Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gelap

21 Februari 2025   06:49 Diperbarui: 21 Februari 2025   06:49 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hormat adalah bagian dari kebiasaan yang ada di kampungku. Hormat biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, bicara dengan suara yang biasa saja, saling menyapa, tak petantang-petenteng pada yang tua.

Bahkan kata yang keluar dari mulut adalah kata-kata yang sudah disaring. Tidak asal bersuara saja.

Tapi zaman sepertinya sudah mulai berubah. Ada yang ingin dihormati, tapi mengabaikan hak orang lain.

Ada yang ingin dihormati, tapi suruh sana suruh sini seperti memperbudak. Ada yang ingin dihormati tapi mencuri hak orang lain.

Ada yang ingin dihormati, bicara sok nabi, tapi kesehariannya mirip iblis. Hormat akhirnya hanya menjadi kewajiban untuk yang kecil, yang lemah, yang papa.

Sejak saat itu, sejak hormat menjadi kasta yang jelas, anak-anak muda di kampungku mulai membangkang. Omongannya lugas. Karena sangat banyak anak muda, mereka menjadi kekuatan yang mengerikan.

Dalam sebuah musyawarah di kampungku, Ki Sardin meraung-raung karena merasa tak dihargai sebagai sesepuh.

"Kalian tak punya adab!" Teriaknya pada anak muda di situ dengan menggebrak meja.

Kasno yang membara itu langsung berdiri. "Pak tua! Tak usah bicara adab. Di mana duit desa puluhan juta itu kau sembunyikan," kata Kasno keras.

Ki Sardin yang merasa dipojokkan dan tak bisa apa-apa, langsung mengucapkan sumpah serapah. "Terkutuk kau, tak hormat pada orang tua. Sekeluargamu bakal sengsara," kata Ki Sardin sembari bergegas.

"Kutukan maling sepertimu tak akan mempan, Pak Tua," teriak Kasno lalu tertawa.

Ternyata ucapan Kasno ditepuktangani. Maklum saja di forum itu banyak pemuda. Ki Sardin yang bergegas pulang merasa teraniaya.

Marto yang masih ada di forum itu, merasa anak anak muda memang tak punya adab. "Hormatlah kalian pada orangtua," katanya dengan mengacungkan jari.

"Hei pak tua, kau tak pernah beres kerja untuk desa. Hanya bisa ngoceh sana-sini. Tak mau kerja. Petantang petenteng minta dihormati. Tanah milik tetanggamu kau serobot. Pulang sana," kata Dardiri, pemuda tampan.

Anak muda menjadi gelombang baru di kampungku. Mereka tak pernah bilang secara tertutup atau basa basi. Mereka bicara lugas. Kemapanan orangtua digoyang begitu rupa.

Banyak orang yang gembira dengan situasi itu. Setidaknya semua terbuka. Tak lagi ada kasta. Kekacauan yang diakibatkan penyimpangan "hormat" telah dibinasakan.

***
Lima belas tahun kemudian, situasi malah makin runyam. Anak-anak muda saat itu yang kini tumbuh menjadi kekuatan yang mengerikan. Mengerikan melebihi iblis.

Jika dulu orang berbuat curang sembunyi-sembunyi, kini buka-bukaan. Terbuka. Duit desa dirampas secara terbuka. Hak orang lain diinjak secara terang-terangan.

Setiap ada yang melawan, langsung digeruduk, diintimidasi, diancam dilaporkan ke yang berwajib. Selalu seperti itu. Anak muda yang dulu memberi harapan, kini malah jadi tikus besar yang kuat berkelompok dan tak ada lawan.

Gelap memang kampungku.

***

"Aku pikir akan makin baik. Tapi malah makin gelap. Di usiaku yang terus beranjak ini, aku tak lihat kampung yang menenteramkan. Kok bisa seperti ini, Min?" Tanya Nono padaku di malam itu.

Wajah Nono pucat, kesedihan yang mendalam. Dia merasa tanah tempatnya lahir dipenuhi orang-orang bermasalah. Sembari terus nerocos, mata Nono menatap kosong. Kesedihan mendalam.

"Om kapan mulai?" suara dari balik triplek menyapa manja pada Nono.

"Ya, bentar lagi," kata Nono.

"Min, di dalam ada dua kupu-kupu. Kalau kamu mau satu ga apa-apa. Nanti aku traktir, gimana?" Tanya Nono padaku.

Imanku goyah. Mataku kedap-kedip. Lututku tak tenang. Aku menundukkan kepala. "Tuhannnn, kenapa Kau selimuti aku dengan situasi seperti ini," kataku lirih.

"Jangan bawa-bawa Tuhan. Jangan salahkan Tuhan. Gimana, yang satu agak pendiam. Cocok sepertinya buat kamu, Min. Aku traktir," kata Nono lirih di telingaku.

Imanku tak hanya goyah, tapi benar-benar terguncang. Terguncang!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun