Mohon tunggu...
Ilham Nur Maulana
Ilham Nur Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, NIM 24107030064.

Tidak begitu menyukai banyak hal yang mewah, lebih suka ke hal-hal yang sederhana. Memiliki hobi mendengar musik dan bermain basket.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Gen Z Bisa Kerja, Tapi Kenapa Slalu Gagal Saat Interview? Ini Penyebabnya

4 Juni 2025   06:30 Diperbarui: 3 Juni 2025   04:32 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gen Z yang gagal saat interview (Pinterest)

Generasi Z, atau yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, dikenal sebagai generasi digital native. Mereka tumbuh dengan akses internet, gadget, dan berbagai platform sosial media sejak dini. Dalam dunia kerja, Gen Z sering dipandang punya potensi besar. Mereka cepat belajar teknologi, kreatif, dan punya kemampuan multitasking yang mumpuni. Namun, di balik potensi itu, ada fenomena menarik yang sering ditemui banyak HRD: meskipun Gen Z "aslinya bisa kerja," banyak di antara mereka yang kesulitan saat proses wawancara kerja. Kenapa?

Pertama, kita harus pahami bahwa kemampuan kerja dan kemampuan menghadapi wawancara itu dua hal yang berbeda. Wawancara bukan hanya soal menunjukkan keahlian teknis atau pengalaman, tapi juga kemampuan komunikasi verbal, kecakapan membangun kesan positif, dan kepercayaan diri. Gen Z yang sehari-harinya terbiasa berkomunikasi lewat pesan singkat atau chatting cenderung kurang terlatih untuk berbicara dengan bahasa formal dan terstruktur dalam wawancara.

Misalnya, ketika ditanya, "Apa kelemahanmu?" sebagian besar Gen Z menjawab secara singkat atau malah terbuka jujur tanpa strategi, seperti, "Saya kadang malas," atau "Saya mudah stres." Jawaban seperti ini kurang maksimal karena pewawancara ingin tahu bagaimana calon karyawan mengatasi kelemahan itu, bukan sekadar mendengar kelemahan saja. Banyak Gen Z belum paham teknik menjawab pertanyaan seperti ini secara strategis.

Selanjutnya, masalah lain adalah kurangnya persiapan. Banyak calon pekerja muda berharap wawancara kerja akan seperti ngobrol santai, padahal wawancara adalah proses evaluasi profesional. Tanpa latihan, mereka sering kebingungan, gugup, dan sulit menyampaikan ide dengan jelas. Ini bisa membuat impresi pertama jadi kurang meyakinkan.

Selain itu, ada faktor budaya kerja yang berbeda antara generasi. Gen Z tumbuh di lingkungan yang menekankan keterbukaan, kecepatan, dan fleksibilitas. Mereka terbiasa cepat mendapatkan informasi dan respons instan. Namun, di dunia kerja, terutama perusahaan yang sudah mapan, proses wawancara biasanya formal dan terstruktur. Perbedaan ekspektasi ini kadang membuat Gen Z bingung harus berperilaku seperti apa agar sesuai dengan standar perusahaan.

Yang tak kalah penting adalah sikap dan mental. Gen Z sering dianggap terlalu "jujur" dan kadang terlalu ekspresif. Saat menjelaskan harapan karier, mereka bisa menyebut ingin work-life balance yang sempurna, lingkungan kerja yang ramah, atau jenjang karier cepat. Meski itu harapan yang wajar, cara penyampaian yang kurang tepat bisa memberi kesan kurang fleksibel atau tidak mau berkorban. HRD bisa menilai calon pekerja seperti ini kurang siap menghadapi realita dunia kerja yang kadang keras.

Tak jarang pula, Gen Z yang punya kepercayaan diri tinggi justru terdengar sombong atau tidak bisa menerima kritik. Sebaliknya, ada yang terlalu pemalu dan sulit mengekspresikan diri sehingga terkesan kurang percaya diri. Kedua sikap ini sama-sama menjadi tantangan saat interview.

Faktor teknologi juga berperan. Sebagian besar wawancara kerja sekarang dilakukan secara virtual lewat Zoom, Google Meet, atau platform lain. Ini menuntut kemampuan berbeda dari wawancara tatap muka. Gen Z, meski familiar dengan teknologi, belum tentu siap menghadapi tekanan berbicara di depan kamera, mengatur pencahayaan, dan menjaga fokus tanpa gangguan. Hal-hal teknis ini bisa menjadi penghalang bagi mereka yang belum terbiasa.

Namun, bukan berarti Gen Z tidak bisa mengatasi masalah ini. Banyak generasi muda yang mulai sadar pentingnya persiapan wawancara. Mereka mengikuti kelas public speaking, simulasi wawancara, dan belajar teknik komunikasi yang efektif. Kesadaran ini perlu terus ditingkatkan supaya mereka bisa tampil lebih percaya diri dan profesional.

Salah satu kunci keberhasilan wawancara adalah kemampuan storytelling. Gen Z harus belajar menyusun cerita tentang pengalaman, tantangan, dan pencapaian mereka secara menarik dan relevan dengan posisi yang dilamar. Metode STAR (Situation, Task, Action, Result) bisa menjadi panduan yang membantu mereka menyampaikan informasi dengan fokus dan terstruktur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun