"Kutukan maling sepertimu tak akan mempan, Pak Tua," teriak Kasno lalu tertawa.
Ternyata ucapan Kasno ditepuktangani. Maklum saja di forum itu banyak pemuda. Ki Sardin yang bergegas pulang merasa teraniaya.
Marto yang masih ada di forum itu, merasa anak anak muda memang tak punya adab. "Hormatlah kalian pada orangtua," katanya dengan mengacungkan jari.
"Hei pak tua, kau tak pernah beres kerja untuk desa. Hanya bisa ngoceh sana-sini. Tak mau kerja. Petantang petenteng minta dihormati. Tanah milik tetanggamu kau serobot. Pulang sana," kata Dardiri, pemuda tampan.
Anak muda menjadi gelombang baru di kampungku. Mereka tak pernah bilang secara tertutup atau basa basi. Mereka bicara lugas. Kemapanan orangtua digoyang begitu rupa.
Banyak orang yang gembira dengan situasi itu. Setidaknya semua terbuka. Tak lagi ada kasta. Kekacauan yang diakibatkan penyimpangan "hormat" telah dibinasakan.
***
Lima belas tahun kemudian, situasi malah makin runyam. Anak-anak muda saat itu yang kini tumbuh menjadi kekuatan yang mengerikan. Mengerikan melebihi iblis.
Jika dulu orang berbuat curang sembunyi-sembunyi, kini buka-bukaan. Terbuka. Duit desa dirampas secara terbuka. Hak orang lain diinjak secara terang-terangan.
Setiap ada yang melawan, langsung digeruduk, diintimidasi, diancam dilaporkan ke yang berwajib. Selalu seperti itu. Anak muda yang dulu memberi harapan, kini malah jadi tikus besar yang kuat berkelompok dan tak ada lawan.
Gelap memang kampungku.
***