu, tergambar jelas sejumlah kekhawatiran perihal dampak keras keikutisertaan Indonesia, dari perberlakuan ACFTA terhadap rakyat Indonesia. Dampak keras seperti itu, sudah pasti akan terjadi, jika para komponen peserta pasar bebas kawasan, khususnya Indonesia, tidak melihatnya sebagai hal serius.

Maka, saya pun berharap lebih terhadap keputusan terakhir dari kedua pihak; Indonesia dan China, untuk membentuk sebuah kelompok kerja untuk mengatasi dampak ACFTA. Tetapi, saya masih saja tetap khwatir, jika putusan dengan bunyi macam itu. Sebab, kedua pemerintah, terlebih Indonesia, sebenarnya akan lebih baik meminimalisir—dan sebaiknya menghilangkan—potensi munculnya dampak negatif dari mekanisme pasar bebas. Jadi, bukan menunggu munculnya dampak, lalu kemudian “diatasi”—atau mungkin itu adalah sebutan halus untuk “direhabilitasi”?

Selain bekerjasama untuk mengatasi dampak ACFTA, pemerintah China bahkan sudah lebih dulu mengajukan diri untuk beberapa pola pendukung, untuk memperlancar sejumlah skema dalam panel pasar bebas kedua negara. Pemerintah China bahkan sudah menyatakan kesiapannya untuk membantu Indonesia dalam mengembangkan sistem transportasi, dan menyatakan kesiapannya terkait pembangunan sejumlah proyek infrastuktur lain.

Tetapi, kemudian masalahnya tidak berhenti sampai disitu saja. Sebab, keseriusan pemerintah Indonesia terus dinanti-nanti. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) bahkan menyambut sejumlah variabel pos tarif yang akan berlaku, jika Juli 2010 nanti Indonesia menghilangkan sekat proteksi secara permanen. Maka, Kadin pun mendesak pemerintah untuk menunda 228 pos tarif dalam panel ACFTA. Tentu saja ada alasan penting bagi Kadin untuk meminta penundaan pemberlakuan sejumlah pos tarif dalam panel ACFTA itu.

***

Di tengah kegelisahan sejumlah pelaku pasar domestik perihal kekurangan Indonesia dalam hal sektor energy, seperti yang terekam dalam siaran televisi “Flatform Ekonomi” di TVOne (pada artikel: Batalkan Perjanjian Free Trade; Indonesia Tak Perlu Malu), kalangan serikat buruh itu mempersoalkan pemerintah yang tidak bisa tegas soal energy dan sumbernya. Terlalu banyak sumber daya energy dan mineral Indonesia—menurut mereka—yang kini dikelola asing atau yang sementara ditawarkan ke pemodal asing. Kemudian diperparah dengan rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) industri dan harga beli gas untuk industri. Berlanjut, ke rencana pemerintah Indonesia menaikkan TDL untuk masyarakat pemakai listrik 450 – 900 kwh (dengan beban diatas 30 kwh).

Rupanya, pemerintah tidak terusik dengan sejumlah keluhan ini, dan tetap jalan dengan rencananya; menawarkan 35 wilayah kerja sektor minyak dan gas kepada pihak swasta nasional (dan asing?).

Menurut Hatta Rajasa, jika pun pemerintah tetap akan bernegosiasi perihal tindak lanjut ACFTA, maka sebisa mungkin tidak merubah skema. Apa mungkin ada skema yang tidak berubah sama sekali, ketika keputusan dari proses negosiasi diambil, apalagi...jika keputusan negosiasi itu berbuntut pada kembalinya dukungan pemerintah terhadap model proteksi masyarakat dan sejumlah industri besar-menangah-kecil di Indonesia?

Saya kira, skema manapun harus berubah (jika perlu) untuk memenangkan statuta rakyat Indonesia, terhadap dampak ACFTA. Jangan sampai, dengan mempertahankan skema, Indonesia lantas benar-benar jatuh ke dalam “kuasa asing”. Setelah kuasa asing “merebut” sistem pasar Indonesia, pada gilirannya energy dan sumbernya akan ikut tergadai. Pun, tidakkah Anda miris dengan sejumlah pulau yang sudah dikuasai asing itu?

***

Benar saja, rupanya, pemerintah Indonesia “sudah terprovokasi” dengan sejumlah penolakan dari masyarakat Indonesia. Provokasi positif itu, baru memberi sedikit harapan dari banyak kehendak terhadap model perlindungan negara untuk rakyat Indonesia.

Perihal, proteksi terhadap kebutuhan pokok masyarakat yang berhubungan dengan pangan, kemarin, pemerintah mulai 1 April 2010, sudah mengumumkan pencabutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk lima (5) kebutuhan pokok.

Sebaiknya, penghapusan PPN ini, tidak berhenti terhadap lima kebutuhan pokok saja. Sebisa mungkin pemerintah terus memantapkan proteksi pangan terhadap rakyat kecil Indonesia, dengan ikut menghapuskan PPN untuk semua kebutuhan pokok lainnya, sekaligus juga menghapuskan 50% komponen tarif lainnya, yang masih tersisa dari komponen penentu harga barang-barang kebutuhan pokok itu.

Jika pemerintah masih tetap hendak melindungi sejumlah korporasi yang bermain, silahkan saja. Tetapi, cukuplah bagi pemerintah untuk menghapuskan komponen tarif yang “tidak penting” terhadap kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Pantas saja, jika selama ini, kebutuhan pokok itu masih kerap tidak terjangkau masyarakat Indonesia, sebab PPN menyumbang 30% dari harga barang.

Silahkan ber-Pasar Bebas...asal rakyat Indonesia tak perlu risau dengan kebutuhan pangan mereka, bukan?

***

Pemerintah, akhirnya terprovokasi dengan sejumlah isu penting seputar pelaksanaan pasar bebas kawasan. Isu-isu penting itu memang bukan sekadar rumor, justru segera menjelma menjadi ancaman serius, jika pemerintah tidak sigap membendungnya.

Yang juga paling serius dan mendasar, salah satunya adalah ancaman kejahatan transnasional. Dalam artikel saya sebelumnya, “Free Trade Area: Ketika Indonesia Berperang Tanpa Tameng”, dengan terang dijelaskan bahwa “Perdagangan bebas juga akan mendorong pasar gelap, sebagai efek samping. Pasar gelap akan mendorong perdagangan barang-barang ilegal; perdagangan senjata antar negara, perdagangan obat terlarang trans-internasional, perdagangan perempuan dan anak, perbudakan gaya baru, dan transfer konflik dari sebuah wilayah perang ke wilayah lainnya. Pasar bebas dan segala aturan dalam panelnya adalah rencana besar yang sesungguhnya mengarah pada penguasaan semua sumber daya alam, pangsa pasar, human irritations, dan kebijakan negara-negara yang terlibat”.

Itulah imbas yang tercipta dari hal yang saya istilahkan sebagai “capital cracking out”.

Pemerintah Indonesia sudah sewajarnya khawatir dengan side effect pasar bebas kawasan ini. Kejahatan transnasional akan mudah menyusup dalam panel pasar, sebab banyak fundamen pasar terbatas yang kemudian terganggu, dengan lahirnya kebijakan pasar bebas.

Makanya, pemerintah Indonesia mengangkat isu kejahatan transnasional pada KTT ASEAN di Hanoi 8-9 April 2010. Sebelumnya, sekitar “43 tenaga ahli dari 10 negara di Asia bertemu di Bali, untuk membahas perdagangan gelap senjata. Sebab, dengan pembatasan yang ketat selama ini pun, sindikat penjualan senjata antar negara, sukses mendistribusikan senjata ke berbagai area konflik di seluruh dunia, bahkan sampai ke Aceh dan Papua”. (Baca kembali artikel: “Batalkan Perjanjian Free Trade; Indonesia Tak Perlu Malu”)

Kekhawatiran itu beralasan, jika membaca laporan United Nations perihal satu milyar penduduk dunia saat ini, memiliki senjata ringan.

***

Optimisme pemerintah Indonesia terhadap panel ACFTA, rupanya tidak bisa pupus begitu saja, walau pemerintah harus melihat sejumlah masalah serius berkenaan dengan kondisi rakyat Indonesia secara umum, dan kondisi sektor riil serta industri dari beragam basis.

Optimisme itu makin kuat melihat laporan perdagangan yang dilansir per Februari 2010; yang menyebut nilai ekspor Indonesia mencapai nominal US$ 11,2 Milyar. Dan, nilai impor Indonesia mencapai angka US$ 9,5 Milyar. Sehingga neraca perdagangan Indonesia pun surplus pada nilai US$ 1,71 Milyar. Neraca perdagangan ini untuk tiga negara utama tujuan ekspor Indonesia, yakni Jepang, China, dan USA.

Tetapi, saya tidak seoptimis pemerintah (walau nilai pesimisme saya tidak penting bagi pemerintah...hahahaha) melihat neraca perdagangan yang cuma “terpaut” sedikit itu. Bagaimana menurut Anda dengan skema ini: Tinggikan nilai ekspor, lalu minimkan nilai impor (dengan lebih banyak menggunakan produk dalam negeri), untuk mendapatkan surplus neraca perdagangan yang tinggi? Lebih bagus begini, kan?

Sebab untuk ACFTA, semua nilai yang dilaporkan baru sebatas prediksi, yang sungguh masih sumir terdengar. Semisal, ACFTA diprediksi akan meningkatkan nilai perdagangan Indonesia dan China senilai US$ 50 Milyar. Lalu, Menteri Perdagangan yang optimis, ekspor Indonesia ke China tumbuh di atas 10%. Kemudian, melalui ACFTA, Indonesia berpeluang meningkatkan ekspor sepatu ke China.

Angka prosentase dan prediksi-prediksi itu masih sulit diraih jika nilai impor Indonesia tidak bisa diminimalisir. Lantas, dari mana optimisme Indonesia akan berpeluang meningkatkan ekspor sepatu ke China, jika mata kita masih bersirobok pandang dengan sepatu-sepatu buatan China yang dipajang di sejumlah toko besar sekelas Mall, dan lods kecil di pasar-pasar tradisional, di sejumlah kota di Indonesia?

Mungkinkah, keyakinan saya soal retensi dan resistensi terhadap panel pasar bebas akan dibuat melayang begitu saja? Entahlah []

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun