Mohon tunggu...
Ikhsan Margo
Ikhsan Margo Mohon Tunggu... Praktisi Statistik - Pengamat sosial

Pegawai Negeri Sipil di Badan Pusat Statistik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Paradoks Pengangguran dan Kemiskinan: Perspektif yang Jarang disadari

10 September 2025   11:51 Diperbarui: 10 September 2025   14:51 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Ikhsan Margo

"Orang berani menganggur karena tidak miskin". 

Seringkali, kita berpikir bahwa ketika seseorang sulit untuk mendapatkan pekerjaan maka orang tersebut akan mengalami kesulitan dalam keuangan dan masuk ke dalam jurang kemiskinan. Hal ini tidak sepenuhnya salah karena secara teori, ketika seseorang tidak bekerja, maka dia tidak memiliki pendapatan tetap yang kemudian membatasi akses terhadap pemenuhan kebutuhan dasar. Alhasil, Ini adalah jalur utama bagaimana pengangguran dapat mendorong kemiskinan. Bahkan, pengangguran dan kemiskinan dapat membentuk suatu mata rantai lingkaran setan kemiskinan.

Namun demikian, dewasa ini terdapat fenomena sebagian angkatan kerja yang "berani" menganggur dengan berbagai alasan. Saya tidak sedang membahas tentang alasan tersebut, namun sepertinya ada satu aspek yang sepertinya luput dari pengamatan yakni status tidak miskin. Seringkali, usaha dalam mengurangi pengangguran hanya dilakukan secara linier dengan pendekatan yang normatif-normatif saja.

Padahal, pendekatan kebijakan terkait pengangguran harus juga mempertimbangkan faktor sosial seperti status kemiskinan. Orang miskin akan cenderung melakukan pekerjaan apa saja, disektor informal, yang penting bisa makan sehari-hari meskipun belum mencukupi kebutuhan dasar. Berbeda halnya dengan orang tidak miskin yang mungkin akan lebih "kuat" dalam menunggu pekerjaan yang diinginkan karena masih punya akses yang cukup untuk kebutuhan dasarnya.

Dalam dinamika pembangunan terkadang terdapat diskursus tentang isu kemiskinan dan pengangguran. Salah satu yang menjadi perhatian adalah bagaimana mengaitkan tingkat pengangguran dengan kesejahteraan? Banyak kalangan kerap terburu-buru mengatakan bahwa, bagaimana mungkin suatu daerah memiliki angka pengangguran tinggi tapi disisi lain memiliki angka kemiskinan yang relatif rendah? Hubungan antara indikator pengangguran dan kemiskinan terkadang tidak selalu sejalan meskipun secara teori ketika pengangguran rendah, maka kemiskinan juga akan rendah.

Saya coba untuk mengeksplorasi data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional di wilayah Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Daerah ini dikenal sebagai wilayah industri pengolahan dengan "share" sektor industri pengolahan terhadap PDRB tercatat sebesar 46,69 persen pada tahun 2024. Isu pembangunan di Kabupaten Serang sering kali hanya dikaitkan dengan tingginya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT).

Hal ini cukup beralasan mengingat setidaknya dalam lima tahun terakhir, TPT di Kabupaten Serang selalu menempati posisi tertinggi di Provinsi Banten. Pada Agustus 2024, TPT Kabupaten Serang tercatat sebesar 9,18 persen yang merupakan daerah dengan angka tertinggi di Provinsi Banten sedangkan daerah dengan angka TPT terendah adalah Kota Tangerang Selatan yang tercatat sebesar 5,09 persen pada periode yang sama. Banyak kalangan yang menganggap fenomena pengangguran yang tinggi tersebut sebagai sebuah "paradoks", mengingat Kabupaten Serang dikenal sebagai daerah industri pengolahan.

Selain isu pengangguran, Kabupaten Serang juga tidak terlepas dari masalah kemiskinan. Meskipun angka kemiskinan Kabupaten Serang menempati posisi yang relatif rendah di lingkup provinsi Provinsi Banten, namun sejatinya indikator kemiskinan saat ini belum mencapai level yang lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi Covid-19. Pada Maret 2024, persentase penduduk miskin Kabupaten Serang tercatat sebesar 4,51 persen sedangkan persentase penduduk miskin pada Maret 2019 sebelum adanya covid-19 tercatat sebesar 4,08 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa isu masalah kemiskinan juga tidak bisa dikesampingkan dalam agenda pembangunan di Kabupaten Serang. Beberapa temuan saya dapatkan dari hasil pengolahan data Susenas Maret 2024, yang dijabarkan pada poin-poin berikut.

Hampir 10 dari 10 pengangguran bukan orang miskin

Saya mendapatkan hasil bahwa sebesar 95,4 persen dari total pengangguran adalah orang tidak miskin. Atau bisa dikatakan, sebagian besar pengangguran adalah orang berada. Jousairi (2013) menyatakan bahwa menganggur berarti berada, atau menganggur berarti bukan orang miskin. Jika melihat fenomena yang ada, keluarga yang miskin tentunya akan melakukan pekerjaan apapun untuk mencukup kebutuhan hidupnya meskipun dalam kondisi kekurangan. Golongan tersebut biasa disebut sebagai pekerja miskin atau working poor.

Berdasarkan data BPS, sebesar 55,74 persen pekerja di Kabupaten Serang merupakan pekerja informal. Lebih jauh lagi, berdasarkan hasil pengolahan diperoleh informasi bahwa persentase pekerja miskin yang berstatus informal 61,84 persen. Kedua informasi tersebut memberikan indikasi bahwa penduduk miskin sebagian besar akan mengandalkan pekerjaan apapun untuk mencukupi kebutuhan hidup dasar meskipun berstatus informal.

Selanjutnya, dari hasil pengolahan data diperoleh informasi bahwa sebesar 63,01 persen pengangguran adalah berstatus anak/cucu. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa sebagian besar pengangguran mungkin didominasi oleh angkatan kerja yang "berani" menganggur karena belum memiliki tanggungan keluarga, serta bukan dari kelompok miskin. Aliran distribusi pendapatan di dalam rumah tangga dapat menjadi faktor penopang ekonomi sehingga meskipun angkatan kerja menganggur namun masih memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

"Miskin" dan "Menganggur" didominasi oleh anak muda berpendidikan rendah

Satu hal yang menarik adalah, terdapat kelompok yang sangat perlu diperhatikan. Kelompok tersebut sejatinya merupakan kelompok yang harus menjadi prioritas penerima manfaat kebijakan pemerintah. Mengapa demikian? Dari hasil sebelumnya telah diperoleh informasi bahwa sebagian besar pengangguran merupakan kelompok tidak miskin, lantas ketika terdapat kelompok yang miskin dan menganggur artinya kelompok tersebut adalah kelompok yang paling tertinggal karena tidak hanya miskin namun juga tidak terserap ke pasar tenaga kerja.

Berdasarkan pengolahan data hasil Susenas, diperoleh informasi bahwa distribusi pengangguran yang berstatus miskin didominasi oleh Angkatan kerja yang berstatus anak dalam rumah tangga, berusia muda (di bawah 30 tahun), serta didominasi oleh Angkatan kerja tamatan SD atau sederajat. Hasil tersebut cukup menarik, mengingat pada pembahasan sebelumnya diperoleh indikasi bahwa kelompok penduduk miskin akan cenderung melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lantas, mengapa kelompok miskin yang menganggur justru merupakan anak muda yang berpendidikan rendah ?

Kondisi tersebut dapat memberikan sinyal yang harus diperhatikan untuk menghindari adanya lingkaran setan kemiskinan yang dapat menyebabkan kemiskinan antar generasi. Anak yang berada dalam rumah tangga miskin memiliki keterbatasan dalam akses pendidikan yang selanjutnya dapat mempengaruhi peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di masa depan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil olah data bahwa kelompok yang miskin dan menganggur didominasi oleh anak muda berpendidikan rendah. Selain akses pendidikan, kelompok miskin juga dikhawatirkan memiliki keterbatasan terhadap akses kesehatan yang berpengaruh terhadap kualitas modal manusia pada jangka panjang.

Fenomena angka pengangguran yang didominasi oleh lulusan SMA/SMK tidak terlihat pada kelompok Masyarakat miskin maupun rentan miskin. Artinya, secara umum pemerintah jangan hanya berfokus pada fenomena mismatch lulusan SMA/SMK dengan dunia kerja karena mereka Sebagian besar tidak berada pada keluarga miskin. Investasi modal manusia harus menjadi prioritas yakni dengan meningkatkan taraf pendidikan anak usia muda. Pendidikan akan berpengaruh secara jangka panjang untuk menghindari dari jurang kemiskinan.

Akhirnya, pengangguran memang tidak selalu terkait erat dengan kemiskinan karena hubungan keduanya sangat kompleks. Namun, tingginya pengangguran merupakan sinyal bahwa banyak potensi ekonomi yang belum diberdayakan dan dapat mengancam kemajuan ekonomi di masa mendatang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun