Ada satu gambar yang sulit hilang dari kepala banyak orang Indonesia saat ini: tubuh muda Affan Kurniawan, 21 tahun, driver ojek online yang tewas mengenaskan dilindas mobil taktis Brimob saat demonstrasi di Pejompongan, Jakarta.
Malam 28 Agustus 2025, demokrasi Indonesia kehilangan nyawa. Tidak hanya nyawa seorang anak bangsa, tetapi juga nyawa rasa percaya, rasa aman, dan rasa hormat rakyat kepada negara.
Kita tidak bisa menutup mata: tragedi ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan refleksi dari hubungan yang kian retak antara penguasa dan yang dikuasai.
Dari balik megafon rakyat, yang terdengar hanyalah keluhan dan tuntutan. Dari balik mikrofon elite, yang terdengar justru tuduhan, ejekan, dan hinaan.
Jika ini terus berlanjut, kita perlu jujur pada diri sendiri: demokrasi Indonesia sedang mundur. Alih-alih mendengar, para elite justru memilih meragukan dan menuduh. Alih-alih mengobati luka, mereka justru menaburkan garam di atasnya.
Padahal, apa yang diminta rakyat sesungguhnya sederhana: keadilan, transparansi, dan sedikit rasa empati dari mereka yang dipilih untuk mewakili.
Mundur atau majunya demokrasi bukan ditentukan oleh megahnya gedung parlemen, bukan pula oleh tebalnya buku undang-undang. Demokrasi hidup atau mati justru ditentukan oleh cara elite memperlakukan rakyatnya---terutama saat rakyat marah. Dan dalam konteks demo di DPR kali ini, yang terjadi justru tiga tanda jelas kemunduran.
1. Kritik Dibalas Hinaan, Bukti Minusnya Empati
Ketika massa menuntut pembubaran DPR, respons yang lahir dari sebagian anggota dewan sama sekali tidak menunjukkan kebijaksanaan. Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, menyebut mereka yang menuntut pembubaran DPR sebagai "orang tolol sedunia". Sebuah pernyataan yang bukan hanya kasar, tapi juga menghapus ruang diskusi.
Politik menghina (insult politics) seperti ini menciptakan jurang dalam. Ia melabeli suara rakyat bukan sebagai kritik yang sah, melainkan sebagai kebodohan massal. Padahal, tuntutan publik lahir dari keresahan nyata: kenaikan tunjangan fantastis anggota DPR di tengah penderitaan rakyat.