Mohon tunggu...
ILHAM DANU PRASETYO
ILHAM DANU PRASETYO Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa universitas negeri jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena "SKENA"Pencarian Identitas Dalam Pusaran Globalisasi

25 Juni 2025   16:18 Diperbarui: 25 Juni 2025   16:24 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Latar Belakang Masalah
 
menurut KBBI. Skena (dari bahasa Yunani σκηνή skēnḗ) dapat merujuk pada: Skena, sebuah istilah yang merujuk pada komunitas atau lingkungan tertentu. Skena, sebuah istilah yang merujuk pada kegiatan atau cara hidup tertentu dan orang-orang yang menjadi bagian darinya.Dalam lanskap sosial kontemporer, kita acap kali menyaksikan munculnya fenomena budaya di kalangan pemuda yang menyebar cepat dan menjadi viral. Perhatikan saja istilah "skena" yang belakangan ini ramai diperbincangkan. Istilah ini merujuk pada subkultur atau komunitas tertentu yang terbentuk di kalangan anak muda, yang seringkali diwarnai oleh minat, gaya hidup, atau preferensi musik yang serupa.
Konsep dari Skena adalah mencari kepuasan dengan sesama penggemar (Pramesti, 2021). Dalam praktiknya  pelaku  skena  musik mengadakan  pertemuan  yang  biasanya  berujung  dengan  pertunjukan musik menggunakan konsep Do-it-yourself (DIY). Konsep skena digunakan sebagai model kebudayaan bagi penikmat dan pelaku musik tertentu, yang memungkinkan mereka untuk menjadi diri sendiri tanpa mengikuti  arus  utama  (Muhamad  &  Rachman,  2024).  Hal  ini  memberikan  kebebasan  berekspresi kultural  dan  identitas  alternatif  yang  membedakan  mereka  dari  musik-musik mainstream (Septian  & Hendrastomo, 2020)Fenomena ini bukan hanya sekadar tren sesaat, melainkan cerminan kompleksitas,perluasan,dan kemajuan gaya berpakaian yang sangat cepat namun dapat dikatakan juga sebagai pencarian identitas, kebutuhan akan afiliasi, dan respons terhadap perubahan sosial-ekonomi yang terjadi di masyarakat.
"Skena" dapat diamati dalam berbagai bentuk. Mulai dari gaya berpakaian yang khas, pilihan tempat nongkrong, hingga jenis musik yang didengarkan—semuanya membentuk sebuah identitas kolektif yang membedakan mereka dari kelompok lain. Misalnya, ada "skena indie" dengan ciri khas musiknya yang alternatif dan gaya busana yang santai, mencintai senja,menyukai kopi,puitis dan sastra."skena motor kustom" yang menekankan pada modifikasi kendaraan,malam hari, dan gaya hidup petualangan. Setiap skena ini memiliki norma, nilai,kebiasaan dan bahkan bahasa gaul tersendiri yang dipahami oleh anggotanya, menciptakan batas-batas informal yang membedakan mereka dari "orang luar."
Keberadaan media sosial dan kecepatan informasi turut berperan besar dalam penyebaran dan popularitas fenomena ini. Platform seperti Instagram, TikTok, dan X (sebelumnya Twitter) memungkinkan skena-skena baru muncul dan berkembang dengan sangat cepat. Anggota skena dapat dengan mudah berbagi konten, berinteraksi, dan memperkuat rasa kebersamaan, bahkan melintasi batas geografis. Hal ini juga memungkinkan difusi budaya yang pesat, di mana elemen-elemen dari satu skena dapat memengaruhi atau berintegrasi dengan skena lain, menciptakan hibrida budaya yang semakin kaya dan kompleks.
Fenomena "skena" ini bukan hanya menarik untuk diamati, tetapi juga penting untuk dianalisis lebih lanjut. Mengapa anak muda cenderung membentuk kelompok-kelompok seperti ini? Apa yang mereka cari dalam "skena" ini? Bagaimana interaksi di dalamnya membentuk perilaku dan pandangan dunia mereka? Dan yang terpenting, bagaimana fenomena ini memengaruhi dinamika sosial yang lebih luas dalam masyarakat? Memahami "skena" berarti memahami sebagian dari cara generasi muda saat ini beradaptasi dengan, bereaksi terhadap, dan membentuk dunia di sekitar mereka.

Analisis Sosiologi

1. Pembentukan Identitas dan Komunitas
Identitas sosial dapat dikatakan merupakan aspek krusial dalam pembentukan "skena". Remaja dan pemuda seringkali berada dalam fase pencarian jati diri yang intens, yang di mana mereka mencoba dan berusaha memahami siapa diri mereka dan tempat mereka di dunia. Bergabung dengan “skena” tertentu menjadi salah satu cara paling efektif dan cara yang paling mudah ditemukan untuk mendefinisikan identitas tersebut. Melalui skena, individu atau seseorang tentu menemukan rasa”ini diriku” dan kepemilikan dan pengakuan dari kelompok sebaya yang memiliki minat, nilai, dan bahkan pandangan dunia yang serupa. Ini sangat relevan dengan teori interaksionisme simbolik dari George Herbert Mead dan Herbert Blumer, yang menyatakan bahwa identitas (diri) dibentuk melalui interaksi sosial dan interpretasi simbol-simbol yang dibagikan dalam kelompok. Dalam konteks "skena", pakaian, gaya rambut, bahasa gaul, jenis musik yang didengarkan, hingga perilaku dan ritual tertentu menjadi simbol-simbol yang merepresentasikan identitas kolektif skena tersebut. Individu mengadopsi simbol-simbol ini sebagai cara untuk mengomunikasikan afiliasi mereka dan memperkuat ikatan dengan sesama anggota. Misalnya, mengenakan band t-shirt tertentu atau menggunakan frasa khusus adalah cara untuk menyatakan "aku adalah bagian dari ini" dan "aku mengerti kamu."

2. Subkultur, Kontrakultur, dan Kapital Budaya
"Skena" dapat juga dipandang sebagai bentuk subkultur, yaitu kelompok dalam masyarakat yang memiliki norma, nilai, dan gaya hidup yang berbeda dari budaya dominan, namun masih berada dalam kerangka masyarakat yang lebih luas. Mereka memiliki ciri khas yang membedakan, tetapi tidak selalu menentang secara frontal. Namun, terkadang, beberapa skena juga dapat memiliki elemen kontrakultur, di mana mereka secara sadar menentang atau mengkritik norma-norma, nilai, atau institusi masyarakat umum. Contoh klasiknya adalah skena musik punk pada era sebelumnya yang secara eksplisit menolak kemapanan, konsumerisme, dan otoritas. Dalam konteks saat ini, "skena" modern mungkin tidak selalu bersifat kontradiktif secara terang-terangan terhadap sistem politik atau ekonomi, tetapi seringkali menawarkan alternatif gaya hidup, cara pandang, atau bahkan sistem nilai yang berbeda dari arus utama.
Selain itu, konsep kapital budaya dari Pierre Bourdieu sangat relevan. Setiap skena memiliki bentuk kapital budayanya sendiri — yaitu pengetahuan, keterampilan, selera, dan gaya hidup yang dihargai dalam kelompok tersebut. Untuk menjadi anggota yang "autentik" atau diakui dalam sebuah skena, individu seringkali harus mengakumulasi kapital budaya ini. Misalnya, untuk skena musik, mungkin ini berarti mengetahui sejarah band-band tertentu, memahami lirik-lirik yang kompleks, atau memiliki koleksi piringan hitam langka. Kapital budaya ini tidak hanya menjadi penanda keanggotaan, tetapi juga dapat menjadi alat untuk menaikkan status dalam hierarki internal skena tersebut, menciptakan stratifikasi kecil di dalam subkultur itu sendiri.

3. Konsumsi, Globalisasi, dan Jaringan Sosial
Fenomena "skena" juga tidak bisa dilepaskan dari peran konsumsi dan globalisasi. Pilihan gaya berpakaian, aksesori, jenis musik, atau produk tertentu seringkali menjadi penanda keanggotaan dan cara untuk menunjukkan identitas dalam sebuah skena. Industri fesyen, musik, hiburan, dan bahkan makanan/minuman secara aktif memanfaatkan fenomena ini, menciptakan produk yang menargetkan segmen skena tertentu. Mereka mengidentifikasi tren yang muncul dari skena dan mengkapitalisasinya, mengubah budaya subversif atau independen menjadi komoditas.
Globalisasi, terutama melalui internet dan media sosial, telah merevolusi cara skena terbentuk dan menyebar. Sebelumnya, skena cenderung bersifat lokal dan terbatas pada wilayah geografis tertentu. Kini, melalui platform digital, ide, tren, dan bahkan anggota skena dapat tersebar dari satu belahan dunia ke belahan dunia lain dengan sangat cepat. Ini memungkinkan terbentuknya jaringan komunitas yang lebih luas dan terfragmentasi, di mana anggota mungkin tidak pernah bertemu secara fisik tetapi berbagi identitas digital yang kuat. Akibatnya, skena-skena yang dulunya mungkin bersifat lokal kini dapat memiliki anggota atau pengaruh secara global, menciptakan jaringan komunitas yang lebih luas namun juga lebih heterogen dan terkadang kurang kohesif secara fisik.

4. Kapital Sosial dan Kontrol Sosial
Bergabung dalam sebuah skena juga dapat membangun kapital sosial. Anggota skena seringkali memiliki akses ke informasi, dukungan emosional, peluang, dan bahkan koneksi yang mungkin tidak tersedia di luar kelompok mereka. Jaringan sosial yang terbentuk dalam skena, baik secara langsung (melalui pertemuan fisik) maupun melalui platform digital (grup chat, forum online), menjadi sumber daya berharga bagi individu. Ini juga mencerminkan teori jaringan sosial, di mana hubungan antarindividu membentuk struktur yang memengaruhi perilaku, peluang, dan bahkan pandangan dunia.
Namun, di sisi lain, skena juga dapat menerapkan bentuk kontrol sosial terhadap anggotanya. Untuk menjaga kohesi dan identitas kelompok, skena seringkali memiliki norma-norma yang ketat mengenai apa yang dapat diterima dan tidak. Anggota mungkin merasa tertekan untuk mematuhi standar gaya, perilaku, atau opini tertentu agar tetap "dianggap" atau "diterima" dalam kelompok. Deviansi dari norma-norma ini dapat berujung pada pengucilan atau marginalisasi dalam skena, yang menunjukkan adanya mekanisme sanksi informal yang kuat dalam komunitas subkultur ini.
Refleksi Kependidikan Atas Masalah yang Terjadi

1. Pentingnya Pengembangan Identitas Diri yang Holistik
Pendidikan sebaiknya dan mungkin jika melihat situasi sekarang menjadi seharusnya yang dimana dapat memfasilitasi ruang yang lebih luas bagi peserta didik untuk mengembangkan identitas diri yang positif dan sehat, melampaui sekadar tuntutan dan obsesi akan prestasi akademik semata. Kurikulum dan kegiatan ekstrakurikuler harus dirancang secara inovatif untuk mendorong eksplorasi minat, memupuk kreativitas, dan mendukung pengembangan potensi unik setiap individu secara menyeluruh. Ini berarti tidak hanya fokus pada aspek kognitif, seperti daya ingat dan kemampuan analitis, tetapi juga mengintegrasikan dan menekankan pada pengembangan pada macam macam kecerdasan seperti  kecerdasan emosional (kemampuan mengelola emosi diri dan orang lain), kecerdasan sosial (kemampuan berinteraksi secara efektif dan membangun hubungan), dan bahkan kecerdasan spiritual (pencarian makna dan tujuan hidup).
Sekolah memiliki peran vital sebagai laboratorium sosial. Mereka dapat menyediakan platform yang aman dan mendukung bagi siswa untuk mengeksplorasi minat mereka. Misalnya, mendirikan klub musik dengan berbagai genre, komunitas seni yang mengakomodasi beragam ekspresi, atau kelompok diskusi yang mendukung berbagai "skena" secara inklusif. Pendekatan ini memungkinkan siswa untuk menemukan koneksi dengan orang-orang yang memiliki minat serupa, membangun rasa memiliki, dan merasa dihargai atas keunikan mereka. Dengan demikian, sekolah menjadi tempat di mana identitas dapat dicari dan dibentuk secara konstruktif dan positif, menawarkan alternatif yang sehat bagi pembentukan identitas yang mungkin hanya terjadi di luar tembok sekolah dan kurang terkontrol. Ini akan membantu siswa membangun fondasi diri yang kuat sebelum mereka terjun ke masyarakat yang lebih luas.

2. Literasi Media, Pemahaman Subkultur, dan Kritisasi Informasi
Mengingat peran besar media sosial yang tak terbantahkan dalam penyebaran "skena" dan pembentukan opini di kalangan pemuda, pendidikan harus membekali peserta didik dengan literasi media yang kuat dan komprehensif. Mereka perlu diajarkan cara kritis menganalisis banjir informasi yang mereka temui daring setiap hari—mulai dari konten viral, narasi di balik tren, hingga iklan terselubung. Penting bagi mereka untuk mengenali potensi manipulasi informasi, membedakan antara fakta dan opini, serta menilai validitas dan kredibilitas sumber informasi. Ini melibatkan kemampuan untuk tidak hanya mengonsumsi informasi, tetapi juga mempertanyakan, memverifikasi, dan bahkan menghasilkan informasi secara bertanggung jawab.
Selain itu, pemahaman mendalam tentang dinamika subkultur dan "skena" dapat sangat membantu guru dan orang tua untuk lebih memahami motivasi, nilai-nilai yang dianut, dan tantangan yang dihadapi oleh pemuda. Ketika pendidik memahami mengapa anak-anak tertarik pada skena tertentu, mereka dapat berkomunikasi lebih efektif dan memberikan bimbingan yang relevan. Lebih jauh lagi, literasi media juga berarti mengajarkan siswa untuk bersikap kritis terhadap konsumerisme yang seringkali menyertai fenomena "skena." Banyak skena yang mendorong konsumsi produk-produk tertentu—pakaian, aksesoris, musik, atau gawai. Pendidikan harus mendorong siswa untuk mempertanyakan motif di balik iklan dan tren, sehingga mereka tidak hanya menjadi konsumen pasif dari tren yang ada, melainkan konsumen yang cerdas dan bertanggung jawab.

3. Inklusi, Toleransi, dan Mengelola Eksklusivitas
Meskipun "skena" dapat memberikan rasa memiliki yang kuat dan vital bagi anggotanya, ada potensi besar munculnya eksklusivitas dan batasan yang kaku antar kelompok, bahkan bisa berujung pada diskriminasi atau bullying terhadap mereka yang "berbeda" atau tidak termasuk dalam skena tertentu. Pendidikan harus secara aktif dan konsisten menekankan nilai-nilai inklusi, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan, baik dalam identitas individu maupun kelompok. Sekolah memiliki kesempatan unik untuk menjadi ruang di mana berbagai skena atau minat dapat berinteraksi secara positif. Ini bisa dilakukan melalui proyek kolaboratif lintas skena, acara lintas komunitas yang mempertemukan berbagai kelompok, atau sesi diskusi dan dialog yang mempromosikan pemahaman bersama dan empati.
Tujuan utamanya adalah mengurangi stigma dan stereotip yang mungkin muncul antar skena, memecah sekat-sekat sosial yang terbentuk di antara mereka, dan memperkuat rasa kebersamaan dalam masyarakat sekolah yang lebih luas. Dengan demikian, siswa tidak hanya belajar menerima perbedaan, tetapi juga merayakan pluralitas dan melihatnya sebagai kekuatan. Ini akan membantu mereka mengembangkan keterampilan sosial yang diperlukan untuk hidup harmonis dalam masyarakat multikultural yang sesungguhnya.

4. Pengembangan Keterampilan Sosial, Komunikasi, dan Kewirausahaan Sosial
Keikutsertaan dalam "skena" secara tidak langsung sering mengasah berbagai keterampilan sosial, komunikasi, dan bahkan kepemimpinan yang esensial. Dalam komunitas skena, individu belajar bernegosiasi, berkolaborasi, menyelesaikan konflik, dan memimpin inisiatif kecil. Pendidikan dapat secara strategis mengadaptasi aspek-aspek positif ini dengan menciptakan lingkungan belajar yang mendorong kolaborasi, diskusi, debat konstruktif, dan ekspresi diri yang otentik. Kegiatan berbasis proyek, kerja kelompok, simulasi, atau bahkan role-playing dapat melatih siswa untuk berinteraksi secara efektif, bernegosiasi kepentingan, dan memimpin dalam berbagai konteks sosial, baik di dalam kelas maupun di luar.
Lebih dari itu, sekolah memiliki potensi besar untuk mendorong pengembangan "skena" atau komunitas siswa yang tidak hanya berorientasi pada hiburan atau konsumsi, tetapi juga pada kewirausahaan sosial atau kegiatan positif lainnya yang memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Misalnya, skena fotografi bisa diarahkan untuk membuat dokumentasi isu-isu sosial lokal; skena musik bisa mengorganisir konser amal; atau skena gaming bisa diarahkan pada pengembangan game edukasi. Ini adalah cara yang cerdas untuk mengarahkan energi, kreativitas, dan ikatan kolektif yang kuat dalam skena ke arah yang lebih produktif, bermakna, dan memberikan kontribusi nyata bagi komunitas yang lebih besar, mengubah hobi menjadi agen perubahan.
Penutup
Fenomena "skena" adalah manifestasi dinamis dari kebutuhan dasar manusia akan identitas, afiliasi, dan ekspresi diri, terutama di kalangan pemuda yang sedang dalam tahap krusial pencarian jati diri. Dari perspektif sosiologi, fenomena ini tidak hanya mengungkapkan proses pembentukan identitas melalui interaksi simbolik, dinamika subkultur dan kontrakultur, serta peran kapital budaya, tetapi juga menyoroti dampak globalisasi dan konsumsi terhadap kehidupan sosial mereka. Media sosial telah menjadi katalis utama, mempercepat penyebaran dan fragmentasi skena, sekaligus memfasilitasi pembentukan jaringan sosial yang melampaui batas geografis.
Bagi dunia pendidikan, "skena" menjadi pengingat penting akan perlunya pendekatan yang lebih holistik dan adaptif. Pendidikan tidak bisa lagi hanya berfokus pada aspek akademik semata, melainkan juga harus berinvestasi dalam pengembangan karakter, literasi media yang kritis, dan pembentukan warga negara yang adaptif serta kritis dalam menghadapi kompleksitas dunia modern. Ini berarti menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, menghargai keberagaman minat, dan membekali siswa dengan keterampilan sosial untuk berinteraksi lintas kelompok. Memahami "skena" bukanlah berarti serta merta mengadopsi atau menolaknya, melainkan upaya untuk memahami lanskap sosial pemuda yang terus berkembang. Dengan pemahaman ini, kita, sebagai pendidik dan masyarakat, dapat mendampingi mereka dalam menemukan tempat dan potensi terbaiknya, mengarahkan energi kolektif mereka menjadi kekuatan positif yang membangun peradaban dan bukan sekadar mengikuti tren sesaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun