Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merdeka atau Kuota

16 Agustus 2020   17:34 Diperbarui: 16 Agustus 2020   17:55 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Perang 10 November di Surabaya. Dok kompas dipublikasikan kompas.com

Dahulu ketika perjuangan melawan penjajah, pekik yang diungkapkan adalah "merdeka atau mati". Artinya memilih merdeka dan rela mati untuk bisa mendapatkan kemerdekaan.

Kini? Saya pikir kalau berjuang secara fisik sampai mati, sepertinya sudah tak lagi. Kini, mungkin lebih ke  pertanyaan bukan pekikan. Pertanyaannya adalah "merdeka atau kuota?" Anda mau memilih merdeka atau kuota. Itu realitas paling nyata di hadapan kita.

Tentu jawabannya beragam. Tapi, jangan kaget kalau ternyata ada yang lebih memilih kuota sekalipun tak merdeka ke mana-mana. Memilih kuota sekalipun menyekapkan diri di kamar dan di rumah.

Sebab, bisa jadi kemerdekaan baginya adalah bisa berselancar di dunia maya. Bisa jadi kemerdekaan baginya adalah bisa membuat status. Bisa jadi kemerdekaan baginya adalah ketika bisa menghujat yang lainnya di dunia maya.

Bisa jadi merdeka dengan bisa ke mana-mana tidak ada artinya kalau tak punya kuota dan tentunya telepon genggam cerdas. Bisa ke mana-mana kalau tak bisa membuat status dan komentar menyerang orang lain, sama saja tak merdeka.

Jangan heran juga bahwa ada yang berpikir kemerdekaan sekarang adalah kotak kecil. Kemerdekaan adalah kotak kecil yang bernama telepon genggam cerdas. Sebab, dengan telepon genggam itu bisa membayar listrik, membayar tv berlangganan, membayar SPP sekolah.

Sebab, dari kotak kecil itu bisa bebas berkomentar. Dari kotak kecil itu bisa mencari uang. Tanpa kotak kecil itu hidup jadi hampa. Tanpa kotak kecil itu hidup seperti terjajah, terkekang, tak bergairah.

Bagi sebagian orang, zaman telah berubah. Riuh rendah di dunia nyata tak terlalu menarik lagi. Berkumpul bersama tidak menarik lagi. Terbuka siapa diri sendiri tak menarik lagi. Bagi sebagian orang, bisa saja yang menarik adalah riuh rendah di dunia maya.

Ramai dan riuh rendah di dunia maya, saling menjelekkan, saling memojokkan, menjadi gairah tersendiri. Bahkan, lebih suka menyembunyikan identitas diri. Lebih suka tak dikenali dengan memakai nama samaran.

Seperti sekelompok orang yang tak punya nyali mempertanggungjawabkan sentuhan jempolnya. Dia lari setelah menggerakkan jempolnya di telepon genggam. Gerak jempol yang menulis untuk menyudutkan, melecehkan, atau membuat "kisruh" melalui tulisan.

Jika realitas kemerdekaan sebagian orang adalah kuota, telepon genggam, dan ujaran kebencian di dunia maya, salahkah? Saya tak mau menjawabnya. Saya tak mau menjawab jika kemerdekaan makin identik dengan kesendirian. Biarkan itu jadi penanda zaman. Kemudian, kita bisa merenung makin dalam dan bertanya pada nurani kita sendiri. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun