Landry mengaku, dalam upaya pengendalian HIV, temuan kasus HIV di kalangan pria gay tersebut menjadi tantangan besar. Hal ini karena, menurutnya, banyak pria gay di Jabar juga memiliki pasangan lawan jenis. Sampai di sini tampak jelas pentingnya pemberlakukan sanksi hukum yang tegas dan berat bagi pelaku homoseksual. Penyakit kelamin yang diderita pria gay berpotensi besar menularkan kepada orang yang tak berdosa, yaitu sang istri. Ketiadaan sanksi hukum yang memiliki efek jera menjadi salah satu penyebab makin menggilanya perilaku penyimpangan seksual.
Baca juga https://www.kompasiana.com/ikhty85/68660ca534777c6c907e83d3/waspada-predator-inses-masih-mengintai
Di Indonesia, sanksi bagi pelaku homoseksual ditemukan dalam Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal tersebut berbunyi, 'Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Pasal tersebut hanya melarang homoseksual yang dilakukan orang dewasa terhadap orang yang belum dewasa. Artinya, jika dua orang sama-sama belum dewasa atau sama-sama sudah dewasa melakukan perbuatan cabul sesama jenis, tidak dijerat hukum.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP (baru) juga mengatur tentang homoseksual. UU ini berlaku 3 tahun sejak diundangkan, yaitu tahun 2026. Pada Pasal 414 ayat (1) UU 1/2023 menyebutkan, 'Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sesama jenis kelaminnya:
- di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta;
- secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dipidana dengan pidana paling lama 9 tahun; atau
- yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi, dipidana dengan penjara paling lama 9 tahun.
Melalui Pasal 414 ayat (1) KUHP baru, sanksi pidana bagi homoseksual hanya berlaku jika terjadi perbuatan cabul yang dilakukan di depan umum, dilakukan secara paksa dengan tindak kekerasan/ancaman atau dipublikasi sebagai muatan pornografi. Jadi, jika ada homoseksual melakukan tindakan cabul yang tidak mengganggu ketertiban umum, dilakukan atas dasar suka sama suka, dan tidak dipublikasikan, maka tidak bisa dipidana. Hal menarik yang perlu dikulik adalah sifat 'penyuka sesama jenis' dan perilaku homoseksual itu sendiri tidak dipidana.
Ketiadaan hukum bagi perilaku seks menyimpang seperti LGBT bukan tanpa dasar. Sistem demokrasi memberi kebebasan (HAM) bagi kaum pelangi tersebut menyalurkan orientasi seksualnya dengan batasan 'tidak merugikan orang lain'. Frasa 'tidak merugikan orang lain' menjadi bias ketika publik sebenarnya sudah sangat resah akan eksistensi kaum pelangi ini. LGBT tak hanya berpotensi menularkan penyakit kelamin, tetapi juga 'perilakunya'. Manusia normal mana pun jika sering berkomunikasi dan berinteraksi dengan kaum pelangi, maka berpotensi menjadi LGBT juga.
Stop Normalisasi!
Sebagian masyarakat mungkin belum sadar bahwa sikap menormalisasi perilaku penyimpangan seksual turut menjadi faktor pendukung merebaknya LGBT. Terbaru, heboh berita fashion show belasan waria di sebuah pesta pernikahan di Maros, Sulawesi Selatan pada Rabu (2/7/2025). Haji Nurbagang, pemilik hajatan mengklarifikasi bahwa aksi fashion show terjadi secara spontan yang dilakukan oleh tamu undangan. Ia menambahkan, kado yang diberikan bukanlah hadiah lomba melainkan cendera mata sebagai nostalgia antar teman seprofesi (tribunnews.com, 7/7/2025).
Nama Haji Nurbagang memang tak asing di Maros. Pemilik salon dan perias pengantin tersebut memiliki banyak teman seprofesi waria. Namun, andai benar bahwa fashion show tersebut spontanitas, seharusnya bisa dihentikan karena melanggar etika. Sayangnya, para waria justru diberi keleluasaan berlenggak lenggok dengan pakaian mencolok dengan iringan musik. Tamu undangan lain pun tampak antusias mengabadikan momen tersebut dan menganggap sebagai hiburan semata. Masyarakat kerap khilaf, sikap normalisasi menjadikan LGBT makin berani menunjukkan eksistensi diri.
Sudah seharusnya, masyarakat menegur warga yang berperilaku menyimpang. Di antara mereka merupakan korban dari kejahatan seksual, pola asuh yang salah serta rusaknya tatanan sistem pergaulan. Kecaman masyarakat yang kerap dituding sebagai bentuk diskriminasi sebenarnya berfungsi sebagai sanksi sosial agar kaum pelangi tersadarkan. Terlepas dari hal tersebut, pemerintah wajib mengedukasi kaum LGBT melalui bimbingan konseling dan penguatan spiritual. Setelah itu, pemerintah menindak tegas LGBT yang bertahan dalam kekejiannya agar tidak 'menular'.
Seperti lumrahnya sebuah komunitas, kaum pelangi juga melakukan rekrutmen anggota baru. Di saat jumlah anggota makin banyak, posisi mereka menjadi lebih kuat. Kelak, tak menutup kemungkinan di antara kaum pelangi memiliki koneksi terhadap kekuasaan. Bahkan, bukan mustakhil bahwa pelaku LGBT bisa menduduki tampuk kekuasaan seperti halnya di Barat. Jika sudah dalam kondisi demikian, mereka memiliki wewenang dalam membuat regulasi. Bagaimanapun juga, kepastian hukum diperlukan untuk melindungi eksistensi mereka tanpa gangguan dari masyarakat yang kontra.