Bahkan, satu keluarga saya pun beda hari Idulfitri. Saya, bapak, dan seorang kakak ikut salah satu kiai NU di masjid besar. Kami berlebaran lebih dahulu. Kami tahu lebaran pukul 01.30 dinihari. Jadi sejak pukul itu, langsung takbiran. Maklum, zaman itu informasi berjalan tak seperti saat ini.
Sementara, ibu dan kakak saya yang lain ikut kiai kampung dan pemerintah, berlebaran sehari setelahnya. Itu terjadi kalau tidak tahu 1992, ya tahun 1993.
Lalu bagaimana? Ya biasa saja. Kami masih hidup bersama, sampai bapak ibu kami wafat. Bapak dulu mengaji di masjid besar di Kendal. Salah satu guru bapak adalah KH Achmad Abdul Hamid yang menciptakan ucapan penutup khas NU seperti yang tertulis di akhir tulisan ini.
Kok Jadi Ada Penggaris
Bukan hanya di internal keluarga saya, beda pandangan di NU itu terjadi di antara pemuka. Tentu saja perbedaannya bukan perbedaan pokok atau penting soal agama.
Beda pemahaman tentang satu hal juga terjadi. Misalnya, dulu ada kiai NU yang jika berdiri setelah rukuk dalam salat, tangannya bersedekap, ada juga yang tidak. Tapi ya biasa saja. Tak sampai terjadi peperangan atau saling mencela.
Selain itu, beda politik bisa terjadi. Ada yang ikut Golkar, ada yang ikut PPP. Di masa awal Reformasi, pembelahannya mayoritas cenderung ke dua kubu, yakni PKB dan PPP.
Ya berhadapan dalam politik itu terjadi. Tapi ya hanya berhadapan dalam hal politik saja. Tak sampai memecah NU.
Dulu Gus Dur mengganti Assalamualaikum dengan selamat pagi, ya tak sampai muncul NU tandingan. Belakangan saya dapat informasi bahwa Gus Dur tak pernah mengatakan itu, yakni mengganti assalamualaikum dengan selamat pagi.
Informasi saya ini tentu harus diklarifikasi kebenarannya oleh mereka yang terlibat dalam penulisan berita assalamualaikum diganti selamat pagi. Maklum saja, masa kini adalah masa banjir informasi.
Dulu di tahun 1984, muncul dua kubu jelang muktamar. Setahu saya adalah kubu Gus Dur dan Idham Chalid. Yang satu disebut Ciganjur, yang satu disebut Cipete.