Mohon tunggu...
Ilham Pasawa
Ilham Pasawa Mohon Tunggu... Novelis - ~Pecandu Kopi~

Manusia yang ingin memanusiakan dan dimanusiakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Prasangka

8 April 2021   06:26 Diperbarui: 8 April 2021   06:48 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sempat tak sependapat, tetapi ia malah bertanya balik kepadaku...

"Sudah seberapa besar kau mencintai gurumu? Atau yang lebih khusus, seberapa besar kau mencintai orangtuamu? Jangan dulu ingin dicintai dan dipahami sebelum kau pun memulai untuk mencintai dan memahami. Jangan sampai terjebak pasa ego yang menyesatkan. Dan satu hal lagi, fokuslah untuk selalu bertanya pada dirimu sendiri, untuk apa kau dihadirkan?"

Berapa banyak aku mencinta guruku? Mencintai orangtuaku? Pertanyaan itu seakan menyekakku, aku tak bisa menjawab. Kenapa aku harus membenci orang tuaku yang selalu berkelahi satu sama lain? Kenapa aku tak mencoba melerai? Bukankah aku adalah bukti nyata kalau mereka berdua pernah saling mencintai, bukankah aku buah dari cinta mereka? Memang ini sangat menyiksa, tetapi selama ini aku memang tak berbuat apa-apa, aku hanya diam meratap karena aku merasa diriku masih terlalu kecil untuk mencampuri urusan mereka? Ah kenapa juga mereka harus saling membenci seperti itu? Kenapa manusia selalu begitu, kadang mencinta terlalu sangat, dan hanya karena satu dua hal ia bisa saling membenci. Seperti aku misalnya..

Dan kepada guruku? Bukankah semua tanggapan guruku atas diriku hanyalah dugaanku semata, belum tentu mereka menganggapku seperti apa yang aku ceritakan. Bukankah itu semua hanya dugaan dan sangkaanku belaka? Ah, rupanya seluruh persoalan hidupku hanya dimulai dari prasangka.

Pak Rahman mentraktirku malam ini, ia berpamitan pulang lebih dahulu. Sebuah kebetulan pada malam ini membuatku semakin mengerti hidup. Dan malam itu pula menjadi malam terakhir aku bertemu dengannya.

Aku pun pulang ke rumah, masuk ke dalam kamar. Membuka jendela dan memandangi rembulan yang menyejukkan. Dan tiba-tiba, orangtuaku kembali mengacaukan malamku yang damai. Aku bertengkar lagi dengan diriku sendiri. Rasa kesal itu mulai mendaki lagi. Aku harus menang. 

Aku pun menghampiri mereka, menangis di hadapan mereka. Meluapkan gelisah dan perasanku pada mereka. Apa yang terjadi? Mereka berhenti bertengkar, keduanya memeluk ku. Mereka melakukan gencatan senjata untuk sementara waktu.

8 April 2021, Kamar Renungan, Depok

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun