Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Tak Sekedar Transit di Wonokromo

6 Desember 2018   08:52 Diperbarui: 6 Desember 2018   23:49 1383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stasiun Wonokromo. - Dokpri

Dengan bujet minim, menaiki KA Logawa adalah cara paling masuk akal untuk tetap waras dalam melakukan perjalanan Malang-Yogyakarta PP.

Sebenarnya, ada KA Malioboro Ekspress yang melayani perjalanan langsung dari Malang menuju Yogyakarta dan sebaliknya. KA ini pun juga berangkat dua kali sehari. Sayang, harga tiket yang tak ramah di kantong membuat saya jarang sekali menggunakannya. Harga termurah untuk kelas ekonomi Non-PSO paling tidak 150 ribu rupiah. Kalau apes, ya bisa mencapai 175 ribu rupiah.

Jangan tanyakan berapa harga kelas ekskekutif. Kantong saya sudah tak berkenan lagi menjawab pertanyaan itu. Maka, KA Logawa adalah pilihan utama saya jika akan pulang ke Malang atau berangkat kembali ke Yogyakarta. Harga tiketnya cuma 70 ribu rupiah. Dengan harga tiket itu, saya bisa berhemat banyak walaupun harus menambah ekstra 12 ribu untuk membeli tiket KA Penataran tujuan Malang.

Untuk naik KA Logawa, saya harus transit dahulu di stasiun yang disinggahinya. Ada  empat stasiun besar yang disinggahi kereta api ini, yakni Surabaya Gubeng, Wonokromo, Sidoarjo, dan Bangil. Diantara keempat stasiun itu, Stasiun Wonokromo adalah pilihan saya sejak dahulu kala. Alasan utamanya, jadwal berangkat dari dan menuju Yogyakarta di stasiun ini paling pas jika menyambung dengan KA Penataran. 

Dari Malang, saya bisa naik KA Penataran pagi dan tiba di stasiun ini sekitar pukul setengah 10 siang. KA Logawa baru akan tiba pukul 11 siang. Dari Yogyakarta, KA Logawa sampai di Wonokromo sekitar pukul 3 sore. Perjalanan saya berlanjut dengan KA Penataran sore yang berangkat pukul setengah 6 petang.

Waktu cukup panjang tersebut saya gunakan untuk melipir ke Darmo Trade Center (DTC) yang berada tepat di seberang stasiun ini. Sekedar cuci mata, makan, berbelanja produk kosmetik yang murah, hingga pijat refleksi sering saya lakukan untuk membunuh waktu. Biasanya, saking bahagianya menunggu waktu transit, tiba-tiba saja jadwal kedatangan kereta sudah di depan mata.

Pijat refleksi di DTC Wonokromo. Dokpri
Pijat refleksi di DTC Wonokromo. Dokpri
Stasiun ini termasuk stasiun kelas besar dan bukan merupakan stasiun terminus satu pun rangkaian kereta. Walau begitu, lebih banyak penumpang yang memilih turun di stasiun ini jika menuju Surabaya.

Selain dekat dengan pusat perbelanjaan DTC, pintu masuk dan keluar stasiun ini juga cukup simpel, tak seambigu Stasiun Surabaya Gubeng. Aneka transportasi umum pun bisa dijangkau tepat di depan stasiun. Letak stasiun juga dekat dengan pusat ekonomi Surabaya, yakni Jalan Raya Darmo. 

Penglaju Malang-Surabaya yang menggunakan KA Penataran ataupun Tumapel juga kebanyakan turun di stasiun ini. Demikian pula penglaju dari kota lain seperti Sidoarjo, Lamongan, dan Bojonegoro yang naik KRD Bojonegoro atau KRD Supor/Delta Ekspres. Kadang, rombongan TK dari Malang menyewa satu kereta dan turun di sini sebelum menuju Kebun Binatang Surabaya (KBS).

Kalau sedang apes ya dapat tiket berdiri KA Penataran. Lumayan, dua jam setengah. Dokpri
Kalau sedang apes ya dapat tiket berdiri KA Penataran. Lumayan, dua jam setengah. Dokpri
Stasiun ini juga memiliki peron yang cukup panjang. Dan, tak banyak tenant penjual makanan, minuman, atau oleh-oleh di dalamnya. Jadi, kursi penumpang untuk menunggu kereta cukup banyak.

Penumpang kereta, yang rata-rata berasal dari kalangan menengah ke bawah di stasiun ini saya rasakan berbeda dengan stasiun lain. Mereka lebih peka untuk berbagi tempat duduk dengan penumpang lain yang belum kebagian.

Walau jika pada saat-saat kritis penumpang begitu menyesaki peron, namun jarang sekali ada yang tak kebagian tempat duduk. Semuanya masih begitu menikmati waktu menunggu kereta sambil ditemani suguhan hiburan istimewa.

Hiburan itu berupa suara emas penyanyi wanita yang bernyanyi diiringi organ tunggal (ortung). Wanita yang memiliki disablitas ini begitu lihai dalam menyanyikan aneka lagu. Mulai pop, keroncong, dangdut, hingga lagu barat. Ia selalu menyela lagunya dengan ucapan terima kasih saat uang dari penumpang masuk ke kotak kecil yang diletakkan di dekat pintu keberangkatan kereta.

Walau ia tak bisa melihatnya, ia bisa merasakan dengan jelas uluran tangan-tangan yang membantunya. Dan, alunan suara yang lebih indah pun akan terus terdengar hingga pengumuman terdengar. Hampir semua penumpang sangat menikmati alunan suaranya.

Apalagi, jika menunggu kereta di sore hari, suara itu benar-benar masuk ke sanubari. Lagu-lagu nostalgia semacam Bukit Berbunga, Kereta Senja, ataupun Setangkai Anggrek Bulan beradu dengan desiran genta kereta yang bersahutan. Sesekali, penumpang mengabdikan momen penyanyi tersebut kala ia melantunkan sebuah lagu.

Penyanyi dan ortung di Stasiun Wonokromo. - Dokpri
Penyanyi dan ortung di Stasiun Wonokromo. - Dokpri
Kadang, rasanya berat sekali meninggalkan stasiun ini. Waktu pulang ke Malang adalah waktu yang saya rindukan untuk sejenak menikmati Stasiun Wonokromo di kala senja. Sayang, saat saya turun dan naik dari stasiun ini saya lihat ada pembangunan cukup masif di sisi selatan. Saya rasa, aneka tenant akan juga masuk di sini. Sama halnya dengan stasiun besar lain yang kini seakan kehilangan sisi humanisnya.

Stasiun Wonokromo yang bersahaja sampai kapan pun akan selalu diingat oleh para penumpangnya. Salah satunya, satunya sebuah keluarga yang akan ke Jakarta menggunakan KA Gaya Baru Malam Selatan (GBMS). Mereka benar-benar menikmati waktu tunggu di stasiun ini. Kami sempat mengobrol banyak. Bagi sang ayah, Stasiun Wonokromo masih menjadi andalan untuk naik kereta murah seperti GBMS.

Memang sesuai Gapeka, stasiun ini hanya melayani KA ekonomi PSO yang dianggap KA dengan kasta rendah dan selalu mengalah. Walau begitu, cerita perjalanan ketika naik atau turun di stasiun ini tentu lebih bermakna. Kalau bagi saya, kisah gerbong maut yang berakhir di stasiun ini kala perang revolusi masihlah tergambar jelas. Semangat untuk berjuang di tengah keterbatasan adalah kunci. 

Tetaplah bersahaja Stasiun Wonokromo.

***

Tulisan ini adalah bagian dari proyek buku solo yang sedang saya kerjakan untuk mengumpulkan tulisan-tulisan di blog mengenai perjalanan Kereat Api. Mohon maaf tidak bisa berkontribusi banyak untuk Kompasiana dalam 1 hingga 2 bulan ke depan. 

Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun