Tanggal 20 Mei 2025 , ribuan pengemudi ojol di Indonesia bakal turun ke jalan. Demo akbar. Tuntutannya jelas: pemerintah harus bertindak tegas soal potongan komisi semena-mena dan skema diskriminatif yang bikin sesama pengemudi ojol saling sikut kayak peserta reality show.
Serikat pekerja seperti SPAI dan Garda Indonesia sudah angkat megafon: "Cukup! Kami bukan robot yang bisa di-reset setiap kali kehabisan bensin!"Â
Bayangkan jadi seorang pengemudi ojek online (ojol) di Jakarta. Pagi-pagi, Anda sudah nge-gas motor, siap mengantar nasi kotak dari Menteng ke Kuningan.
Sesampainya di lokasi, dapatlah notifikasi: "Selamat! Komisi Anda hari ini Rp 5.200." Sementara itu, pelanggan membayar Rp 18.000 ke aplikasi. Sisanya ke mana? "Dipotong platform," kata algoritma dengan senyum digital.
Potongannya bukan sekadar sedikit, tapi 70%---lebih tajam dari silet cukur. Kalau terus begini, bisa-bisa ojol jadi part-time job buat ngemis diskon di minimarket.Â
Brazil: Demo Sambil Ngopi, tapi Tetap SeriusÂ
Awal April lalu, kurir di Brazil mogok massal. Ribuan pengemudi di 60 kota mematikan aplikasi, bikin perusahaan delivery kelabakan.
Di So Paulo, orderan makanan drop drastis---mungkin restoran pada sepi sampai tukang masak bisa ikut TikTok challenge sambil nunggu pesanan.
Tapi, gerakan ini bukan sekadar aksi baper sesaat. Sejak 2020, pekerja Brazil mulai menyusun kekuatan nasional.
Mereka sadar: di tengah ekonomi yang babak belur pasca-resesi 2008, platform ride-hailing tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Jumlah kurir dan pengemudi meledak 979,8% dalam lima tahun!Â