Sudah hampir dua bulan ini, rekan-rekan guru honorer di tempat saya mengajar dulu resah dan menumpahkan kekesalannya lewat Grup WA.
Penyebabnya, sejak Bulan Desember 2018 kemarin, gaji yang seharusnya mereka terima tidak dibayarkan oleh pihak sekolah. Pihak sekolah, dalam hal ini sang Kepala Sekolah, beralasan bahwa dana BOS yang digunakan untuk menggaji mereka belum juga turun dan kondisi keuangan sekolah dalam keadaan yang kurang baik.
Masalah semakin runyam ketika beberapa rekan guru mempertanyakan apa yang menjadi hak mereka kepada sang Kepala Sekolah. Bukannya mendapat jawaban yang baik, namun pil pahit harus mereka telan.
Menurut beberapa rekan guru, ternyata gaji bulan Desember 2018 tidak akan dibayarkan dengan alasan perhitungan gaji hanya memuat 11 bulan sesuai dengan RKA (Rencana Kerja Anggaran).
Di balik carut marut yang terjadi di sekolah saya dulu yang hingga kini masih belum terselesaikan, ada beberapa hal yang menjadikan gaji guru honorer tidak bisa dibayarkan. Masalah ini bermuara kembali kepada pencairan dana BOS yang sering kali terlambat seperti yang pernah saya tulis di sini.
Pencairan dana BOS dilakukan setiap tiga bulan sekali (triwulan). Biasanya, pada pergantian tahun, atau pada triwulan pertama, dana BOS yang cair mengalami keterlambatan cukup lama. Dana BOS yang seharusnya turun pada bulan Januari biasanya baru turun pada pertengahan Februari.
Keterlambatan ini selain disebabkan terjadi penutupan buku, juga disebabkan sinkronisasi Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang masih berlangsung. Dapodik merupakan patokan dari besarnya Dana BOS yang diterima oleh sekolah. Jumlah siswa di dalam sebuah sekolah akan menentukan besarnya Dana BOS sekolah tersebut.Â
Pergantian tahun merupakan masa cut off yang memakan waktu cukup lama. Seringkali, pada waktu ini terjadi mutasi siswa antar sekolah yang cukup banyak dibandingkan dengan triwulan lainnya.
Selama menunggu Dana BOS cair, sekolah juga mulai melakukan kegiatannya. Aneka kebutuhan sekolah tentu memerlukan banyak biaya, baik dari kegiatan pembelajaran, kegiatan ekskul, dan tentunya membayar gaji guru honorer. Nah, jika Dana BOS belum turun selama hampir satu setengah bulan, lantas bagaimana sebuah sekolah bisa melaksanakan kegiatannya?
Jawaban pun cukup beragam. Ada dan tidaknya uang operasional yang dimiliki sekolah selama masa "paceklik" ini tergantung dari kebijakan sekolah masing-masing, terutama Kepala Sekolah dan Bendahara. Bagaimana mereka mampu bertahan dan kreatif dalam menghadapi masa sulit ini juga merupakan poin penting.
Ketika saya masih bertugas dulu, ada salah seorang guru PNS yang dengan rela hati meminjamkan uang kepada sekolah untuk menutup biaya operasional sekolah selama Dana BOS belum cair. Pada waktu mendekati gajian, guru tersebut akan berembug dengan para pemangku kepentingan, baik KS, komite, dan pekerja laporan BOS untuk mencatat besarnya uang yang akan ia pinjamkan.
Sebagai pekerja laporan BOS, kami pun menghitung besarnya sisa uang pada akhir tahun tersebut serta memprediksi pengeluaran apa saja yang harus dikeluarkan oleh sekolah.
Dengan kalkulasi yang matang dan pencatatan yang rinci, besarnya kekurangan dana yang harus dikeluarkan oleh sekolah pun bisa diketahui. Sang guru tersebut akan memberi pinjaman dana sesuai jumlah yang disepakati.
Kami juga akan memperkirakan kira-kira kapan Dana BOS bisa cair untuk mengganti uang sang guru tersebut. Bagaimanapun juga, uang tersebut adalah uang pribadi dari sang guru yang tentu memiliki kebutuhan.
Beberapa sekolah lain juga melakukan hal serupa. Rata-rata, keadaan keuangan sekolah yang berdarah-darah juga dialami. Selain Guru PNS, kepala sekolah dan komite sekolah biasanya juga menjadi penolong sementara kala kondisi sulit ini terjadi. Kondisi yang menjerat sekolah tiap tahun. Yang penting, sekolah tetap berjalan dengan baik, guru dan tenaga kependidikan bisa bekerja dengan tenang, dan masalah keuangan bisa terselesaikan untuk sementara waktu.
Untuk meminimalisasi hal ini, sekolah sebenarnya harus benar-benar menyusun dan mengaplikasikan Rencana Kerja Anggaran (RKA). Program yang berisi segala rencana dan kegiatan sekolah selama satu tahun beserta biaya yang dibutuhkan ini sebenarnya harus dijadikan panduan. Tak boleh ada kegiatan sekolah yang melenceng jauh dari RKA.
Di dalam RKA pun juga termuat gaji guru honorer dan guru ekskul yang harus dibayarkan. Sebagai pengeluaran rutin, gaji guru honorer merupakan salah satu pos pengeluaran yang tidak boleh diutak-atik. Kalaupun ada pengeluaran lain yang bisa ditahan, itu harus dilakukan oleh sekolah. Intinya, sekolah harus benar-benar siap memiliki dana untuk menggaji guru honorer apapun yang terjadi. Termasuk, saat sekolah mengalami masa-masa "paceklik".
Kondisi di lapangan yang sering terjadi adalah sekolah melakukan pengeluaran di luar RKA pada pertengahan tahun. Malah, pada beberapa sekolah yang tidak transparan, pengeluaran tersebut tidak dimusyawarahkan. Mereka tidak memprediksi jika akan kekurangan dana pada akhir tahun dan akhirnya bingung ketika gaji guru honorer harus dibayarkan.
Akibatnya, kondisi psikologis guru honorer pun bisa terganggu. Bayangkan, tidak menerima gaji selama beberapa bulan pasti akan sangat berdampak. Sudah gaji kecil, terlambat pula. Apalagi, jika gaji pada bulan Desember tidak dibayar. Lengkap sudah penderitaan yang didapat.
Tidak dibayarkan gaji pada bulan Desember memang cukup menimbulkan tanda tanya. Memang pada RKA, tertulis pemberian gaji guru honorer hanya 11 bulan. Namun, besarnya total gaji itu akan sama dengan gaji yang harus diterima selama 12 bulan. Pencatatan 11 bulan hanyalah sebagai administrasi. Misalnya, jika seorang guru honorer mendapat gaji sebesar 550.000 selama 12 bulan, maka dalam RKA akan dicatat sebesar 600.000 untuk 11 bulan. Kalau seorang guru mendapat gaji hanya 550.000 per bulan dan pada bulan keduabelas gaji itu tidak didapatkan, maka tentu hal itu harus dipertanyakan.

Penugasan ini berupa surat keputusan Kepala Sekolah yang berlaku pada satu awal tahun pelajaran penuh dari bulan Juli hingga bulan Juni. Berarti, mencakup pula bulan Desember di dalamnya dengan tidak memerhatikan besarnya jumlah hari efektif sekolah. Artinya, walau bulan Desember guru honorer tidak mengajar penuh karena siswa-siswi libur selama dua pekan, yang jelas gaji mereka harus tetap dibayar.
Mereka juga menilai hasil Penilaian Akhir Semester siswa. Mereka juga melembur untuk mengerjakan dan mencetak dokumen hasil belajar siswa. Mereka pun juga masih ikut rapat dan KKG meski siswa-siswinya libur. Apa usaha dan kerja keras ini tidak dibayar hanya karena bulan Desember mereka tak mengajar kurang dari setengah bulan?
Carut marut ini tentu pula menimbulkan konflik dalam sebuah sekolah. Apalagi, jika Kepala Sekolah tak mampu menyelesaikan dengan baik.
Sebagai tambahan informasi, dari tahun 2017 hingga 2019, besarnya dana BOS yang diterima sekolah juga tidak berubah. Tiap siswa menerima sebesar 800.000 rupiah per tahun. Tentu, gaji yang diterima guru honorer pun juga tidak berubah. Padahal, dari data Bank Indonesia, selama 2017 hingga awal 2019, inflasi juga terus terjadi dengan kisaran 3 persen tiap bulannya. Sungguh, adanya inflasi juga menjadi hal yang menjadi beban pula bagi guru honorer yang bergaji kecil.
Sekian, mohon maaf jika ada kesalahan. Tulisan ini saya tutup dari pertanyaan kapan pendidikan di negeri ini bisa maju jika masalah seperti ini tidak juga bisa diselesaikan. Entah kapan.
Sumber:
Salinan Permendikbud RI No. 3 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI