"Aku pikir akan makin baik. Tapi malah makin gelap. Di usiaku yang terus beranjak ini, aku tak lihat kampung yang menenteramkan. Kok bisa seperti ini, Min?" Tanya Nono padaku di malam itu.
Wajah Nono pucat, kesedihan yang mendalam. Dia merasa tanah tempatnya lahir dipenuhi orang-orang bermasalah. Sembari terus nerocos, mata Nono menatap kosong. Kesedihan mendalam.
"Om kapan mulai?" suara dari balik triplek menyapa manja pada Nono.
"Ya, bentar lagi," kata Nono.
"Min, di dalam ada dua kupu-kupu. Kalau kamu mau satu ga apa-apa. Nanti aku traktir, gimana?" Tanya Nono padaku.
Imanku goyah. Mataku kedap-kedip. Lututku tak tenang. Aku menundukkan kepala. "Tuhannnn, kenapa Kau selimuti aku dengan situasi seperti ini," kataku lirih.
"Jangan bawa-bawa Tuhan. Jangan salahkan Tuhan. Gimana, yang satu agak pendiam. Cocok sepertinya buat kamu, Min. Aku traktir," kata Nono lirih di telingaku.
Imanku tak hanya goyah, tapi benar-benar terguncang. Terguncang!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI